Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.
Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Pekerjaan
“Kau benar-benar hebat, Bung.” Parker mendekat ke arah Xander yang baru saja turun dari ring. Wajahnya tampak cerah, hampir bersinar, sambil memegang lembaran uang tebal di tangannya. “Aku benar-benar tidak salah memilihmu untuk malam ini.”
Xander mendengus kecil sambil melirik pintu ruangan yang sedikit terbuka. Ia tahu Dalton sudah pergi, menghilang begitu saja tanpa sedikit pun menunjukkan niat untuk meminta maaf kepada pelayan wanita yang tadi disakitinya.
“Benar-benar tidak tahu malu,” gumam Xander dengan nada dingin.
Parker, sementara itu, masih mengagumi keuntungan yang baru saja didapatnya. Dengan senyum lebar, ia memasukkan uang ke dalam saku celananya. “Kau adalah investasi terbaik yang pernah kupikirkan. Kau tahu, Bung? Kau bisa menghasilkan lebih banyak lagi di sini.”
Saat mereka ingin melangkah keluar dari arena, para penonton di sekitar langsung membuka jalan untuk mereka. Ada yang menatap Xander dengan kekesalan karena kalah taruhan, sementara yang lain menyapanya dengan penuh pujian.
Beberapa wanita berpakaian minim mendekat, mencoba menggoda Xander dengan senyuman manis dan sentuhan tangan mereka. Salah satu dari mereka bahkan meraih lengannya, tetapi Xander dengan halus menepis tangan itu.
“Maaf, aku tidak tertarik.”
Para wanita mendesah kecewa, sementara Parker tertawa kecil ketika melihat mereka ditolak. “Bung, kau baru saja melewatkan peluang untuk bersenang-senang. Kau tahu? Mereka tidak akan keberatan menemanimu sepanjang malam.”
Xander hanya tersenyum samar. “Aku punya gadisku sendiri.”
Pikiran Xander segera melayang pada Evelyn. Rindu yang menghangatkan hati menyeruak. Meski baru beberapa hari tidak bertemu, bayangannya akan sosok Evelyn terasa begitu dekat, begitu nyata.
Xander merogoh saku celananya, mengambil ponsel, lalu mengetik pesan singkat kepada Govin. “Bagaimana kabar Evelyn? Ada hal yang perlu aku tahu?” Pesan itu ia kirim sebelum menatap Parker yang menyodorkan beberapa lembar uang.
“Ini bagianmu. Lima ratus dolar. Lumayan, bukan?” Parker menyodorkan beberapa lembar uang pada Xander.
Xander menerima uang itu dengan anggukan kecil. “Cukup banyak untuk pertandingan seperti ini.”
“Kau tahu?” Parker mencondongkan tubuh, menatap Xander. “Kau bisa menghasilkan lebih dari ini kalau mau bertarung dua atau tiga kali sehari. Aku bisa mengaturnya, kapan pun kau siap.”
Xander menggeleng pelan. “Tidak. Ada beberapa hal penting yang harus aku urus.”
Mereka berjalan menuruni tangga. Parker, yang tampaknya enggan melepaskan Xander begitu saja, menyejajarkan langkahnya. “Hei, Bung, di mana rumahmu? Aku ingin mampir suatu hari nanti, kalau kau tidak keberatan.”
Xander menatap Parker dengan pandangan penuh pertimbangan. “Kau ingin berkunjung ke rumahku?” tanyanya, memastikan.
Selama ini jarang sekali ada seseorang yang ingin mengunjungi rumahnya, terlebih saat mengetahui kondisinya yang miskin. Akan tetapi, ketika keadaan sudah berbeda, Xander pikir hal itu akan berbeda.
Xander beberapa kali mendengar nasehat dari buku jika harta dan kekayaan sangat dekat dengan kebohongan dan kepalsuan. Apa yang ditampilkan di depan khalayak tidak selamanya sama dengan apa yang terjadi di belakang.
Orang-orang akan ikut merayakan kesuksesan dan keberhasilan meski dalam hati merasa iri dan tidak senang. Dan saat kesialan menimpa, mereka mereka tidak segan menampilkan sifat asli.
Untuk itulah, Xander memilih menyembunyikan identitas aslinya dengan tujuan mendapatkan sosok teman yang tulus dengannya, bukan yang mendekat karena melihat kedudukan dan harta yang dimilikinya saat ini.
“Hei, tunggu!” Sebuah suara wanita memanggil. Xander, yang sudah hampir mencapai lantai bawah, menoleh. Seorang pelayan wanita berlari kecil menuruni tangga, wajahnya sedikit memerah karena napas yang tersengal.
“Aku belum mengucapkan terima kasih padamu,” ujarnya sambil tersenyum canggung.
“Itu bukan apa-apa.” Xander menanggapi singkat, melanjutkan langkahnya.
Namun, tiba-tiba wanita itu meraih lengannya. Xander langsung menarik tangannya dan berbalik, membuat wanita itu salah tingkah.
“Ah, maaf!” Pelayan itu menyelipkan rambut ke belakang telinga, tampak gugup. Ia lalu menyodorkan tangannya. “Namaku Monica.”
“Xander.” Xander menyambut uluran tangan itu dengan cepat, kemudian berkata, “Aku harus segera pergi.”
Monica terlihat kecewa, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. “Apa kau akan kembali ke tempat ini lagi, Xander? Aku bisa memberimu segelas minuman gratis sebagai ucapan terima kasihku.”
Xander tersenyum tipis. “Aku akan memikirkannya. Maaf, aku benar-benar harus pergi sekarang.” Xander melangkah menuju pintu keluar dengan langkah cepat.
“Hei, Bung!” Parker segera menyusul, memanggil Xander dengan nada mendesak. “Bukankah kita sudah sepakat untuk bekerja sama? Lagipula, apa yang akan kau lakukan sekarang?”
Xander menaiki sepeda listriknya, mempersiapkan untuk pergi. “Aku tidak pernah membuat kesepakatan apa pun denganmu. Aku hanya mengikutimu ke tempat ini karena insiden tadi. Selain itu, aku bertarung karena kesal melihat tindakan kasar pria bernama Dalton.”
Xander menghidupkan sepeda listriknya, matanya menangkap sebuah mobil di kejauhan. Ia mengenali itu sebagai kendaraan tempat para pengawalnya menunggu.
Parker menahan bahunya dengan sedikit putus asa. “Ayolah, Bung. Kau tahu aku akan kesulitan mencari uang jika kau tidak datang ke sini lagi. Kaulah satu-satunya harapanku saat ini. Kalau uang yang kuberikan kurang, aku bisa memberimu bagian lebih besar.”
Xander diam beberapa saat, menatap Parker yang memasang wajah memelas. Akhirnya, ia berkata, “Bagaimana kalau aku memberikanmu pekerjaan?”
“Pekerjaan? Apa maksudmu, Bung?” Parker mengerutkan kening. “Kau sendiri yang bilang kalau kau tidak punya pekerjaan di kota ini, bukan?”
"Aku berkata sebenarnya. Aku bisa memberikanmu pekerjaan jika kau mau," kata Xander.
"Apa yang kau katakan?" Parker bertambah bingung. "Ayolah, jangan mempermainkanku seperti ini, Bung. Kau tahu aku tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Selain itu, aku tidak memiliki kemampuan khusus apa pun."
Xander menyodorkan ponselnya. “Berikan nomor ponselmu padaku.”
Parker menatapnya bingung tetapi akhirnya mengetikkan nomornya di ponsel Xander. “Apa ini? Apa kau serius?”
Xander mengambil kembali ponselnya. “Aku akan memberitahumu tempat pekerjaanmu secepatnya. Pastikan kau datang tepat waktu dan persiapkan dirimu sebaik mungkin.”
Tanpa menunggu jawaban, Xander memacu sepeda listriknya, meninggalkan Parker yang tertegun di depan gedung.
“Hei, Bung!” Parker berteriak, mencoba mengejar. “Setidaknya beri tahu aku nomor ponselmu!”
Sayangnya, Xander sudah menghilang di ujung gang. Parker berhenti, terengah-engah, menatap jalan kosong di depannya dengan ekspresi bingung.
“Siapa sebenarnya dia?” gumam Parker, sebelum melangkah pergi dengan pikiran penuh pertanyaan dan rasa penasaran.
Xander mengelilingi kota Royaltown sesuai dengan rencananya. Saat malam hampir menjelang, ia kembali ke kediamannya bersama tiga pengawalnya.
"Apa yang sudah terjadi dengan Anda, Tuan?" Govin bertanya, matanya tertuju pada luka di sudut bibir Xander. Tanpa menunggu jawaban, ia segera memanggil tiga dokter sekaligus untuk memeriksa kondisi Xander.
Namun, Xander mengangkat tangannya, memberi isyarat pada dokter-dokter tersebut untuk keluar dari kamarnya. “Ini hanya luka kecil, Govin,” katanya sambil duduk di sofa kamarnya. “Aku hanya terlibat perkelahian kecil dengan seseorang.”
Govin jatuh berlutut di depan Xander, wajahnya mencerminkan rasa bersalah yang mendalam. “Ini semua karena kelalaianku, Tuan. Aku sudah mengecewakan Anda dan Tuan Sebastian. Aku benar-benar minta maaf!”
“Kau terlalu berlebihan, Govin. Berdirilah. Luka ini tidak akan membunuhku.” Xander tersenyum ketika melihat bukti keseriusan dan tanggung jawab Govin. Tidak banyak orang jujur dan setia seperti Govin di dunia ini.
Setelah membersihkan diri dan menikmati makan malam, Xander melangkah menuju kamar pamannya, Sebastian. Mereka berbincang santai selama beberapa waktu sebelum Xander kembali ke kamarnya untuk melanjutkan pekerjaannya.
Di kamarnya, Govin sudah menunggunya dengan setumpuk dokumen yang telah dipersiapkan sebelumnya. Xander duduk di kursinya, membuka dokumen itu satu per satu dengan tatapan penuh konsentrasi.
“Govin,” kata Xander tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang sedang dibaca. “Apa kau sudah mengirim orang untuk mengawasi Evelyn dan Mason?”
Govin, yang berdiri di sudut ruangan, segera menjawab. “Aku sudah melakukannya, Tuan.” Ia memeriksa ponselnya sebentar, lalu melanjutkan, “Saat ini Mason masih berada di Royaltown. Kabar yang kudengar, dia hampir diusir dari keluarga Dagger karena menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan keluarga mereka. Dia tidak diizinkan pulang sebelum berhasil meminta maaf kepada Anda.”
Govin menyerahkan ponselnya kepada Xander, menampilkan sebuah rekaman video. Di layar, Mason terlihat duduk di sebuah restoran, penampilannya kusut dan wajahnya penuh kegelisahan.
Xander tersenyum puas melihat tayangan itu. “Lalu, bagaimana dengan Evelyn?”
“Nona Evelyn sedang bersiap untuk pergi ke Royaltown bersama sepupunya, Selene, untuk urusan pekerjaan. Saat ini, mereka masih berada di kediaman keluarga Voss,” jawab Govin.
Xander segera berdiri dari kursinya. “Pastikan keamanan Evelyn selama perjalanan dan keberadaannya di kota ini, Govin. Jika Evelyn sudah berada di Royaltown, kau harus memberitahuku secepatnya.”
Govin mengangguk dengan sigap. “Saya mengerti, Tuan.”
Xander mengetuk-ngetuk jemari di atas meja selama membaca dokumen. Butuh setengah jam hingga akhirnya ia selesai membaca seluruh informasi yang dibutuhkan. Govin masih setia menunggunya di sudut meja.
Xander mengamati keadaan sekeliling kamar sesaat. la tiba-tiba teringat dengan sesuatu yang seharusnya ia sadari sejak awal.
"Govin, beri aku semua informasi mengenai seluruh anggota keluarga Ashcroft secepatnya."
"Akan aku lakukan secepatnya, Tuan."