Cinta, sebuah anugerah yang tak selalu mudah didapatkan. Apalagi ketika harus memilih di antara dua hati yang begitu dekat, dua jiwa yang begitu mirip. Kisah mengharukan tentang cinta, pengorbanan, dan pencarian jati diri di tengah pusaran emosi yang membingungkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HniHndyni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Anya
Anya berjalan gontai di jalanan yang sepi, hujan turun begitu deras, membasahi tubuhnya yang juga basah oleh air mata. Tetesan air hujan seakan menyatu dengan air matanya, menggambarkan betapa hancurnya perasaannya. Jalanan yang biasanya ramai, kini terasa sunyi dan hampa, seperti hatinya yang kosong dan hancur.
Kilasan kenangan berputar di kepalanya, terutama saat Damar pertama kali menyatakan perasaannya. Kata-kata Damar kala itu bergema di telinganya, "Anya, aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu. Maukah kamu menjadi pacarku?" Senyum Damar yang tulus, tatapan matanya yang penuh cinta, kini terasa seperti sebuah kebohongan yang menyakitkan.
Kini, semua terasa berbeda. Pengakuan Damar tentang perasaannya pada Kanaya, kakak kembar Anya, masih berputar-putar di kepalanya. Apakah semua itu hanya sebuah sandiwara? Apakah perasaan yang pernah Damar utarakan kepadanya hanyalah sebuah bercanda, permainan untuk mempermainkan perasaannya? Apakah Damar telah membohonginya sejak awal?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, menyiksanya tanpa henti. Hujan semakin deras, membasahi tubuhnya hingga ke tulang. Namun, dinginnya hujan tidak sebanding dengan dinginnya rasa sakit yang menusuk hatinya. Ia merasa sangat bodoh karena telah mempercayai Damar sepenuhnya. Semua kenangan indah yang pernah mereka ukir bersama kini berubah menjadi duri yang menusuk-nusuk hatinya.
Anya berhenti di bawah sebuah pohon besar, mencoba untuk menenangkan diri. Namun, air mata terus mengalir, membasahi pipinya yang dingin. Ia merasa sangat lelah, lelah menghadapi kenyataan pahit ini. Ia meremas erat ponselnya, ingin sekali menghubungi seseorang, ingin berbagi rasa sakitnya, namun ia tak tahu harus menghubungi siapa. Semua terasa begitu berat, beban yang tak mampu ia pikul sendirian. Hujan masih terus turun, menemani Anya dalam kesedihannya yang mendalam.Ia hanya bisa berharap, hujan ini akan membasuh semua kesedihannya, dan ia akan menemukan kekuatan untuk bangkit kembali.
Anya masih terduduk di bawah pohon besar, tubuhnya gemetar karena dingin dan air mata yang tak henti mengalir. Hujan masih terus turun dengan derasnya, seakan tak mau berhenti. Ia merasa sangat sendirian, terisolasi dalam kesedihannya yang mendalam. Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul di hadapannya. Ia mendongak, dan melihat Migo berdiri di sana, memegang sebuah payung berwarna biru tua.
"Anya," sapa Migo, suaranya lembut. Ia mengulurkan payung itu kepada Anya. "Hujan semakin deras. Kau pasti kedinginan."
Anya menatap Migo dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka Migo akan datang. Ia hanya bisa mengangguk pelan, menerima payung yang ditawarkan Migo.
Migo membuka payung dan membentangkannya di atas kepala mereka berdua. Hujan masih turun dengan derasnya, namun di bawah payung itu, mereka berdua merasa sedikit terlindungi dari terpaan hujan. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya diiringi suara derasnya hujan.
"Aku… aku melihatmu dari kejauhan," kata Migo, memecah keheningan. "Kau terlihat sangat sedih."
Anya tak mampu menahan air matanya lagi. Ia menangis tersedu-sedu di bawah payung Migo. Migo hanya diam, membiarkan Anya melampiaskan kesedihannya. Ia merangkul pundak Anya dengan lembut, memberikannya dukungan tanpa harus banyak bicara.
Setelah beberapa saat, tangisan Anya mulai mereda. Ia mengangkat wajahnya, menatap Migo dengan mata sembab. "Damar… Damar telah menyakitiku," katanya, suaranya masih bergetar. "Ia… ia menyatakan perasaannya pada Kanaya."
Migo mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk. Ia mengerti betapa sakitnya perasaan Anya saat ini. Ia tahu, Anya sangat mencintai Damar, dan pengkhianatan ini pasti sangat menyakitkan baginya.
"Aku… aku tidak tahu harus berbuat apa," lanjut Anya, suaranya lirih. "Aku merasa sangat bodoh, sangat dipermainkan."
Migo menggenggam tangan Anya dengan erat. "Kau tidak bodoh, Anya," katanya, lembut. "Kau hanya terlalu percaya pada orang yang salah. Dan itu bukan salahmu."
Ia menatap Anya dengan penuh pengertian. "Sekarang, yang terpenting adalah kau harus merawat dirimu sendiri. Jangan biarkan kesedihan ini menghancurkanmu. Aku ada di sini untukmu, jika kau membutuhkan sesuatu."
Anya tersenyum kecil, air matanya kembali menetes, namun kali ini, air matanya terasa lebih ringan. Ia merasa sedikit lega karena ada Migo yang ada di sampingnya, memberikannya dukungan dan kekuatan di saat ia merasa paling lemah. Hujan masih turun, namun di bawah payung Migo, Anya merasa sedikit lebih hangat dan terlindungi, merasakan sedikit harapan di tengah badai kesedihannya.