Sekuel dari cerita Jual Diri Demi Keluarga.
Setelah melewati masa kelam yang penuh luka, Santi memutuskan untuk meninggalkan hidup lamanya dan mencari jalan menuju ketenangan. Pesantren menjadi tempat persinggahannya, tempat di mana ia berharap bisa kembali kepada Tuhannya.
Diperjalanan hijrahnya, ia menemukan pasangan hidupnya. Seorang pria yang ia harapkan mampu membimbingnya, ternyata Allah hadirkan sebagai penghapus dosanya di masa lalu.
**"Menjemput Cahaya"** adalah kisah tentang perjalanan batin, pengampunan, dan pencarian cahaya hidup. Mampukah Santi menemukan kedamaian yang selama ini ia cari? Dan siapa pria yang menjadi jodohnya? Dan mengapa pria itu sebagai penghapus dosanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18_Mesir
Langit Kairo mulai meredup ketika Raka dan Aliya berhenti di depan sebuah warung sederhana di salah satu sudut kota. Aroma rempah-rempah yang khas langsung menyambut mereka, bercampur dengan suara hiruk-pikuk pelanggan yang tengah menikmati makan malam mereka.
“Inilah warung yang aku maksud, Li,” kata Raka sambil tersenyum, berhenti di depan warung makan itu.
Aliya menatap tulisan yang terdapat di bangunan itu, "أبو حمزة " Abu Hamza)
Jadi, nama restoran ini adalah Restoran Abu Hamza.
"Mari," ajak Raka, lalu melangkah masuk lebih dulu.
Aliya mengikuti di belakangnya, matanya menyapu pemandangan di dalam. Warung Abu Hamza lebih mirip kafe rakyat daripada restoran. Dindingnya dihiasi foto-foto kota Kairo tempo dulu, serta beberapa kaligrafi Arab yang tertulis dengan tinta emas. Suasananya ramai, penuh dengan mahasiswa dari berbagai negara.
Di sudut ruangan, sekelompok pemuda berkulit gelap tengah bercakap dalam bahasa Prancis, sementara di meja lain, beberapa pria Arab bercanda dalam bahasa Arab dengan aksen Mesir yang khas. Tak jauh dari mereka, terdengar percakapan dalam bahasa Urdu dan Turki, bercampur dengan suara gelak tawa dan dentingan sendok mengenai piring.
Aliya merasa seperti berada di dunia lain.
"Ramai sekali," gumamnya.
"Ya, di sinilah tempatnya kalau mau merasakan suasana Kairo yang sebenarnya," jawab Raka.
"Tempat ini tidak hanya suka dikunjungi oleh Mahasiswa/i dari Indonesia saja, tapi juga mahasiswa/i dari negara lain seperti Pakistan, Sudan, Afrika, Malaysia, dan negara negara lainnya juga suka makan di sini. Selain rasanya yang nikmat, harganya juga bersahabat," jelas Raka.
Aliya mengangguk, matanya masih sibuk mengamati suasana. Warung ini memiliki deretan meja kayu sederhana dengan taplak bermotif arabesque. Pelayan-pelayannya adalah pria Mesir yang bergerak cekatan, membawa nampan berisi roti aish baladi, mangkuk besar kushari, dan gelas teh hangat.
Raka berjalan mendekati konter, lalu menyapa seorang pria paruh baya dengan janggut tipis yang berdiri di baliknya, “Kkayfa haluk aami Hamza." (apa kabar Paman Hamza?
Pria itu—yang ternyata pemilik warung—menyambut mereka dengan senyum hangat. “Alhamdulillah, ya ibni! Ahlan wa sahlan, marhaban bikuma." (Alhamdulillah, wahai anakku! Selamat datang, kami menyambut kalian berdua.)
Ia melirik Aliya yang berdiri di samping Raka, “hadhihi zamilatak?" (Ini temanmu?)
Aliya tersenyum canggung, belum terlalu lancar memahami bahasa Arab sehari-hari.
Raka terkekeh, “na’am, hiyya sadiqati. Hiya jadidah huna." (Iya, dia temanku. Dia baru di sini.)"
Abu Hamza mengangguk penuh pengertian, “ah, tab’an! Iza, yajib an taduqi at-ta’amuna!" (Oh, tentu! Kalau begitu, dia harus mencicipi makanan kami)
Aliya melirik Raka, sedikit kebingungan, Aliya lancar bahasa arab fusha atau bahasa arab standar modren (MSA), sedangkan Abu Hamza memakai bahasa Arab Amniyah Masriyah atau bahasa dialek Mesir yang sehari hari dipakai di Mesir. Jadi, dia tidak begitu paham.
"Dia bilang kamu harus coba makanan di sini," terang Raka sambil tersenyum. "Mau makan apa?"
Aliya menatap daftar menu yang tertulis dalam bahasa Arab dan Inggris, “apa yang paling direkomendasikan di sini?”
“Kushari. Ini makanan khas Mesir, campuran nasi, makaroni, kacang lentil, buncis, dan saus tomat,” jawab Raka, “atau kalau kamu mau yang lebih ringan, ada shawarma.”
Aliya berpikir sejenak, lalu mengangguk, “baiklah, saya coba kushari saja.”
Raka mengangguk ke Abu Hamza, “izn lana bi waznatain min al-kushari wa shay bil-na’na.” (Tolong dua porsi kushari dan teh mint.)
Abu Hamza tersenyum lebar, lalu memberikan isyarat pada pegawainya untuk segera menyiapkan pesanan mereka.
Mereka memilih meja di sudut ruangan, tempat di mana Aliya bisa melihat ke luar jendela. Lampu-lampu jalan Kairo mulai menyala, dan jalanan tetap sibuk meskipun malam semakin larut. Sesekali, klakson mobil terdengar nyaring, bercampur dengan suara orang-orang.
“Mesir memang nggak pernah tidur, ya,” gumam Aliya sambil menyandarkan punggungnya.
Raka tertawa kecil, “bisa dibilang begitu. Kairo ini kota yang sibuk, tapi juga punya keunikan sendiri. Kamu bakal terbiasa dengan suasana ini lama-lama.”
Tak lama, pelayan datang membawa sepiring besar kushari dengan saus tomat kental yang disiram di atasnya. Aroma bawang putih dan cuka yang khas langsung tercium.
Aliya memandangi makanannya dengan antusias, “jadi, bagaimana cara memakan hidangan ini?”
“Campur semua, terus aduk,” jawab Raka, mencontohkan dengan garpunya, “ini makanan murah yang sering dimakan mahasiswa dan pekerja di sini. Sederhana, tapi enak dan mengenyangkan.”
Aliya mengaduk makanannya, lalu mengambil suapan pertama. Rasa gurih, asam, dan sedikit pedas dari sausnya langsung memenuhi lidahnya. Tekstur makanannya pun unik, perpaduan lembut dari nasi dan makaroni, dengan sedikit renyah dari kacang lentil.
“Wow. Ini lebih enak dari yang aku bayangkan,” katanya dengan mata berbinar.
Raka tertawa puas, “makanya, aku sering makan di sini. Nggak bikin kantong jebol, tapi bikin perut kenyang.”
Mereka melanjutkan makan dengan santai, sambil sesekali mengobrol tentang kehidupan di Kairo. Suasana warung tetap ramai, dengan pelanggan yang datang dan pergi.
Ketika mereka selesai makan, Abu Hamza datang membawa dua gelas teh hangat dengan aroma mint yang menyegarkan.
“Hadhihi hadiyyah min al-math’am li awwal ziyara,” katanya sambil tersenyum.
Aliya menoleh ke Raka, “apa katanya?”
Raka tersenyum, “dia bilang ini hadiah dari warung untuk kunjungan pertamamu.”
Aliya tersenyum lebar, “wah, baik sekali.”
Mereka mengangkat gelas masing-masing, lalu meniup permukaan teh yang masih mengepul.
Jam sudah menunjukkan masuk waktu magrib, menandakan hari mulai beranjak malam. Menyadari hal itu, mereka segera beranjak dari tempat duduk.
"Aliya, mau saya temani pulang?" tawar Raka.
"Ah, memangnya arah kosan kamu di mana?" tanya Aliya.
"Ke barat," jawab Raka.
"Saya rasa tidak perlu, kita berbeda arah, lagipula jalanan masih ramai," ujar Aliya.
Raka mengangguk dengan senyum kecil.
"Aku duluan, ya," ujar Aliya sambil tersenyum tipis.
Raka mengangguk, "hati-hati di jalan."
Mereka lalu berjalan ke arah yang berlawanan. Aliya melangkah menuju kosannya yang terletak di gang kecil tak jauh dari situ, sementara Raka berjalan ke arah sebaliknya.
Raka berdiri di tepi trotoar, membuka aplikasi taksi online di ponselnya. Jarinya dengan cekatan memilih lokasi penjemputan dan memasukkan alamat apartemennya sebagai tujuan. Beberapa detik kemudian, layar ponselnya menampilkan detail pengemudi yang akan menjemputnya—sebuah mobil sedan hitam dengan plat nomor yang tertera jelas.
Ia menghela napas pelan, melirik sekitar. Jalanan masih ramai, lampu-lampu kendaraan berpendar di antara hiruk-pikuk kota yang belum sepenuhnya tenang meski hari mulai beranjak malam.
Tak lama, mobil yang dipesannya berhenti di tepi jalan. Raka memastikan plat nomornya sesuai sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Zay fel tattbiq?" (Sesuai aplikasi?) tanya sopir dengan ramah.
Raka mengangguk. "Aywa, ya ustaz." (Iya Pak)
Mesin kembali menderu, membawa Raka melaju di antara arus kendaraan yang belum sepenuhnya surut. Dari balik jendela, ia memperhatikan lampu-lampu kota yang berkedip, pikirannya melayang entah ke mana.
tqpi kenapa ia cuek gtu..
apa yg membuatnya begitu..
atau emang orangnya gak mau gr..
klo gtu..
fahri harus swgera nembak.
biar Ros tau kalo fahri suka ama Ros..
❤❤❤❤❤❤
Fahri harusnya sat set cari no wa Ros..
bisa tanya Adam kan..
kenapa Ros punya firasat gak enak..
aoa dia jga ada rasa ama Fahri ...
klao iya..
kenapa kesannya dia cuek seolah gak ibgat mereka pernah temenan saat SMA..
Adam..
Adam..
kok gak muncul2..
kangen ini..
😀😀❤❤❤❤
Adam amna Adam.
kok gak munvil..
kangen ini..
❤❤❤❤❤
biar abi dan umimu pergi melamar Ros...
❤❤❤❤❤❤
klao sampai ketahuan gmna ya..
aoa mereka akan langsung dinikahkan?
apakah adam tidak kecewa saat tau santi gak perewan???
❤❤❤❤❤
fahri bisa salah paham.
pasti ros yg dikira mau dijodohkan ama dia..
pasti fahri langsung terima..
atau ris yg akhirnya sadar ada rasa ke fahri saat tau fahri mau dijodihka ama sahabatnya...
penasarannn....
❤❤❤❤❤
kok lama gak up..
kangen ama adam dan santi...
❤❤❤❤❤❤❤
jgn asal nyosor..
bahaya donk..
kan udah jadi ustad..
😀😀😀❤❤❤❤❤
myngkin saja ada yg lihat mereka lagi ambil vairan pel atau saat nuang di lantai..
❤❤❤❤❤
halalin aja.
😀😀😀❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤❤
dingin..
menghanyutkan..
❤❤❤❤❤❤😉
pasti Adam.paham Santi punya daya tarik pemikat..
mudah2an..
Adam.mau halalin Santi lebih dulu...
❤❤❤❤❤
mudah2an karena sama2 pendosa..
jadi sama2 mau neryonat dan menyayangi..
❤❤❤❤❤
Santi jadi gak kuat..
😀😀😀❤😉❤
atau jgn2 Dam pernah tau Santi sblm mereka ktmu di bus.
mungkinkah hanya Adam yg tulus mau nikahi Santi..
mengingat ibu Adam kan udah meninggal.. .
jadi gak ada yg ngelarang seperti ibu Fahri..
❤❤❤❤❤❤