Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Keesokan harinya...
Langit masih gelap saat suara azan subuh berkumandang dari masjid pesantren. Hampir semua santri langsung bergegas bangun dan bersiap untuk solat berjamaah.
Namun, di sudut salah satu kamar asrama santriwati, Miska masih tenggelam dalam tidurnya.
"Miska, bangun! Udah adzan subuh!," seru Fatin yang terdengar panik.
"Hmm…"
Namun, Miska hanya menggeliat sedikit, lalu menarik selimutnya lebih erat.
"Miska, ayo bangun!," kali ini Hana ikut menggoyangkan tubuh Miska. Tapi tetap saja, Miska hanya merespons dengan dengkuran pelan.
"Duh, gimana ini?," bisik Fatin semakin cemas.
Sementara itu, Salsabilla, santri senior yang juga satu kamar dengan mereka, menatap jam di dinding dengan wajah yang tegang. "Kalau kita lama-lama di sini, kita juga bakal telat! Udah, kita ke masjid dulu. Kalau Miska tetap tidur, itu urusan dia!," ujarnya.
Hana dan Fatin saling berpandangan, lalu dengan berat hati mereka pun meninggalkan Miska yang masih terlelap.
Beberapa saat kemudian...
Saat Miska akhirnya membuka mata, matahari pun sudah mulai naik. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu mengerutkan kening layaknya orang kebingungan.
Kenapa kamar ini sepi banget? pikirnya.
Ia lalu menoleh ke arah jam dinding dan seketika matanya membulat saat melihat jam sudah pukul 05:40.
"Busyet!."
Miska langsung duduk tegak di kasurnya. Jantungnya berdetak kencang. Ia menoleh ke sekeliling dan hanya untuk menemukan kamar sudah kosong. Karena tiga teman sekamarnya masih berada di mesjid untuk kajian subuh.
"Sial! Gue telat!," gumam Miska.
Tidak menunda lama, ia pun langsung bangkit dan bergegas menuju kamar mandi. Tapi baru saja ia hendak keluar kamar, tiba-tiba pintu terbuka dengan keras.
Brak!
Di ambang pintu, seorang ustazah berdiri dengan wajah yang serius. Di belakangnya, Salsabilla, Fatin, dan Hana menunduk dengan ekspresi cemas.
"Miska Izzatunnisa," suara Ustazah Siti terdengar tegas. "Kamu sadar nggak kalau kamu tadi nggak ikut solat subuh berjamaah?," ujarnya.
GLEK!
Miska menelan ludahnya meski terasa seret. "Aku… Aku kesiangan, Ustadzah," jawabnya.
"Dan kenapa teman-teman sekamarmu tidak memastikan kamu bangun?," tanya Ustadzah Siti.
"Kami sudah membangunkan dia berkali-kali, Ustadzah. Tapi Miska nggak mau bangun," jawab Salsabila.
Lalu, Ustadzah Siti melipat tangannya di dada, dan menatap Miska. "Di pesantren ini, bangun subuh itu wajib. Bukan cuma sekadar aturan, tapi juga bagian dari disiplin dan ibadah. Kamu tidak bisa seenaknya sendiri di sini, Miska."
Mendapat teguran dari Ustadzah Siti, Miska pun hanya menunduk, tapi dalam hatinya ia kesal. Kenapa sih semua harus diperhitungkan? Gue cuma kesiangan, bukan sengaja! Pikirnya.
"Dan karena ini kelalaian bersama," lanjut Ustadzah Siti, "Miska dan seluruh teman sekamarnya akan mendapat hukuman."
Sontak Miska mendongak. "Hah?! Kenapa mereka juga dihukum? Kan aku yang telat!," pekik Miska.
Salsabila, Hana, dan Fatin juga tampak syok.
"Di pesantren ini, kami mengajarkan kebersamaan dan tanggung jawab. Satu lalai, yang lain ikut merasakan akibatnya. Itu cara agar kalian belajar peduli satu sama lain," jelas Ustadzah Siti.
"Tapi itu nggak adil!," protes Miska.
"Hukuman kalian akan membersihkan halaman pesantren sebelum waktu dhuha," kata Ustazah, mengabaikan protes Miska. "Mulai sekarang, jangan pernah meremehkan kedisiplinan di sini."
Setelah berkata begitu, Ustazah Siti berbalik dan pergi, meninggalkan keempat santriwati yang masih terkejut dan mematung.
Sementara Miska meremas jilbabnya dengan frustrasi.
"Gara-gara kamu, kita kena hukuman, Miska," ujar Salsabila seraya menatapnya tajam.
Merasa suasana menjadi tegang, Fatin pun mencoba menenangkannya. "Udah, kita jalani aja. Lagian, bersihin halaman nggak seberat itu."
"Hufth!." Hana menghela napas. "Tapi tetap aja... Kayaknya kita bakal sering kena masalah kalau Miska belum bisa beradaptasi," serunya.
Miska yang hanya berdiri di tempat tidak menjawab perkataan mereka. Namun ia langsung pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan solat subuh meski kesiangan.
**
Di sudut lain, Fatin, Hana, dan Salsabila berkumpul dengan wajah tidak bersemangat.
Hukuman yang diberikan oleh Ustazah Siti masih terasa seperti pukulan telak bagi mereka, terutama bagi Salsabila, yang tidak terima harus ikut dihukum karena kesalahan Miska.
Miska sendiri baru saja selesai salat subuh di kamarnya, dengan wajah yang masih setengah mengantuk.
Begitu ia melangkah keluar kamar dan bertemu dengan Salsabila, gadis itu langsung mendengus kesal.
"Astagfirullah… dia baru salat subuh?," komentar Salsabila, dengan tatapan yang penuh sindiran.
Miska meliriknya sekilas, lalu berjalan santai ke arah mereka namun ia malas menanggapi dan langsung berjalan menuju halaman.
Tidak mendapat respon dari Miska, Salsabila pun berkata lagi. "Serius deh, kita dihukum gara-gara kamu, dan kamu masih santai kayak gini?."
Miska menghela napas, lalu menoleh ke arah Salsabila dengan ekspresi malas. "Ya terus mau gue gimana? Nangis? Minta maaf sambil sujud di kaki lo?," ujar Miska dengan bahasa yang cukup terbilang kasar.
Sementara itu, Hana dan Fatin yang melihat percikan api di antara mereka langsung merasa canggung dan saling bertukar pandang.
"Bukan masalah sujud atau nggaknya, Miska," jawab Salsabila, kini sambil menyapu halaman dengan kasar. "Tapi setidaknya tunjukin sedikit rasa bersalah. Gara-gara kamu, kita semua harus bangun lebih pagi dan bersihin halaman ini! Kamu kira enak?."
Namun, Miska masih tetap cuek. Ia lalu mengambil sapu dan mulai menyapu dengan malas. "Udah-udah, nggak usah drama. Bersih-bersih doang ini. Nggak bakal bikin lo mati, kok," seru Miska dengan entengnya.
Salsabila pun memutar bola matanya karena merasa tidak habis pikir. "Kamu nggak ngerti, ya? Di sini, kita tuh belajar untuk disiplin. Tapi kamu? Bahkan salat subuh aja harus dipaksa!," gerutunya.
Hana yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Sebenarnya, aku juga sependapat sama Salsabila, Miska. Kami semua udah berusaha buat bikin kamu merasa nyaman di sini, tapi kamu sama sekali nggak ada usaha buat menyesuaikan diri."
"Udahlah, kita jalani aja hukumannya. Percuma juga debat di sini," sahut Fatin.
Tapi Salsabila masih belum puas. "Aku cuma pengen dia ngerti konsekuensi dari kelakuannya. Kalau dia masih kayak gini terus, kita bakal sering kena masalah!."
"Lo pikir gue peduli? Gue nggak minta lo kena hukuman bareng gue. Kalau lo kesel, ya salahin ustadzah kalian yang bikin aturan nggak masuk akal ini!," bentak Miska sambil melempar sapunya ke tanah dengan kesal.
Semua pun terdiam. Bahkan, beberapa santri lain yang berada di sekitar halaman pun mulai melirik ke arah mereka.
"Kalau kamu nggak suka aturan di sini, kenapa nggak keluar aja sekalian?," seru Salsabila seraya mendekat dan menatap Miska dengan tajam.
Miska membisu. Bukan karena terpojok, tapi karena itu memang yang ingin dia lakukan sejak awal.
Tapi bukan dia yang punya keputusan.
Beberapa detik kemudian, ia mengambil sapunya kembali dan melanjutkan menyapu tanpa sepatah kata pun.
Sementara, Salsabila yang masih kesal ingin bicara lagi tapi Fatin mencegahnya. "Udah cukup. Kita selesaikan ini aja biar cepat selesai," sarannya.
"Dasar pembawa rusuh!."
BERSAMBUNG...