Kejadian malam itu membuatku hampir gila. Dia mengira kalau aku adalah seorang jal*ng. Dia merebut bagian yang paling berharga dalam hidupku. Dan ternyata setelah aku tau siapa pria malam itu, aku tidak bisa berkata-kata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heyydee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Karena macet parah, Naura harus menunggu hampir dua jam di jalanan padat. Jalanan sama sekali tidak jalan atau mati.
"Huh, pak kalau kayak gini kita sampainya mau sampai jam berapa?" tanyaku kesal.
"Nona, mau gimana lagi? Kita kejebak macet begini dan gak bisa putar balik dari jalan lain,"
"Hah, lama banget! Udah hampir dua jam nunggu sampai jamuran," ucapku kesal.
Aku sangat bosan berada di dalam mobil yang sama sekali tidak ada pergerakan. Padahal hari mulai gelap dan menunjukkan pukul 18.08 waktu setempat.
"Haduh, capek banget! Capek duduk aja dari tadi! Pant4t gue panas," ucapku mengeluh.
"Pinggang gue encok, pah4 gue kebas!" lanjutku.
"Perut gue juga lapar," ucapku saat perutku bunyi.
Aku membuka jendela mobil, melihat keluar mobil. Aku melihat ada sebuah minimarket di dekat jalan sana. Aku turun dari mobil untuk beli sesuatu di minimarket.
"Nona, anda mau kemana?"
"Bentar ya pak, Naura mau ke minimarket!" aku dengan hati-hati berjalan melalui kendaraan yang padat.
Masuk ke dalam minimarket yang tampak sepi pengunjung. Aku langsung mengambil makanan dan cemilan. Tidak lupa mengambil beberapa minuman dingin.
Di sisi lain, Mobil Revandra tiba di depan rumah. Dia keluar dari mobilnya lalu masuk kedalam. Tampilannya masih sama seperti pagi tadi. Dia masih pakai topeng itu dalam keadaan wajah yang masih hitam.
Revandra tidak langsung pergi ke kamarnya. Ia pergi ke kamarku. Dia bahkan tidak mengetuk pintu terlebih dulu dan main masuk saja. Ruangan tampak kosong dan masih rapi. Dia mencari ke seluruh ruangan kamarku, namun aku tidak ada.
"Di mana dia?" tanya Revandra heran.
Revandra keluar tepat saat seorang pelayan akan masuk untuk membawakan sprei baru.
"Tuan," ia menunduk hormat.
"Dimana Naura?" tanyanya dingin.
"Saya tidak tau tuan! Tapi tadi sore nona pergi bersama supir tapi entah kemana,"
"Kalau gitu saya permisi masuk kedalam," pelayan masuk ke kamar.
Revandra menelpon supir pribadiku.
Drrtt
Drrtt
"Halo tuan,"
"Apakah kau bersama Naura?"
"Iya tuan,"
"Kenapa tidak segera pulang?"
"Maaf tuan, seharusnya kami sudah sampai ke rumah sejak tadi. Namun, karena jalanan yang macet hingga membuat mobil sama sekali tidak bisa bergerak dan masih harus menunggu sampai saat ini,"
***
Aku belanja sekeranjang penuh dan membakarnya. Aku membawa plastik berisi makanan dan camilan yang sudah aku beli. Aku berlari ke dalam mobil dan segera menutup pintu mobilnya.
Aku menarik nafas panjang dulu sebelum membuka camilan untuk di makan.
"Hmmm, ini enek banget!" ucapku senang saat memakannya.
"Maaf, nona! Pasti nona sangat lapar! Seharusnya dari tadi kita sudah sampai rumah," ucapnya merasa bersalah.
"Gak papa pak! Ya mau gimana lagi coba?"
"Bapak mau gak?" tanyaku.
"Tidak usah nona! Nona makan saja biar kenyang,"
Aku mengambil beberapa makanan yang lumayan berat seperti roti, cemilan lainnya dan juga minuman segar.
"Ini pak," aku memberikannya.
"Tidak usah nona," dia malah menolak.
"Kalau bapak gak mau.....Naura ngambek!" ucapku.
"Tapi non-
"Naura belanjanya banyak kok pak! Lagian mana abis kalau makannya sendirian," ucapku dengan senyuman manis.
"Baiklah nona, terima kasih banyak!" dia menerimanya.
Terlihat kendaraan di barisan depan mulai bergerak melaju. Pelan-pelan kemacetan parah pun kembali normal dan jalanan menjadi lancar kembali. Mobil kami segera melaju menuju rumah.
Udara yang dingin masuk melalui celah-celah mobil. Mataku juga menjadi sayu dan mengantuk. Aku memejamkan mata dan tertidur sebentar. Tak berapa lama kemudian, mobil pun sampai ke rumah utama.
Saat tiba, aku pun terbangun.
"Nona, kita sudah sampai rumah!"
Aku langsung turun sambil membawa plastik berisi cemilan ke dalam rumah. Rasa kantuk masih menjelma dan aku masih setengah sadar.
"Hoam, ngantuk banget!" ucapku sambil berjalan.
Aku tidak terlalu memperhatikan jalan dan malah menabrak sesuatu.
Bruk
Awww
Aku terjatuh ke lantai dan plastik cemilan terlepas dari tangan.
Saat mendongak ke atas, ternyata itu adalah Revandra. Namun aku kaget saat melihatnya karena dia masih memakai topeng.
Ahhhhhkkkhhhh
Aku berteriak keras karena mengira dia orang jahat.
"Siapa lo?" tanyaku takut.
"Cih,"
Revandra mengangkat tubuhku dan menggendongku.
"Lepasin gue! Siapa lo?" tanyaku panik.
"Diam, atau aku akan-
Aku menggigit tangannya hingga berdarah dan membuatnya melepaskanku.
"Si4l, apakah kau vampir?" tanyanya kesal karena membuat lengannya berdar4h.
Aku tidak menggubrisnya dan hendak kabur. Namun, dia berhasil menarik tanganku dan kembali mengangkatku. Dia menggendongku seperti membawa sebuah karung di pundaknya. Dia berjalan ke lantai atas sambil menggendongku dengan cara seperti itu.
"Heii lepaskan aku!!" aku memukul-mukul bahu kekarnya.
Rasanya kepalaku pusing dan perutku mu4l karena posisiku terbalik ke bawah.
"Lepasin gue! Gue mau munt4h," ucapku mulai lemas.
Sesampainya di dalam kamar, dia langsung melemparkan ke tempat tidur. Dia bahkan berada di atasku dan mengunci tanganku ke atas.
"Lepasin gue!!"
"Naura, diamlah!" tegas Revandra membuatku diam.
"Kamu harus tanggung jawab sekarang," ucapnya.
"Tanggung jawab apa?"
"Pura-pura tidak tau?"
"Lo siapa sih?"
Dia melepasku dan melepaskan topengnya. Saat dia berbalik aku malah tertawa.
"Tunggu, lo Revandra toh?" ucapku.
"Naura, sekarang bagaimana pertanggung jawabanmu?" tanya Revandra.
Hahahahahahaha
"Revandra, kok wajah lo hitam gitu?" tanyaku.
"Cih, kau lupa? Kau kan yang sudah menaruh cat hitam di handukku?" tanyanya.
Aku langsung mengingatnya.
"Hah, astaga gue lupa. Ternyata jebakan gue berhasil," batinku.
"Eh jangan asal main tuduh ya! Tau dari mana lo kalau gue pelakunya?" tanyaku.
"Jangan mengelak," tegasnya serius.
"Terus kenapa gak lo cuci aja? Kan bisa hilang?" tanyaku.
"Kalau bisa hilang aku tidak mungkin sampai pakai topeng buat ke kantor! Aku seperti penjahat saat memakai topeng itu," ucapnya kesal.
"Hah, jangan bercanda! Masa gak hilang sih? Pasti gak lo gosok ya?" tanyaku.
Dia menatapku dengan tatapan kesal dan mata tajamnya yang menyeramkan.
"Astaga, tatapannya sangat mengerikan!" batinku sedikit takut.
"Huh, terus lo mau gue gimana?" tanyaku.
"Bersihin mukaku sampai kembali seperti semula! Kalau tidak....aku akan memberimu pelajaran!" ancamnya.
"Ya udah, ayo kita ke kamar mandi! Biar gue bersihin," ucapku lalu berjalan ke kamar mandi dan di susul oleh Revandra.
"Masa gak bisa hilang sih? Pasti dia cuma mau ngerjain gue," batinku.
Aku mulai membasuh wajah tampannya. Memakaikan sabun pencuci muka dan menggosoknya dengan lembut lalu mbkladnya lagi. Saat sudah di bilas ternyata sama sekali belum hilang. Aku merasa heran dan bingung.
"Loh, kok gak bisa hilang? Kok bisa sih?" tanyaku bingung.
"Bagaimana? Apakah bisa hilang? Awas saja kalau sampai tidak bisa di hapus," ancamnya kembali.
Aku tidak menyerah. Aku terus menggosok wajahnya bahkan dengan kekuatan penuh sampai-sampai Revandra merasa kesal dan sedikit kesakitan.
"Naura, bisakah kau lebih lembut lagi? Kau menyiksaku?" tanyanya kesal.
Aku tidak memperdulikan ocehannya dan terus melakukannya agar cat itu menghilang dari wajah tampannya.
"Astaga!! Mampus gue! Catnya gak mau hilang? Gimana dong? Bisa habis nih gue di buat Revandra," batinku panik.
"Kayaknya cat yang gue kasih kemarin itu adalah cat permanen deh? Waduh, kenapa gue gak meriksa dulu ya?" batinku terlalu bodoh.
"Apakah sudah hilang?" tanyanya.
"Hah? Belum," jawabku pasrah.
"Ssshh, benar-benar menyebalkan!" ucapnya kesal.
"Terus gimana dong?" tanyaku.
"Kenapa kamu yang bertanya? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu?" Revandra mulai kesal.
"Hmm....
Aku langsung bertekuk lutut di lantai untuk meminta maaf pada Revandra dengan rasa bersalah.
"Maafin gue! Gue gak tau kalau catnya gak bisa hilang. Gue cuma iseng aja, Gue gak tau kalau jadi begini, Tolong jangan marah sama gue," ucapku merasa bersalah dengan wajah menunduk.
"Berdirilah," pintahnya.
"Maafin gue Revandra," ucapku.
Revandra menarikku untuk berdiri.
"Aku tidak akan marah! Tapi...aku mau kau bertanggung jawab!" ucapnya.
"Tapi gue gak tau gimana cara buat ngilanginnya?" tanyaku bingung.
Tok
Tok
Benny datang di waktu yang tepat.
"Tuan, saya sudah membawakannya!" ucapnya.
"Sudah datang, kau tunggu disini dulu!" Revandra pergi untuk mengambilnya dari Benny.
"Huh, untung Revandra gak marah! Bisa mampus nih gue! Kenapa ceroboh banget sih?" tanyaku kesal.
Aku melihat ke arah tong sampah dan mengecek apakah botol itu ada atau tidak.
"Ternyata masih ada," aku mengambilnya dan melihatnya secara detail.
Dan benar saja, ternyata cat itu permanen. Aku membelinya dari minimarket tanpa lihat detail lengkapnya.
"Astaga, jadi ini beneran permanen? Goblok banget sih," ucapku kesal pada diri sendiri.
"Gue jadi merasa bersalah banget sama dia! Seharusnya sebelum gue pakek, gue cek dulu!" ucapku.
Saat Revandra masuk, aku langsung memasukkannya ke tong sampah lagi. Dia membawa sebuah plastik.
"Itu apa!" tanyaku.
Dia mengeluarkan sabun pencuci muka khusus yang dapat menghilangkannya.
"Bersihkan wajahku dengan ini," pintahnya.
"Gue?"
"Ya, jadi siapa lagi?" tanyanya dingin.
Aku mendekat ke arahnya. Membuka sabunnya lalu mengusapkannya di wajah tampannya. Dengan penuh kesabaran dan ke hati-hatian, aku mengusapnya dengan perasaan.
Saat aku mulai menggosok wajahnya dengan lembut, Revandra terus memandangiku dengan tatapan tajam. Aku berhenti kala merasa gugup saat di tatapannya begitu.
"Kenapa berhenti?" tanyanya.
"Hah?" aku melanjutkannya lagi dan me coba untuk bodoh amat pada tatapan Revandra.
Busa yang tadinya putih kini berubah menjadi hitam. Naura membasuh wajahnya dan cat pun hilang. Wajahnya kembali seperti biasanya. Setelahnya, aku mengelap wajahnya yang basah dengan handuk kecil yang permukaannya lembut. Dengan pelan aku mengelap seluruh wajahnya.
"Selesai," ucapku senang.
Revandra menoleh ke arah kaca dan ternyata wajah tampannya benar-benar sudah bersih.
"Lumayan juga," ucapnya.
"Apanya?" tanyaku.
Dia malah tersenyum manis ke arahku.
"Ya udah, semua udah beres! Gue balik ke kamar ya. Gue udah ngantuk," ucapku.
Saat aku berbalik, dia malah menarikku ke pelukannya.
"Mau pergi begitu saja?" tanyanya.
"Rev, lo mau apa lagi? Kan semuanya udah beres?" tanyaku.
"Gue bakal biarin lo keluar, tapi lo harus civm gue," bisiknya.
"Lo apaan sih? Kenapa lo makin aneh-aneh?" tanyaku kesal.
"Jika tidak melakukannya, jangan harap bisa keluar dari kamarku," ancamnya.
"Apa? Kok gitu?" tanyaku kesal.
"Lakukan saja apa yang aku perintahkan," pintahnya.
"Aduh gimana nih? Masa gue harus nyium nih cowok sih?" batinku kesal.
"Tapi kalau gue gak ngelakuin itu, gue bakal terjebak sama dia?" batinku bingung.
"Aku hanya meminta hal yang mudah, kenapa tidak segera melakukannya? Oh atau kamu mau bersamaku malam ini?" tanyanya dengan tatapan nakal.
"Aku sangat senang jika kita tidur bersama malam ini! Aku akan membuat malam mu menjadi malam yang sangat indah. Kita juga akan menikmati malam yang penuh dengan ga1rah pan4s," ucapnya.
"Kau akan merasakan sensasi yang akan membuatmu merasa tercandu-candu. Aku juga sudah lama tidak melakukan hal yang menyenangkan itu? Apakah kau mau?" bisiknya membuatku merinding.
"Daripada jadi mangsanya, mending gue nyium dia aja," batinku sudah memilih.
Tanpa basa-basi, aku mengecup singkat pipi mulusnya.
Cup
"Sudah, sekarang lepasin aku!" ucapku.
"Sekali lagi," ucapnya.
"Apa?"
Dengan terpaksa aku melakukannya lagi.
"Sudah," ucapku.
Revandra akhirnya melepaskanku. Namun saat baru akan melangkah, dia malah menarikku lagi. Dia bahkan mendapatkan bibirku lagi. Aku tidak bisa apa-apa dan hanya bisa pasrah dengan keadaan ini.
"Aku senang karena kau sama sekali tidak melawan," ucapnya saat menyudahi aksinya.
Aku hanya diam saja karena kesal. Dia mengambil tengkuk leher dan menc1um keningku lalu mengelus rambutku.
"Kau boleh ke kamarmu," ucapnya.
Aku langsung buru-buru pergi dari kamarnya sebelum dia berbuat lebih jauh. Aku masuk ke kamarku dengan perasaan yang campur aduk.
"Aduh, kenapa baru sekarang deg-degan nya?" tanyaku heran.
"Si Revandra lama-lama bikin gue takut," ucapku.
"Gimana bisa dia kayak gitu sama adik tirinya sendiri? Dia itu memang mesvm," omel ku kesal.
"Perbuatan dia lama-lama makin kesini makin berbahaya," ucapku.
***
Keesokan harinya, aku tidak ada jadwal kuliah. Hari ini aku bangun lebih siang. Seperti biasa, aku bangun lalu meregang otot-otot yang terasa kaku.
"Huh, nyenyak banget tidur gue," ucapku semangat.
Aku melihat ke arah jam yang menunjukkan pukul 9 pagi. Aku ke kamar mandi untuk cuci muka. Lalu aku keluar lalu menghirup udara segar.
"Pagi ini keliatan cerah banget," ucapku.
Aku kepikiran sesuatu.
"Hmm, udah lama aku gak lari pagi," aku pun memutuskan untuk lari pagi keliling komplek.
Aku kamar untuk ganti baju. Memakai baju khusus dengan sepatu olahraga. Aku juga memasang earphone di telinga sambil mendengar musik.
Aku mulai berlari pelan mengelilingi komplek perumahan di sana. Kembali menghirup udara yang begitu segar. Melawati banyak pepohonan rindang dan jalanan yang sepi. Suasana menjadi tenaga dan damai. Melihat dedaunan yang rontok dan burung-burung kecil yang bersuara merdu seperti sedang bernyanyi.
Setelah beberapa putaran, aku merasa lelah dan duduk sebentar di kursi taman.
"Ternyata asik juga," ucapku senang.
"Hmm, sebentar lagi gue udah harus sidang! Semoga aja bu Ellen bener-bener bisa bantu gue," ucapku.
"Kali ini gue harus bisa lulus! Gue udah muak sama pelajaran di kampus! Sehabis lulus, gue mau kerja di perusahaan. Semoga aja semuanya berjalan dengan lancar," ucapku.
"Tunggu, ini tanggal berapa ya!" tanyaku.
Aku melihat hp.
"Astaga, ini kan tanggal peringatan papa meninggal," ucapku.
"Kok bisa gue sampai lupa sih?" tanyaku.
"Astaga, lo kebiasaan banget sih Nau?" aku merasa kesal pada diri sendiri.
Aku langsung bangkit dan berlari menuju rumah utama. Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan ganti baju.