Nandana Panesthi, seorang istri yang sempurna di mata orang-orang, terjebak dalam pernikahan tanpa cinta dengan Dimas Larung Mahdiva, pria ambisius yang lebih mencintai kekuasaan daripada dirinya. Kehidupan rumah tangga mereka yang tampak harmonis hanyalah topeng dari kebekuan yang semakin menusuk hati Nanda.
Hingga suatu hari, Sanjana Binar Rimbawa hadir seperti badai di tengah gurun kehidupan Nanda. Seorang pria dengan tatapan yang dalam dan kata-kata yang mampu menghidupkan kembali jiwa yang hampir mati. Sanjana bukan sekadar selingkuhan dia adalah pria yang menempatkan Nanda di singgasana yang seharusnya, memperlakukannya bak ratu yang selama ini diabaikan oleh suaminya.
Namun, cinta terlarang ini tak semudah kelihatannya. Di balik kelembutan Sanjana, tersimpan rahasia yang mengancam segalanya. Sementara Dimas mulai mencurigai perubahan sikap Nanda dan bertekad untuk mengungkap siapa pria yang berani merebut perhatian istrinya.
Akankah Nanda menemukan kebahagiaan sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan akhir Nanda
Ny. Hutami memegang map yang diberikan Nanda dengan tangan gemetar, membaca setiap kalimat yang tertera di dalamnya. Ketika ia sampai pada bagian yang menyebutkan bahwa tidak ada pengembalian uang 10 miliar yang telah diberikan kepada orang tua Nanda, wajahnya semakin merah. Amarahnya hampir tak tertahankan.
"Ini tidak bisa! Bagaimana bisa kamu menuntut begitu?" suara Ny. Hutami bergetar karena kemarahan yang memuncak. "Dimas adalah anakku! Kami sudah berusaha sebaik mungkin untuk membantu keluargamu, dan inilah balasannya? Kau hanya ingin menghancurkan hidup anakku!"
Nanda menatap Ny. Hutami dengan tatapan yang penuh keyakinan, meskipun hatinya terasa perih mendengar kata-kata itu. "Tidak, Ny. Hutami. Saya tidak ingin menghancurkan siapapun. Ini adalah keputusan yang sudah saya pikirkan dengan matang. Saya sudah cukup menderita, dan saya berhak untuk hidup bebas dari kekerasan. Saya ingin Dimas menanggung konsekuensinya," jawab Nanda, suaranya tegas meskipun mata yang berkaca-kaca.
San yang duduk di samping Nanda juga ikut berbicara. "Apa yang Nanda inginkan sekarang adalah keadilan, bukan uang atau balas dendam. Kami bukan ingin menghancurkan Dimas atau keluarganya, tetapi tindakan Dimas yang tidak bisa dimaafkan harus ada konsekuensinya. Ini bukan tentang uang, ini tentang hak-hak Nanda sebagai seorang istri yang berhak hidup dengan damai."
Ny. Hutami menggigit bibirnya, masih terkejut dan kesal dengan keputusan yang ada di hadapannya. Ia tahu bahwa Dimas sudah berada dalam posisi yang sangat sulit, dan ia tidak ingin melihat anaknya dipenjara atau hancur karier dan reputasinya. Namun, ia juga merasa bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi.
"Tapi, Dimas... Dimas tidak akan pernah mau menandatangani ini," kata Ny. Hutami dengan nada frustasi. "Dia pasti tidak akan mau merelakan uang itu begitu saja. Kau tahu dia tidak akan bisa terima ini."
"Jika Dimas ingin kembali ke jalan yang benar, jika dia ingin menunjukkan penyesalan yang tulus, maka ini adalah langkah yang tepat untuknya," jawab San dengan tegas. "Kita semua harus menghadapi kenyataan dan menjalani akibat dari tindakan kita. Dimas harus membayar atas apa yang telah dia lakukan kepada Nanda."
Dengan tatapan penuh keputusan, Nanda berkata, "Jika Dimas menandatangani ini, saya akan mencabut laporan saya dan memberi dia kesempatan untuk berubah. Tapi jika tidak, saya tidak akan mundur. Saya sudah cukup dipermainkan."
Ny. Hutami menatap map itu dengan penuh kebingungan dan kesal, merasakan betapa sulitnya menerima kenyataan ini. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa ada kekuatan dalam diri Nanda yang sulit ia bantah. Ia tahu, bahwa mungkin inilah saatnya untuk melepaskan anaknya dan menghadapi kenyataan pahit.
"Baiklah, aku akan bujuk Dimas agar menandatangani ini." Ucap ny. Hutami yang kemudian keluar ruangan, bertepatan dengan ibu Nanda dan Dayu yang datang menjenguk anaknya, Ibu saraswati melengos tidak mau menyapa ibu Dimas.
Ibu Saraswati melengos dengan ekspresi penuh kebencian, tidak peduli dengan keberadaan Ny. Hutami yang baru saja keluar dari ruangan. Nanda hanya bisa menunduk, merasa cemas menghadapi situasi yang semakin rumit. Dayu, yang terlihat lebih tegar, mencoba memberi dukungan dengan menggenggam tangan Nanda, namun rasa takut masih menghantui Nanda. Ibu Saraswati, meskipun tidak menyapa Ny. Hutami, menatap anaknya dengan penuh keprihatinan.
"Tenang, Nak," kata Ibu Saraswati sambil menepuk lembut bahu Nanda. "Semua akan baik-baik saja. Kami ada di sini untuk mendukungmu."
Namun, Nanda merasa bimbang. Apa yang harus dia lakukan jika Dimas tetap keras kepala? Apa yang terjadi jika pernikahan itu benar-benar berakhir? Semua pertanyaan ini berkecamuk di pikirannya. Dia tahu bahwa keputusan besar sudah dekat, dan setiap langkah yang dia ambil.
akan menentukan masa depannya.
San yang sejak tadi diam, merasakan tatapan tajam Ibu Saraswati yang penuh rasa ingin tahu. Dia menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Saya San, teman Nanda. Saya... saya hanya ingin membantu."
Ibu Saraswati mengerutkan kening, masih merasakan keraguan, namun ada sesuatu dalam mata San yang membuatnya sedikit lebih tenang. "Membantu?" Ibu Saraswati bertanya, suaranya mengandung skeptisisme. "Apa maksudmu membantu? Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari anak saya?"
San menatap Ibu Saraswati dengan serius, tetapi nada suaranya tetap lembut. "Saya hanya ingin memastikan Nanda mendapatkan keadilan. Tidak ada yang lebih penting bagi saya daripada melihat dia bahagia dan aman."
Sikap San yang tegas namun penuh perhatian membuat Ibu Saraswati terdiam. Dia bisa merasakan ketulusan dalam perkataan San, meskipun hatinya masih bimbang. Dia melihat Nanda yang duduk dengan wajah penuh emosi dan kebingungan, membuatnya sedikit lebih memahami kenapa San begitu peduli.
"Tapi hati-hati," tambah Ibu Saraswati dengan sedikit lebih lembut, "anak saya sudah cukup menderita. Jangan buat dia semakin terluka."
San mengangguk, "Saya tahu, dan saya janji akan mendukung Nanda sampai semuanya selesai dengan benar."
Mendengar itu, Ibu Saraswati akhirnya tersenyum tipis. Meskipun ia masih memiliki kekhawatiran, ia merasa sedikit lega melihat ada seseorang yang benar-benar peduli pada putrinya.
Dayu memandangi San dengan tatapan tajam, mencoba mengingat di mana dia pernah melihat wajah itu sebelumnya. Kemudian, matanya yang cerdas terbelalak, dan dia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dia ingat. "Kayaknya aku pernah lihat Mas ini deh," ucapnya dengan nada sedikit terkejut.
San menoleh ke arah Dayu, seolah terkejut dengan komentar mendadak itu. Dayu mengerutkan dahi, lalu dengan cepat menambahkannya, "Aku ingat! Di album foto sekolah Mbak Nanda, ada foto kamu, kan? Aku ingat karena Mbak Nanda sempat menandai foto kamu dengan hati, dan itu terlihat sangat spesial."
Nanda yang sejak tadi diam, mendengar ucapan Dayu, wajahnya seketika memerah. Dia menatap San dengan tatapan campur aduk antara terkejut, malu, dan mungkin juga sedikit bingung. Dia tak pernah mengira bahwa foto yang dulu dia simpan begitu jelas diingat oleh orang lain, apalagi oleh adiknya.
San hanya tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan yang mulai muncul. "Ya, saya memang teman lama Nanda. Kami... sudah lama saling mengenal," ujarnya sambil melirik Nanda yang kini menunduk, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
Dayu tertawa ringan, melihat keduanya yang tampak canggung. "Jadi, selama ini Mbak Nanda tidak bilang apa-apa soal kamu ya? Mungkin ini rahasia kecil antara kalian berdua." Dia berkata dengan nada bercanda, namun bisa merasakan ada sesuatu yang lebih mendalam antara Nanda dan San, meskipun keduanya masih terkesan hati-hati.
Nanda menghela napas, mencoba mengatur perasaannya. "Dayu, tidak perlu dibahas," ucapnya sambil memberikan tatapan meminta, berharap adiknya tidak membuat situasi menjadi lebih rumit.
San pun mengangguk, menghargai keinginan Nanda untuk tidak berbicara lebih jauh. Namun, perasaan yang tersembunyi di antara mereka berdua terasa semakin kuat terutama setelah pengakuan tak terduga dari Dayu.
San tersenyum kecil, mencoba menghilangkan kecanggungan yang terasa di antara mereka. Meskipun senyumnya tampak ringan, ada kehangatan yang terpendam di baliknya, seolah ingin menenangkan Nanda dan Dayu. Namun, suasana di ruang itu tiba-tiba terasa berbeda—terasa berat, seperti ada hal yang belum terucapkan antara dirinya dan Nanda.
Nanda merasa sedikit canggung dengan perhatian yang tiba-tiba terfokus padanya, terutama setelah ucapan Dayu yang begitu blak-blakan. Dia merasakan bagaimana kedekatannya dengan San mulai menarik perhatian lebih dari yang diinginkannya, terutama dalam situasi yang sudah begitu rumit ini. Meskipun begitu, dia tahu bahwa San adalah satu-satunya orang yang memberikan rasa aman dan dukungan selama ini.
"Ada yang ingin kamu katakan?" tanya Dayu, memecah keheningan dengan nada iseng, namun matanya mengamati Nanda dan San dengan rasa ingin tahu yang besar.
Nanda hanya menggeleng pelan, merasa tidak nyaman dengan perhatian yang begitu tajam. "Tidak ada, Dayu," jawabnya cepat, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Namun, San yang merasa perasaan Nanda sedang terluka, mencoba untuk berkata, "Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal ini." Dia menoleh ke Nanda dengan tatapan lembut, berusaha meyakinkannya bahwa mereka bisa berbicara tentang hal-hal lain yang lebih penting.
Ibu Saraswati yang sejak tadi diam, kini mulai melangkah mendekat. "Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanyanya dengan lembut pada Nanda, mencoba menghilangkan ketegangan yang terasa. Nanda hanya mengangguk kecil, berusaha tersenyum meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran dan rasa cemas.
Tapi, meskipun suasana sudah sedikit mencair, perasaan yang tidak terucapkan di antara Nanda dan San tetap ada. Ada sesuatu yang lebih mendalam yang belum mereka ungkapkan satu sama lain.