Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 24
Saat mereka bertiga sedang berada di halte bus, suasana yang semula tenang tiba-tiba berubah. Dari kejauhan, seorang pria berjalan cepat mendekati mereka. Tatapannya tajam, penuh amarah yang tertahan.
Tanpa peringatan. Jack, menarik tangan Kamala dengan kasar.
"Kamu pikir bisa lari dari aku begitu saja, hah?" suaranya dingin, penuh kemarahan.
Kamala terkejut, hampir kehilangan keseimbangan karena tarikan kuat itu. "Jack! Lepaskan aku!" serunya, mencoba melepaskan cengkeraman pria itu.
Reyna yang melihat ibunya diperlakukan seperti itu langsung ketakutan. Ia menggenggam erat tangan Affan, matanya mulai berkaca-kaca. "Om Affan..." suaranya bergetar.
Affan segera bertindak. Dengan cepat, ia menarik Kamala menjauh dari genggaman Jack dan berdiri di antara mereka. Matanya menatap tajam pria itu. "Lepaskan dia, Jack," ucapnya tegas.
Jack menyipitkan mata, rahangnya mengeras. "Kamu nggak tahu apa-apa, jadi jangan ikut campur!" bentaknya, mencoba menarik Kamala lagi.
Namun kali ini, Affan lebih sigap. Ia menahan Jack dengan kuat, tidak membiarkannya menyentuh Kamala lagi.
"Dia bukan milikmu lagi," ujar Affan, suaranya tetap tenang tapi penuh ketegasan.
Kamala yang masih terkejut mencoba menarik napas dalam. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia menguatkan dirinya. "Aku bukan orang yang bisa kau perlakukan seenaknya lagi, Jack! Pergilah!"
Jack menatap Kamala dengan ekspresi tak percaya, seolah tak menyangka wanita itu berani menentangnya.
PLAK!!
Wajah Kamala menoleh ke samping, pipinya langsung memerah akibat tamparan keras dari Jack. Ia terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan jika saja Affan tidak segera menangkapnya.
"Bu!" seru Reyna panik, air mata langsung menggenangi matanya.
Affan mengepalkan tangannya, matanya membara penuh kemarahan. Tanpa berpikir panjang, ia langsung melayangkan pukulan keras ke wajah Jack.
Bug!
Jack terdorong ke belakang, bibirnya pecah dan mengeluarkan darah. Ia mengusap sudut bibirnya, lalu menatap Affan dengan tatapan marah.
"Kau berani menyentuhku?" geramnya.
Affan maju selangkah, tubuhnya menegang, siap menghadapi Jack jika pria itu kembali bertindak kasar. "Kalau kau berani menyentuh Kamala lagi, aku pastikan ini bukan cuma pukulan pertama," desisnya tajam.
Jack menyeringai sinis, meskipun rahangnya masih terasa nyeri akibat pukulan tadi. "Kau pikir bisa melindunginya selamanya, hah? Kamala tetap milikku!"
Kamala yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara. Ia menggenggam erat tangan Reyna yang masih gemetar ketakutan. "Aku bukan milikmu lagi, Jack! Jangan pernah mendekati aku dan Reyna lagi!" ucapnya dengan suara bergetar, tetapi penuh keberanian.
Jack tertawa kecil, lalu meludah ke tanah. "Kita lihat saja nanti," katanya sebelum berbalik pergi, meninggalkan mereka dalam ketegangan yang masih terasa.
Kamala menghembuskan napas berat, tangannya masih gemetar saat mengusap pipinya yang terasa perih.
Affan menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"
Kamala mengangguk pelan. "Aku nggak apa-apa..." Tapi jelas, suaranya masih sedikit bergetar.
Affan mengepalkan tangannya, menahan amarah yang masih membara di dadanya. Ia menoleh ke arah Reyna yang masih terisak pelan.
"Om Affan... Om janji bakal jagain Ibu, kan?" suara kecil itu terdengar penuh harap.
"Aku nggak ingin om itu gangguin ibu lagi, ibu sering di pukuli sama om jahat itu."
Affan menatap mata kecil Reyna yang berkaca-kaca. Ada kepedihan yang begitu dalam di sana, sesuatu yang seharusnya tidak pernah dirasakan oleh anak sekecil dia.
Kamala tercekat mendengar ucapan putrinya. Tangannya secara refleks menggenggam erat jemari kecil Reyna. "Sayang..." suaranya bergetar, matanya berkabut.
Reyna mengusap air matanya yang mulai jatuh. "Om Jack selalu pukuli Ibu kalau marah... Aku nggak mau, lihat ibu sakit lagi..." isaknya pelan, suaranya penuh luka yang tertahan.
Affan menghela napas panjang, rahangnya mengeras. Ia berlutut di depan Reyna, menatap gadis kecil itu dengan penuh ketulusan. "Om janji, Reyna. Om nggak akan biarkan siapa pun menyakiti ibumu lagi," ucapnya mantap.
Reyna menatap Affan, mencari keyakinan dalam kata-katanya. Lalu, perlahan, ia melangkah ke depan dan memeluk pria itu erat.
Affan menatap Kamala dengan serius setelah menenangkan Reyna. Matanya memancarkan ketegasan, tapi di balik itu ada kekhawatiran yang jelas terlihat.
"Ini sudah kelewatan, Kamala. Kenapa kau tidak menceritakan tentang ini sejak awal?" suaranya terdengar lebih dalam, nyaris seperti teguran, tapi ada kelembutan di sana.
Kamala menundukkan kepala, kedua tangannya menggenggam erat jemari kecil Reyna, seolah mencari kekuatan dari putrinya. Bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya ia berbisik, "Aku... Aku tidak ingin merepotkan siapa pun, Affan. Aku pikir bisa menyelesaikan semuanya sendiri."
Affan menghela napas panjang, berusaha menekan emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Ia tahu Kamala adalah wanita yang kuat, tapi kali ini ia sudah terlalu jauh membiarkan dirinya menanggung segalanya seorang diri.
"Menyelesaikannya sendiri?" Affan mengulang kata-kata itu dengan nada yang lebih tenang, meski sorot matanya tetap tajam. "Sampai kapan, Kamala? Sampai kau benar-benar terluka? Sampai sesuatu yang lebih buruk terjadi padamu dan Reyna?"
Kamala terdiam. Ada sesuatu dalam suara Affan yang membuat dadanya terasa sesak. Ia tahu pria itu benar, tapi ketakutannya selama ini lebih besar daripada keinginannya untuk meminta pertolongan.
"Aku hanya tidak ingin melibatkan orang lain dalam masalahku..." suaranya semakin lirih, hampir tak terdengar di antara desau angin siang yang berhembus pelan.
"Kau sudah banyak membantu kami, Affan. Aku tidak ingin membebanimu lebih jauh."
Affan menatapnya lebih dalam, lalu meraih bahu Kamala dengan lembut. "Dengar, Kamala," ucapnya dengan nada lebih lembut, "Melindungi kalian bukan beban bagiku. Aku tidak ingin melihatmu terus-terusan menanggung semua ini sendirian."
Kamala mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Affan yang penuh ketulusan. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang terasa berbeda, dari sekian banyak pria yang mendekati dirinya.
Sejenak, ia lupa pada ketakutan yang tadi menyelimutinya.
Affan tetap diam, tetapi sorot matanya seolah berkata bahwa ia akan selalu ada di sisi Kamala dan Reyna, melindungi mereka apa pun yang terjadi.
Sementara itu, Reyna yang masih berada di samping ibunya menatap Affan dengan mata berbinar. Gadis kecil itu tampak ragu-ragu sejenak, lalu menggenggam tangan Kamala lebih erat.
"Ibu," bisiknya pelan, suaranya penuh harapan. "Kita ke rumah Om Affan aja, ya? Nggak usah ke rumah Oma..."
Kamala terkejut mendengar permintaan Reyna. Ia menatap putrinya dengan tatapan lembut, namun dalam hatinya, ia diliputi kebimbangan.
Affan ikut melihat ke arah Reyna, senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia berjongkok agar sejajar dengan gadis kecil itu. "Reyna mau ke rumah Om?" tanyanya lembut.
Reyna mengangguk cepat. "Iya! Soalnya Om Affan baik," ucapnya polos, matanya berbinar penuh keyakinan.
Kamala menatap putrinya, hatinya terasa hangat sekaligus gamang. Ia tahu Reyna sangat nyaman dengan Affan, tetapi ia juga tidak ingin merepotkan pria itu lebih jauh.
Namun, sebelum Kamala sempat membuka suara, Affan sudah lebih dulu berbicara. "Kalau Ibu Reyna setuju, kalian bisa tinggal di rumahku sementara," ujarnya dengan nada penuh kepastian.
Kamala mengerjap, terkejut dengan tawaran itu. "Affan, aku nggak bisa merepotkanmu terus-menerus..."
Affan tersenyum tipis, tatapannya tetap tenang. "Kalian tidak merepotkan, Kamala. Aku hanya ingin membantu."
Reyna menatap ibunya penuh harap, tangannya mencengkeram erat jemari Kamala. "Boleh ya, Bu?"
Kamala terdiam sesaat, matanya beralih ke Affan. Dalam keheningan itu, ia merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, sebuah perasaan bahwa bersama pria ini, ia dan Reyna akan baik-baik saja.
Akhirnya, dengan napas yang sedikit berat, Kamala mengangguk perlahan. "Baiklah..."
Reyna langsung berseru gembira, melompat kecil sambil memeluk ibunya. Sementara Affan, meskipun tidak mengucapkan apa-apa, senyumnya sedikit melebar.
Tanpa membuang waktu lagi, mereka pun meninggalkan halte bus. Reyna, yang masih merasa ketakutan setelah insiden tadi, menatap Affan dengan mata berkaca-kaca.
"Gendong, Om..." pintanya dengan suara lirih, kedua tangannya terangkat ke arah Affan.
Affan menatapnya sebentar, lalu tersenyum lembut. "Sini, naik," ujarnya sambil membungkuk dan mengangkat gadis kecil itu ke dalam gendongannya.
Reyna segera melingkarkan tangannya di leher Affan, seolah mencari perlindungan. Pipinya masih sedikit basah karena air mata, tapi ia merasa jauh lebih aman dalam pelukan pria itu.
Kamala berjalan di samping mereka, sesekali melirik Reyna dengan perasaan lega. "Maafin, ibu. Reyna, kau jadi ketakutan..." gumamnya pelan.
Affan menggeleng, mencoba menenangkan Kamala yang masih terlihat bersalah. "Bukan salahmu, Kamala," ucapnya tegas.
"Jangan anggap hal ini kesalahanmu lagi, masa lalu sudah berlalu jangan terus kau sesali."
Kamala menunduk, tidak tahu harus menjawab apa.
Dan, tanpa mereka sadari, dari kejauhan, Jack masih berdiri mengamati mereka dengan tatapan gelap. Rahangnya mengeras, senyumnya miring.
"Kita lihat saja nanti, kalian akan mendapatkan akibatnya," gumam Jack sebelum akhirnya melangkah pergi.
Namun, baru beberapa meter berjalan, langkahnya terhenti ketika seorang pria berdiri di hadapannya. Tatapan pria itu penuh amarah, sorot matanya tajam, seolah menembus ke dalam diri Jack.
Jack mengabaikannya dan terus berjalan, tapi tepat saat ia melewati pria itu, tiba-tiba kerah jaketnya ditarik dengan kasar, membuatnya berhenti mendadak.
Jack menyentakkan bahunya, berusaha melepaskan diri. "Hei! Apa maksudmu..."
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, pria itu mencengkeram jaketnya lebih erat dan menatapnya dengan dingin. Matanya tajam, penuh tekanan yang membuat Jack tanpa sadar menelan ludah.
"Siapa dirimu? Dan apa hubunganmu dengan wanita itu? Wanita yang baru saja kau tampar," suara pria itu terdengar dalam dan mengancam.
Jack menyeringai, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Dia adalah..."
Jack berhenti menjelaskan sebelum pria itu memberi tahu apa hubungannya dengan Kamala.
"Kau tidak perlu tahu," balasnya tajam.
"Kau hanya perlu menjawab pertanyaanku."
Pria itu menghela napas pendek, lalu tersenyum tipis. Tapi senyum itu bukanlah senyum ramah, lebih seperti peringatan. "Tidak, aku tidak akan memberitahumu kalau...."
Belum selesai Jack berbicara, pria itu meluncurkan pukulan keras ke wajahnya.
Bug!
Jack terdorong ke belakang, merasakan rasa sakit menyebar di rahangnya. Ia mengusap sudut bibirnya yang kini berdarah, menatap pria itu dengan marah. "Sialan kau!" geramnya.
Pria itu melangkah lebih dekat, suaranya rendah namun menusuk. "Jangan pernah lagi melukai wanita itu. Jika kau berani menyentuhnya sekali lagi…" Ia berhenti sejenak, menatap Jack dengan intens. "Aku pastikan nyawamu melayang."
Jack mengerjap, merasa tekanan besar dari pria di depannya. Ia tahu ancaman itu bukan sekadar omong kosong.
Meskipun amarah masih membara dalam dirinya, Jack akhirnya meludah ke tanah dan mundur perlahan, meninggalkan pria asing itu.
"Sialan! Brengsek, aku akan cari tahu siapa dia," gumamnya sebelum berbalik dan melangkah pergi, menahan sakit di wajahnya.
Pria itu tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan kepergian Jack dengan ekspresi dingin.
******
Di sisi lain tempat,
Mereka masih berjalan menuju rumah Affan, suasana terasa lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Reyna yang kini berada dalam gendongan Affan terus mengoceh tanpa henti, seolah kejadian di halte bus tadi sudah terlupakan dari benaknya.
"Om Affan, aku suka digendong kayak gini! Lebih tinggi!" serunya sambil tertawa riang, kedua tangannya melingkar di leher Affan.
Affan tersenyum, mengencangkan sedikit pegangannya agar Reyna tetap nyaman. "Oh ya? Jadi kalau Om gendong kamu terus, kamu nggak mau jalan lagi, dong?" godanya.
Reyna menggeleng cepat. "Nggak mau! Kan capek kalau jalan sendiri," ujarnya polos.
Kamala yang berjalan di samping mereka hanya bisa tersenyum melihat kedekatan putrinya dengan Affan. Ada kehangatan yang sulit ia jelaskan saat melihat bagaimana Reyna begitu nyaman bersama pria itu.
"Reyna nggak berat, kan, Om?" tanya Reyna tiba-tiba, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Affan pura-pura berpikir sejenak, lalu menghela napas panjang. "Hmm… lumayan berat, sih. Mungkin habis ini Om harus latihan angkat beban biar kuat gendong Reyna terus."
Reyna tertawa kecil, lalu menepuk-nepuk bahu Affan. "Nggak usah latihan, Om pasti kuat! Kan Om Affan hebat!" katanya penuh keyakinan.
Affan tertawa, sementara Kamala hanya bisa menggeleng pelan, merasa terhibur dengan keluguan putrinya.
Setelah beberapa menit berjalan, rumah Affan akhirnya mulai terlihat di ujung jalan. Namun sebelum mereka sampai, Reyna kembali berbicara, kali ini dengan nada yang sedikit lebih pelan.
"Om Affan… mau jadi ayahnya Reyna kan?"
Affan terhenti sejenak. Langkahnya melambat, dan ia menatap Reyna yang masih berada dalam gendongannya. Mata kecil gadis itu penuh harapan, polos, tapi juga menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Sebuah keinginan yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
Kamala yang berjalan di samping mereka juga tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia menoleh cepat ke arah putrinya, hatinya mencelos. "Reyna, sayang… jangan bicara seperti itu…" ucapnya dengan suara pelan, berusaha menenangkan Reyna tanpa membuatnya kecewa.
Namun, Reyna tetap menatap Affan tanpa ragu. "Tapi Om Affan baik banget sama Reyna dan Ibu… Reyna mau punya ayah kayak Om," katanya lirih, tapi jelas terdengar di telinga mereka.
Affan terdiam. Ia bisa merasakan jemari kecil Reyna mencengkeram kerah bajunya lebih erat, seolah takut mendengar jawaban yang tidak ia harapkan.
Kamala merasa canggung dan bingung harus berkata apa. Ia tahu putrinya sangat merindukan sosok ayah, tetapi ia tidak ingin membebani Affan dengan permintaan yang begitu besar.
Affan akhirnya menarik napas dalam, lalu menatap Reyna dengan lembut. "Reyna sayang… menjadi ayah itu bukan hal yang mudah, tahu?" katanya dengan nada lembut.
Reyna mengangguk kecil. "Tapi Om bisa, kan?" tanyanya lagi, matanya berbinar penuh harapan.
Kamala segera menundukkan kepala, menghindari tatapan Affan. Ia merasa jantungnya berdegup lebih cepat, menanti bagaimana pria itu akan merespons.
Affan tersenyum tipis, lalu mengusap kepala Reyna dengan penuh kelembutan. "Om nggak bisa jawab sekarang, Reyna. Tapi yang pasti, Om akan selalu ada buat kamu dan Ibu," ucapnya dengan tulus.
Meskipun tidak mendapatkan jawaban yang pasti, Reyna tetap tersenyum kecil dan menyandarkan kepalanya ke bahu Affan. "Janji, ya?"
Affan mengangguk mantap. "Om janji."
Kamala menatap pemandangan itu dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Affan tidak langsung menolak, tetapi di sisi lain, ia juga tidak ingin berharap terlalu jauh.
Mereka berjalan dalam keadaan canggung, hanya saling menatap satu sama lain untuk beberapa saat.
Dan akhirnya, tiba di depan rumah Affan. Kamala tampak ragu untuk melangkah masuk, sementara Affan sendiri tidak tahu harus berkata apa untuk mencairkan kecanggungan di antara mereka.
Reyna, yang masih dalam gendongan Affan, tampak menguap kecil. Gadis kecil itu mulai mengantuk setelah perjalanan panjang dan kejadian menegangkan yang mereka alami sebelumnya.
"Masuklah," ucap Affan akhirnya, membuka pintu dan memberi isyarat pada Kamala untuk melangkah lebih dulu.
Kamala menatapnya sekilas sebelum akhirnya melangkah masuk dengan hati-hati. Matanya menyapu seluruh ruangan, memperhatikan setiap sudut rumah Affan yang masih sama, saat awal dirinya memasuki rumah Affan.
Affan menutup pintu di belakang mereka, lalu berjalan menuju sofa untuk mendudukkan Reyna yang hampir terlelap dalam gendongannya. "Reyna, kamu mau tidur di kamar atau di sini dulu?" tanyanya lembut.
Reyna mengusap matanya yang mulai berat. "Di kamar... tapi sama Ibu," gumamnya dengan suara mengantuk.
Kamala tersenyum kecil, merasa sedikit lega melihat putrinya bisa merasa nyaman di tempat baru ini. "Baiklah, sayang. Ayo, kita ke kamar," ujarnya sambil mengulurkan tangan pada Reyna.
Mereka berdua berjalan ke kamar yang berada di sebelah kamar Affan.
Affan hanya menatap kosong kepergian mereka, pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Reyna. Permintaan gadis kecil itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya merenung lebih dalam.
Menjadi seorang ayah…
Affan menghela napas panjang, merasakan beban tak kasat mata yang tiba-tiba menyelimutinya. Ia memang ingin melindungi Kamala dan Reyna, tetapi apakah ia benar-benar siap untuk mengambil peran sebesar itu?
Sementara itu, di dalam kamar, Kamala membantu Reyna naik ke tempat tidur. Gadis kecil itu tampak bersemangat meski kelelahan. Ia menatap ibunya dengan senyum lebar.
"Ibu, Om Affan pasti bakal jadi ayah yang baik, kan?" tanyanya polos.
Kamala terdiam sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tersenyum tipis, lalu membelai rambut putrinya dengan lembut. "Yang penting, Om Affan orang baik dan dia sayang sama kita," jawabnya lembut.
Reyna mengangguk puas sebelum akhirnya menguap kecil. Kamala menarik selimut, lalu mengecup keningnya dengan penuh kasih. "Tidurlah, sayang."
Tak butuh waktu lama, Reyna terlelap dalam kehangatan yang ia temukan di rumah Affan.
Di luar, Affan masih berdiri di ruang tamu, menatap langit siang melalui jendela. Tatapannya kosong, tetapi dalam hatinya, sesuatu mulai berubah.
Mungkin… hanya mungkin, ia memang ditakdirkan untuk berada di sisi mereka.