Enzio Alexander Pratama, pria 28 tahun dengan kekayaan dan status yang membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan rahasia kelam—ia impoten.
Sebuah kecelakaan tragis di masa lalu merampas kehidupan normalnya, dan kini, tuntutan kedua orangtuanya untuk segera menikah membuat lelaki itu semakin tertekan.
Di tengah kebencian Enzio terhadap gadis-gadis miskin yang dianggapnya kampungan, muncul lah sosok Anna seorang anak pelayan yang berpenampilan dekil, ceroboh, dan jauh dari kata elegan.
Namun, kehadirannya yang tak terduga berhasil menggoyahkan tembok dingin yang dibangun Enzio apalagi setelah tahu kalau Anna adalah bagian dari masa lalunya dulu.
Bahkan, Anna adalah satu-satunya yang mampu membangkitkan gairah yang lama hilang dalam dirinya.
Apakah ini hanya kebetulan, atau takdir tengah memainkan perannya? Ketika ego, harga diri, dan cinta bertabrakan, mampukah Enzio menerima kenyataan bahwa cinta sejati sering kali datang dari tempat yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. DuaPuluhDelapan
Cahaya matahari sore menembus kaca jendela toko bunga milik Arman, menciptakan bias indah yang menyoroti kelopak-kelopak bunga segar yang tersusun rapi di rak kayu.
Di dalam toko, Anna sibuk merapikan rangkaian bunga, menyiramnya dengan hati-hati. Setelah semua yang terjadi, ia akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja di sini, meninggalkan rumah Enzio.
Keputusan itu tentu saja membuat Adrian dan Kania kecewa. Mereka begitu menyayanginya, bahkan menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Namun, Anna butuh waktu. Ia butuh ruang untuk menenangkan diri.
“Bagaimana menurutmu, Anna?” Arman bertanya sambil menunjuk rangkaian mawar merah yang baru saja ia susun.
Anna menatap bunga-bunga itu dan tersenyum. “Indah sekali, Mas. Seperti biasanya, kamu selalu punya sentuhan ajaib dengan bunga.”
Arman tertawa kecil. “Ah, kamu melebih-lebihkan.”
Obrolan ringan mereka terus berlanjut. Sesekali, Arman membantu Anna memindahkan pot-pot bunga yang cukup berat. Mereka terlihat begitu akrab.
Namun, tanpa mereka sadari, seseorang sedang mengawasi dari dalam mobil hitam yang terparkir tak jauh dari toko itu.
Enzio.
Tangannya mengepal erat, rahangnya mengeras. Matanya menyorot tajam, menatap interaksi Anna dan Arman dengan penuh ketidaksenangan.
“Sialan! Kenapa mereka terlihat begitu dekat?!” geramnya.
Sementara itu, di bangku kemudi, Leon hanya bisa menahan senyum melihat ekspresi kesal bosnya.
“Kenapa anda tidak langsung ke sana dan menyapa mereka saja, Tuan?” ujar Leon dengan nada santai. “Jika anda terus di sini, pria itu bisa saja merebut Nona Anna.”
Enzio mendengus, matanya masih terpaku pada sosok Anna yang tertawa kecil saat Arman mengatakan sesuatu.
“Cih! Aku ke sana? Ogah!” Enzio mendesis kesal.
Mana mungkin ia datang kesana hanya untuk melabrak mereka? Itu hanya akan membuat Anna besar kepala.
Leon menahan tawa. Dasar gengsi! Bosnya jelas-jelas cemburu, tapi tetap saja pura-pura tidak peduli.
Anna masih terlihat sibuk membantu Arman, dengan senyum manis yang selama ini hanya Enzio yang berhak melihatnya. Dan itu membuat darahnya semakin mendidih.
Tanpa sadar, Enzio sudah membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Leon tersenyum penuh kemenangan di dalam mobil. Akhirnya, atasannya itu bergerak juga.
_________
Anna sedang menyusun kembali bunga mawar di etalase saat bel pintu toko berbunyi.
“Toko kami tutup jam–” kata-kata Anna terhenti saat melihat siapa yang masuk.
Enzio berjalan masuk dengan ekspresi datar, tapi tatapannya menusuk seperti biasanya.
Anna berusaha tetap tenang, mengalihkan perhatiannya ke bunga-bunga di tangannya.
Arman, yang berdiri di dekatnya, menyambut Enzio dengan ramah. “Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Enzio melirik sekilas ke arah Arman, lalu kembali menatap Anna yang masih pura-pura sibuk.
“Aku ingin membeli bunga,” ucapnya santai.
Anna akhirnya menoleh. “Mau bunga jenis apa?”
“Apa saja yang terlihat bagus,” jawab Enzio tanpa pikir panjang.
Anna menatapnya curiga. “Sejak kapan kamu suka bunga?”
Enzio mengangkat bahu. “Sejak hari ini.”
Anna mendecak, lalu mulai memilih beberapa tangkai bunga. Ia menyerah, tak ingin memperpanjang percakapan dengan lelaki itu. Namun, saat ia menyerahkan bunga-bunga yang sudah dibungkus rapi, Enzio tidak langsung mengambilnya.
Sebaliknya, ia menatap Anna dengan tajam. “Kenapa kamu di sini?” tanyanya.
“Aku bekerja,” jawab Anna.
“Di sini?”
“Kenapa tidak?” Anna menatapnya balik. “Aku punya hak untuk memilih di mana aku ingin bekerja.”
Enzio mengepalkan rahangnya. “Kamu pergi begitu saja dari rumahku tanpa bicara apapun.”
“Apa aku harus pamit? Hubungan kita tidak seharmonis itu!” Anna tertawa kecil, tapi ada nada getir di dalamnya.
“Kamu milikku, Anna. Apa kamu lupa?”
Anna terdiam sejenak. Lalu ia menghela nafas panjang. “Aku bukan milik siapapun.”
Tatapan mereka bertemu, penuh dengan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.
Arman yang berada di dekat mereka bisa merasakan hawa panas yang mulai memenuhi ruangan, tapi ia memilih untuk diam dan tak ikut campur.
Enzio akhirnya mengambil bunga yang tadi ia beli, lalu berbalik tanpa berkata-kata lagi. Sebelum keluar, ia sempat menoleh sekali lagi.
“Ingat, kita belum selesai, Anna!”
Arman memandangi punggung Enzio yang baru saja meninggalkan toko dengan ekspresi penasaran. Ia lalu beralih menatap Anna yang masih berdiri di tempatnya, seolah masih terjebak dalam pikirannya sendiri.
“Anna,” panggil Arman pelan.
Gadis itu mengerjap, seakan baru tersadar dari lamunannya. “Iya, Mas?”
Arman menyilangkan tangan di depan dada. “Kamu mengenal pria tadi?”
Anna menegang sesaat, tapi kemudian menggeleng pelan. “Aku tidak ingin membahasnya.”
Jawaban itu tidak memuaskan rasa penasaran Arman, tapi ia tahu Anna bukan tipe yang mudah dipaksa bicara.
Anna menghela napas panjang. “Aku ingin membahas soal pernikahan di rumah ibu Sumi saja.”
Arman menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baiklah, aku mengerti. Kamu bisa pulang lebih dulu. Aku akan datang nanti malam.”
Anna tersenyum tipis dan segera mengambil tasnya. “Terima kasih, Mas Arman.”
__________
Perjalanan pulang terasa lebih panjang dari biasanya. Anna berusaha menenangkan pikirannya, mencoba melupakan tatapan tajam Enzio yang masih terbayang di benaknya.
Setibanya di rumah, langkahnya langsung terhenti. Sebuah mobil mewah terparkir di depan rumahnya. Anna mengerutkan kening. Ia sudah menebak siapa pemiliknya.
Dengan perasaan yang sudah bercampur aduk, Anna melangkah masuk ke dalam rumah. Dan benar saja, di ruang tamu, Enzio duduk santai di sofa dengan ekspresi dingin khasnya, seolah rumah ini adalah miliknya sendiri.
Di sebelahnya, Bu Sumi duduk dengan ekspresi canggung, sesekali melirik Enzio yang tetap diam tanpa bicara.
Anna menghela nafas panjang. “Apa yang kamu lakukan disini, Enzio?”
Pria itu menatapnya dengan mata tajam. “Aku menunggumu.”
“Bicara yang sopan Anna! Dia anak majikan Ibu!” sentak Bu Sumi.
Anna mendekat, lalu menatap ibunya dengan lembut. “Ibu, aku bisa bicara sebentar dengan Enzio?”
Bu Sumi mengangguk cepat. “Terserah kamu! Tapi ingat, layani tuan muda dengan baik.” Ia segera beranjak ke dapur, memberi mereka ruang untuk bicara.
Begitu hanya ada mereka berdua di ruangan itu, Anna bersedekap.
“Cepat katakan apa tujuanmu datang kemari, lalu pergilah!”
Enzio mengangkat alis. “Terlalu kasar untuk seseorang yang dulu pernah memberikan harapan padaku. Seharusnya kamu membuatkan aku minum atau memijatku karena beberapa jam lalu aku melakukan perjalanan jauh.”
Anna tertawa sinis. “Kamu terlalu percaya diri Zio. Aku tidak pernah memberikan harapan apapun padamu.”
“Benarkah?” Enzio bangkit dari sofa, mendekat ke arahnya. “Lalu apa kau menyebut caramu menatapku dengan penuh harapan itu?”
Anna menegang, tapi tidak mau kalah. “Kalau aku memang pernah melakukannya, aku menyesalinya sekarang!”
Senyuman miring terukir di bibir Enzio. “Bagus.”
Anna mengernyit. “Bagus?”
“Ya,” Enzio melangkah semakin dekat, membuat Anna sedikit mundur. “Kalau kamu sudah menyesal, itu artinya kamu sadar bahwa kamu tidak bisa mendapatkan aku.”
Anna mendengus. “Percayalah, aku bahkan tidak menginginkanmu sama sekali!”
“Kamu benar-benar keras kepala.”
Anna menatapnya tajam. “Aku belajar darimu!”
Tak ada yang berbicara, tapi ada sesuatu di udara yang membuat ruangan terasa semakin panas. Akhirnya, Enzio menghela nafas dan melangkah mundur.
“Jangan menikah,” lirih Enzio.
Anna mengernyit. “Menikah?”
“Kamu tidak berharap aku akan menghentikanmu kan?” ucap Enzio.
Anna menatapnya dengan datar. “Kenapa kamu harus melakukannya?”
Kali ini, Enzio terdiam. Anna benar-benar ingin menikah dengan Arman dan tidak memikirkan perasaannya kah? Padahal, Enzio sudah rela datang jauh-jauh dari kota ke kampung demi Anna.
“Sepertinya aku sudah terlambat.” Enzio berbalik dan berjalan keluar dengan wajah menunduk. Enzio benar-benar hancur.
Kepanjangan gak? Nanti aku potong jadi pendek😂