"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memaksa
Serra dan Maya sama-sama tidak menyangka hubungan Acha dan Al akan sampai sejauh ini. Berawal dari Acha yang iseng mengirim pesan hingga mereka bertemu dan semakin dekat. Serra kira hubungan mereka tidak akan lama, mengingat Al yang memiliki sifat cuek dan beberapa kali menolak Acha. Tetapi setelah mendengar cerita Acha saat gadis itu tampil dalam acara Cheerleader, mungkin Serra akan mengubah perspektifnya mengenai Al. Ia akui, Al cukup gentleman saat itu.
"Lo udah dikasih tahu Bagas, belum? Yang tentang Dufan itu?" tanya Acha setelah mendapat pesan dari Bagas. Tangannya sibuk menulis di buku catatan. Hari ini, kelasnya dibebani banyak tugas yang membuat mereka bertiga harus berada di kafe untuk mengerjakannya.
"Oh, udah, udah! Itu jadi, ya? Aih, aku jadi nggak sabar!" pekik Maya sambil memegang kedua pipinya. Sama seperti Acha, ia juga suka membayangkan sesuatu yang belum terjadi. Misalnya, ia dan Bagas bergandengan tangan ketika berada di Dufan.
Lalu, Acha menatap Serra yang tampak tidak peduli. "Lo ikut, kan?"
"Jadi nyamuk? Nggak, makasih," tolak Serra tanpa melihat ke arah Acha. Mana mungkin ia mengganggu dua sahabatnya yang sedang pedekate. Lebih baik ia mengurung diri di kamar lalu menonton series Jepang kesukaannya.
"Yakin lo?" tanya Acha sekali lagi yang langsung diangguki Serra.
Mendengar itu, Maya langsung menggeser tubuhnya untuk mendekat pada Serra. Ia memasang wajah melas agar Serra mengubah pikirannya. Lalu memegang lengan Serra kuat-kuat. "Kamu ikut ajalah. Janji deh, aku nggak bucin, biar kamunya nggak kerasa dicuekin."
"Iya, lo ikut aja. Nggak enak kalau nggak full team gini." Acha menimpali.
Serra mendengus lalu menggeleng. Ia sedikit heran dengan kedua temannya. Bukankah bagus bila ia tidak ikut sehingga mereka dapat leluasa berpasangan? "Kalian fokus pedekate aja, nggak usah mikirin gue."
"Gini, lo jangan lihat kita lagi pedekate. Anggap aja kita lagi jalan-jalan sama temen cowok." Acha berusaha memberi penjelasan. Tidak lupa, ia memasang puppy eyes agar Serra menyetujui ajakannya.
Acha dan Maya tidak mungkin meninggalkan Serra begitu saja. Serra memang galak, tetapi gadis itu yang paling dewasa di antara mereka. Ia sering memberi nasihat-nasihat dan banyak membantu. Apalagi Serra tidak akan keluar rumah jika mereka tidak mengajaknya. Gadis itu sesekali harus mendapat hiburan.
Serra menatap Acha dan Maya dengan malas secara bergantian. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Ya udah, gue ikut."
"YE—"
Belum sempat Acha dan Maya bersorak, Serra lebih dulu memotong ucapannya. "Kalau kalian sampai nyuekin gue, jangan harap gue bakal ikut jalan-jalan bareng kalian lagi."
Acha dan Maya kompak menyengir sembari menunjukkan ibu jarinya. "Siap, bos!"
Kemudian, setelah yakin Serra ikut, Acha mulai menyusun rencana bersama Bagas. Ia ingin tahu apakah Al juga bersedia untuk ikut.
[Acha]
[Gas, yang Dufan itu jadi kan?]
[Temen gue yang Serra itu jadi ikut ya.]
***
Membaca pesan terakhir dari Acha membuat Bagas beberapa kali merapalkan doa. Yang benar saja, perempuan galak itu akan ikut rencananya jalan-jalan bersama Maya. Bagas jadi membayangkan Serra yang terus-terusan mengomelinya sepanjang jalan ketika ia berduaan bersama Maya. Jelas merupakan perjalanan yang buruk bagi Bagas nanti. Sebaiknya dari sekarang, ia berdoa agar Serra menjadi perempuan yang lebih pengertian terhadap hubungannya dengan Maya.
Bagas melirik Al yang sibuk bermain game, lalu menepuk pundak sahabatnya dengan pelan. "Lo ikut ke Dufan bareng gue ya?"
"Hah? Ngapain? H*mo lo?" Masih dengan mata yang fokus pada layar, Al memberikan umpatan.
"Anj*r, kagaklah! Gila lo, ya?!" kesal Bagas karena tiba-tiba Al mengatainya dengan sebutan itu. Bagaimana bila ada orang yang di sekitar mereka menganggap hal itu adalah hal yang serius?
"Lagian ngapain lo ngajak gue ke sana? Nggak ada tempat lain buat ngongki? Mana cuman berdua lagi, nggak beres lo!" Al menatap Bagas dengan ngeri, kemudian kembali memainkan game-nya. Di siang bolong begini, tumben sekali Bagas mengajaknya ke tempat seperti itu. "Emang ngapain? Tumben?"
"Ya udah, kalau nggak mau," sungut Bagas mencoba tidak menjawab pertanyaan Al. Tidak mungkin ia menjawab bahwa ini semua adalah rencananya dan Acha untuk pedekate.
"Emang nggak mau."
Bagas langsung melotot. Ia kira, Al akan mengubah pikirannya, tetapi sepertinya ekspektasinya terlalu tinggi. "Eh, anj*ng, gue maksa!"
"Nggak ah, Dufan nggak seru kalau cuman berdua. Mana sama-sama cowok lagi," jelas Al santai. Sedetik kemudian, ia baru menyadari kalimatnya terdengar sedikit ambigu.
Bagas pun menaikturunkan kedua alisnya. Entah kenapa, kalimat Al terdengar seperti sebuah kode. "Lo ngode supaya ada cewek yang ikutan juga, kan? Siapa? Lo mau ajak Acha?"
"Si*lan! Terserah lo. Gue nggak ikutan!" Al langsung berdiri meninggalkan Bagas yang masih duduk di kelas. Ia segera mencari tempat lain untuk menuntaskan permainannya.
Bagas ingin mencegah Al, tetapi ia urungkan. Ia tahu Al sedang bermain game dan tidak ada yang boleh mengganggunya. Ia jadi gusar sendiri. Dari awal, Bagas memang mempunyai feeling bahwa Al tidak mungkin mengiyakan ajakannya. Al bukan tipe laki-laki yang menghabiskan waktu di tempat penuh permainan seperti itu. Kalau begini, bagaimana cara ia membujuknya?
Ponselnya berdering tanda telepon masuk. Ada nama Maya tertera di sana. Tanpa pikir panjang, Bagas segera mengangkatnya.
Bagas berdeham untuk mengetes suaranya. "Halo, May?"
"Hai, Gas," sapa Maya yang membuat telinga Bagas terasa adem. "Acha mau ngomong sama kamu, nih."
"Oke." Bagas mengangguk. Ia yakin Acha meneleponnya untuk membahas masalah Dufan. Masalahnya, Bagas belum punya jawaban untuk masalah itu.
"Halo, Gas, gue pake hape Maya karena baterai gue lowbat! Gimana? Jadi rencananya, kan? Lo udah tanya Al belum? Dia setuju nggak?" Seperti biasa, Acha suka mencercanya dengan berbagai pertanyaan di awal telepon.
Bagas merasa tidak enak pada Acha. "Duh, gimana ya ...? Al bukan tipe cowok yang suka ke tempat begituan. Gue rada susah bujuknya. Nggak yakin deh, bakal berhasil atau nggak."
Terdengar helaan napas dari seberang sana. Sekitar sepuluh detik, barulah Acha angkat bicara. "Terus, emangnya Al suka ke tempat yang kayak apa?"
"Bioskop kali, ya? Tapi, emangnya ada film bagus bulan ini?" Bagas tampak mengingat-ingat film bioskop yang diputar di bulan ini. Tetapi tidak ada satu pun film yang membuatnya tertarik.
"Lo bujuk dia lagi deh. Lo kan pinter ngebujuk dia. Bantuin gue lagi dong," pinta Acha dengan melas.
Kalau begini, Bagas jadi serba salah. Tetapi akhirnya, ia mencoba membantu Acha. "Nanti gue coba lagi ya. Tapi gue nggak janji loh!"
Terdengar jeritan senang dari seberang sana. Meski Bagas belum memberikan jawaban pasti, sepertinya sudah menganggap Bagas akan berhasil.
***
Biasanya, Al dengan mudah terbujuk oleh rayuan Bagas. Tetapi sepertinya, Bagas sedikit menggampangkan hal itu. Sudah tiga hari berturut-turut, Bagas membujuk Al untuk ikut bersamanya ke Dufan, tetapi Al dengan keras kepala menolaknya. Alhasil, di hari keempat, ia menyerah dan memilih menyerahkannya pada Acha.
Untuk itulah sekarang ia berada di kafe setelah pulang sekolah bersama Al. Acha merencanakan untuk membujuk Al secara langsung. Bagas tidak yakin akan berhasil tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Ia akui, Acha sangat bekerja keras untuk mendapatkan hati sahabatnya itu.
"Lo menyimpang ya?" tanya Al tiba-tiba.
Buru-buru Bagas memberikan pelototan pada Al yang seenaknya menyebutnya itu. Sudah dua kali Al seperti itu dan Bagas tidak mau tinggal diam. "Mulut lo diem deh! Daripada gue hajar nanti!" ancamnya kesal.
"Kenapa nggak ngajak yang lain? Kenapa harus berdua? Ngapain juga di kafe kalau cuman main hape?"
Setelah dipikir-pikir, sepertinya ada sedikit kesamaan antara Acha dengan Al. Dua orang itu sama-sama suka menyerangnya dengan berbagai pertanyaan. Tidak bisakah mereka menanyakan satu per satu? Al dan Acha memang sama-sama orang yang tidak sabaran.
"Jujur aja, kita mau ketemuan sama Acha," jawab Bagas. "Jangan coba kabur dan tetep diem di situ."
Al sedikit terkejut tetapi ia kembali menetralkan ekspresi seolah kedatangan Acha bukan sesuatu yang mengejutkan atau menggembirakan. Meski begitu, dalam hatinya, ia sangat penasaran dengan maksud dan tujuan Acha menemuinya. Masalahnya Acha tidak membahas sesuatu yang penting ketika mereka bertukar pesan. Lagi pula, mereka juga jarang bertukar pesan akhir-akhir ini. Jadi, obrolan apa yang membuat mereka harus bertemu?
Tidak lama kemudian, tiga orang gadis yang mereka kenal menghampiri Al dan Bagas yang duduk di bangku paling pojok. Seakan tahu arti tatapan Acha padanya, Bagas langsung berdiri dan mempersilakan gadis itu untuk menempati tempatnya tadi. Sementara Al tidak berkomentar dan hanya memperhatikan.
"Nah, kalian ngobrol berdua ya," kata Bagas. Lalu, ia menatap Maya dan Serra secara bergantian. "Kalian berdua sama gue duduk di tempat lain."
Sepeninggalnya Bqgas, Serra, dan Maya, Acha menatap Al lamat-lamat. Pikirannya berusaha merangkai kalimat-kalimat yang akan ia tujukan pada Al. Al sendiri hanya menunggu Acha membuka pembicaraan. Laki-laki itu sama sekali tidak berniat membuka mulut.
"Haiii!" sapa Acha dengan antusias.
Respons Al hanya menganggukkan kepalanya.
"Jadiii ... gue sama Bagas mau ke Dufan. Lo bisa ikut, kan?" tanya Acha dengan harapan Al kembali menganggukkan kepalanya.
Tetapi, sepertinya harapan Acha sirna. "Sorry, gue nggak bisa," tolak Al dengan lembut. Rupanya ini alasan Acha menemuinya.
Acha menarik napas lalu mengembuskannya berkali-kali. Tatapan mata Acha kali ini menunjukkan kalau ia sedang serius. "Akhir-akhir ini, gue kepikiran sesuatu. Gue mau mundur ngejar lo."
Kalimat itu terasa menyengat di hati Al. Tadinya Al hanya menatap ponsel, tetapi kini matanya beradu dengan mata Acha. Sepertinya pembicaraan ini memang serius bagi Acha. "Terus?"
"Boleh kasih gue satu kesempatan terakhir?" tanya Acha memohon. "Ini terakhir, Al. Gue janji, kalau setelah ini lo masih belum suka gue, gue bakal berhenti ngejar lo. Gimana? Good news buat lo, kan?"
Al terdiam. Tampak menimbang-nimbang permintaan Acha itu.
Acha kembali melanjutkan. "Gue bukan capek. Gue juga nggak nyerah. Gue cuman menghargai lo yang mungkin risih atau nggak suka. Jadi, tolong kasih gue kesempatan terakhir. Gue nggak aneh-aneh kok. Ini cuman biar kita bisa spending time together untuk terakhir kalinya."
"Kalau gue nolak?"
"Kenapa lo nolak?" Acha balik bertanya.
Al kembali terdiam. Jika ditanya seperti itu, jelas Al tidak bisa menjawab. Ia sendiri juga bingung dengan otak dan hatinya yang saling bertolak belakang. Otaknya meminta untuk menolak, sementara hatinya menyetujui.
"Yah, kalau lo mau nolak, gue cuman bisa ... MAKSA LO!" Sedetik kemudian, Acha menyengir sembari melipat kedua tangannya. "Ya elah, Al, apa susahnya setujuin permintaan terakhir gue sih? Lagian, Dufan juga tempatnya seru kok! Lo ansos, ya?!"
Al langsung menatap Acha dengan heran. Sepertinya Al mengira Acha mempunyai kepribadian ganda. Ke mana wajah serius gadis itu? "Gimana lo bisa buktiin kalau ini jadi terakhir lo ngejar gue? Bisa aja, besok-besok, lo gangguin gue lagi."
"Gue nggak bisa buktiin pakai bukti fisik sih. Tapi, gue ini tipe orang yang megang omongan kok."
Al menatap Acha dengan curiga. Mereka belum kenal dekat, sehingga wajar jika Al belum memercayai omongan Acha sepenuhnya.
"Ya udah, gimana? Deal, nggak?" Acha mengulurkan tangannya. Tetapi, lagi-lagi Al tidak bergerak. "Gue nggak modus," desis Acha sebal.
Al mengulurkan tangannya untuk membalas uluran tangan Acha. Detik itu juga, terjadi kesepakatan antara mereka berdua.
***
Setelah kesepakatan itu terjadi, mereka semua memutuskan makan siang di kafe itu. Bagas, Serra, dan Maya kembali duduk di meja Acha dan Al. Sembari mengonsumsi makanannya masing-masing, mereka mengobrol dan merencanakan tanggal dan waktu ke Dufan.
Selama makan siang berlangsung, Al sama sekali tidak mengeluarkan pendapatnya. Bukan karena laki-laki itu pasif, tetapi karena pikiran Al dipenuhi dengan kalimat Acha tadi. Haruskah Acha berhenti mengejarnya secepat itu? Ya, Al hanya bisa maklum, bagaimanapun perempuan tidak ditakdirkan untuk mengejar. Tetapi laki-laki itu merasa sedikit tidak rela. Mungkin setelah ini, tidak ada lagi suara cempreng Acha yang terdengar di telinganya. Mungkin DM Al tidak akan dipenuhi pesan-pesan dari gadis itu. Al sendiri juga tidak mungkin pura-pura menyukai Acha. Ia tidak ada perasaan apa-apa padanya, tetapi mengapa ia merasa tidak rela?
"WOI! BENGONG APAAN LO?" tanya Bagas sambil sedikit berteriak di dekat telinga Al.
Al langsung mengerjap kaget. Rupanya ia memikirkan itu hingga mereka berada di parkiran kafe. Sepertinya kalimat Acha benar-benar mengganggu pikirannya. "Nggak, cuman ngantuk."
"Tuh, supir gue udah datang," papar Acha sambil menunjuk sebuah mobil yang cukup mewah terparkir di dekat jalan raya.
Selanjutnya, Bagas mengikuti Maya untuk naik ke mobil Acha. Sementara Serra sudah lebih dulu memasuki mobil. Rencananya, mereka berdua akan menghabiskan waktu malam hari di rumah Acha.
Acha menatap mata Al yang terlihat agak kosong. "Gue pulang dulu ya, Al! Lo hati-hati di jalan!"
"Lo pulang naik apa?" tanya Al basa-basi.
"Kenapa? Mau nganterin?"
Al langsung melotot. Gadis itu percaya diri sekali. "Pede banget!"
Acha tertawa renyah lalu menepuk lengan Al sebanyak dua kali. "Astaga, lo hari ini kenapa? Tadi gue bilang, supir gue udah datang. Artinya gue naik mobil, Al sayang."
Kemudian, tanpa basa-basi lagi, Acha meninggalkan Al dan berjalan menuju mobilnya. Setelah Maya berpamitan pada Bagas, mobil itu berjalan ke arah rumah Acha. Selama perjalanan, Serra meminta Acha menceritakan obrolannya dengan Al. Ia sudah tidak sabar mendengar apa saja yang mereka bicarakan. Setelah Acha menceritakan semuanya, mata Serra dan Maya melotot seketika.
"GOBL*K APA GIMANA, SIH?!" teriak Serra tak percaya. "Mana mungkin Al suka lo dalam sehari! Makanya sebelum mutusin sesuatu, briefing dulu!"
Acha memang bercerita bahwa dia hendak menemui Al. Tetapi untuk yang satu kesempatan itu, ide itu baru Acha dapatkan ketika mereka sudah berada di kafe. Habisnya, Acha sudah kehabisan akal untuk membujuk laki-laki itu.
Maya ikut-ikutan kesal sekaligus gemas. "Kamu pede banget, ngira Al bakal suka kamu dalam sehari."
Acha mendengus frustrasi. Kalau dipikir-pikir, ia sangat menyesal sudah mengatakan hal itu. "Kalau nggak digituin, Al nggak bakal setuju mau ikut!"
"Tapi, kamu siap nanggung resikonya kan?" tanya Maya.
"Aaaa, belummm!" pekik Acha semakin frustrasi. Kalau begini, lebih baik acara Dufan dibatalkan. Dengan begitu, Acha tidak perlu mundur.
Serra langsung menjitak kepala Acha pelan. "Belum siap terima resiko, tapi berani bikin perjanjian begitu!"
"Kalau gitu, nanti bikin rencana biar Al kepincut sama Acha," saran Maya yang langsung disetujui dua gadis itu.