Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Arin mengetuk pintu kamar Ana, tidak mendapat jawaban ia membuka pintu sendiri. Dilihatnya sang putri masih tertidur pulas. Tirai jendela kamar bahkan masih tertutup, padahal matahari sudah bersinar.
“Ana, bangun! Anak gadis, kok, masih tidur jam segini? Kamu nggak mau nganter Angga ke airport?” tanya sang bunda seraya membuka tirai jendela.
Sinar matahari menyeruak masuk ke kamar Ana. Membuat putri tidur itu terusik. Matanya memicing silau terkena sinar matahari.
“Bunda, aku masih ngantuk,” keluhnya sambil menutupi wajah dengan selimut.
“Makanya, jangan nonton drakor terus sampai begadang. Kata Pak Haji juga nggak boleh!” ucap Arin.
“Pak Haji, siapa?” tanya Ana menurunkan selimut sampai leher.
“Haji Rhoma, begadang jangan begadang, kalau tiada artinya ....”
“Ye, malah nyanyi!” cibir Ana.
Arin terkekeh. Ia lalu mengambil gelas kosong di atas nakas. “Kamu cepat mandi, emangnya nggak mau ketemu Angga buat terakhir kali sebelum dia pergi? Sebentar lagi dia berangkat, lho!” sekali lagi Arin memberi tahu Ana.
Ana langsung duduk. “Hah, Angga berangkat hari ini? Bunda, kok, baru kasih tahu?” Ana langsung menyibak selimutnya lalu turun dari tempat tidur. Ia berlari ke kamar mandi.
“Bunda pikir kamu udah tahu, emang Angga nggak bilang? Kamu masih marahan sama Angga?” tanya Arin.
“Angga-nya yang sibuk terus, Ana nggak bisa ketemu dia!” teriak Ana dari kamar mandi.
Setelah hari di mana ia melihat Angga berangkat dengan Gendis ke sekolah, mereka belum bertemu lagi. Ana sudah mencoba ke rumahnya, tetapi lelaki itu tidak ada di rumah. Ia selalu mengintip dari balkon menunggu jendela kamar Angga terbuka. Namun, jendela itu selalu tertutup rapat.
Di sekolah pun tak pernah bertemu. Ia tak tahu, apa Angga yang memang sibuk atau dirinya memang tak penting lagi? Ana mencoba berpikir positif jika Angga memang sibuk.
Lima menit kemudian Ana keluar dari kamar mandi. “Kamu, nggak mandi? Cepat banget!” tanya Arin.
“No time!” ucap Ana. Ia mengambil baju salin lalu masuk kembali ke kamar mandi. Arin menggelengkan kepala lalu keluar dari kamar Ana. Ia menyiapkan sarapan untuk sang putri.
Beberapa menit kemudian Ana turun ke ruang makan. Ia hanya menggigit roti sedikit lalu meminum susu dan pergi. “Nda, aku ke rumah Angga dulu!” teriaknya sambil keluar.
Di depan rumah Angga ia tidak melihat mobil yang biasa dipakai oleh orang tua Angga. Perasaan Ana mulai tidak enak. Ia gelisah berpikir jika ia sudah terlambat.
“Eh, Non Ana. Den Angga sudah berangkat sama Ibu dan Bapak. Katanya mau ke rumah Gendis dulu,” ucap bibi ART di rumah Angga.
Ana langsung lemas. Benar saja ia terlambat. Kenapa Angga tidak pamit padanya atau berusaha menemuinya? Lelaki itu lebih memilih cepat berangkat menjemput Gendis. Ia merasa sakit di dadanya karena Angga tak menganggapnya lagi sebagai sahabat, ia tak penting bagi Angga.
Namun, Ana juga tak rela jika Angga pergi begitu saja. Ia ingin bertemu untuk terakhir kali dengan Angga. Ana berlari kembali ke rumah.
“Nda, anterin aku ke bandara!” teriak Ana dari pagar sambil terus berlari ke pintu depan rumahnya.
Arin keluar mendengar Ana berteriak. “Apa, sih, An?” tanyanya.
“Anterin Ana sekarang, Angga sudah berangkat ke bandara. Ana harus ketemu dia, please!” Ana berharap sang bunda mau mengantarnya.
“Iya, iya, Bunda anterin. Kamu itu ngerepotin aja. Makanya bangun pagi!” ucap Arin seraya masuk ke dalam mengambil kunci mobil dan ponsel juga dompet.
***
“Aduh, Na, macet keburu nggak, ya?” Arin tampak cemas, begitu juga dengan Ana yang sudah gelisah.
Ana lalu menoleh ke samping kanan, ia melihat ada motor dengan pengendara memakai jaket hijau. “Nda, aku naik motor aja, ya.” Ana lalu membuka pintu tanpa menunggu persetujuan Arin.
Ia bicara pada pengendara motor tersebut. Kemudian mengambil ponselnya. Setelah pesan melalui aplikasi ia naik ke atas motor itu kemudian pengendara tersebut mulai menyelusup antara sela-sela kendaraan. Menyalip mobil dan motor yang perlahan bergerak.
“Semoga Ana sempat bertemu Angga,” ujar Arin sambil melihat motor yang membawa anaknya pergi hilang di antara kendaraan yang berjibaku dengan kemacetan.
Sedikit lagi Ana sampai ke bandara, tetapi takdir berkata lain. Sebuah mobil tiba-tiba menabrak motor yang membawa Ana hingga Ana terpental beberapa meter dan jatuh di tengah jalan beruntung mobil yang melintas sempat membanting setir hingga tak melindasnya.
Akibatnya terjadi tabrakan beruntun yang membuat keadaan menjadi tambah kacau dan mencekam. Mobil yang menabrak Ana mengalami rem blong dan menabrak beberapa kendaraan serta pejalan kaki.
Di ambang batas kesadarannya Ana mengingat setiap momen bersama Angga dan juga kedua orang tuanya. “Ga, maafin gue,” ucap Ana lalu semua hitam dan mata itu terpejam.
...----------------...