Dipaksa pulang karena suatu perintah yang tak dapat diganggu gugat.
ya itulah yang saat ini terjadi padaku.
seharusnya aku masih berada dipesantren, tempat aku belajar.
tapi telfon hari itu mengagetkanku
takbisa kuelak walaupun Abah kiyai juga sedikit berat mengizinkan.
namun memang telfon ayah yang mengatas namakan mbah kakung tak dapat dibantah.
Apalagi mbah kakung sendiri guru abah yai semakin tak dapat lagi aku tuk mengelak pulang.
----------------------------------
"entah apa masalahmu yang mengakibatkan akhirnya kita berdua disini. tapi aku berharap kau tak ada niat sekali pun untuk menghalangiku menggapai cita2ku" kataku tegas. takada sama sekali raut takut yang tampak diwajahku
masabodo dengan adab kali ini. tapi rasanya benar2 membuatku ingin melenyapkan seonggok manusia didepanku ini.
" hei nona, bukankah seharusnya anda tidak boleh meninggikan suara anda kepada saya. yang nota bene sekarang telah berhak atas anda" katanya tak mau kalah dengan raut wajah yang entah lah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsa Salsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
BAB 19
“Mbak Aliya niku, mas Musa nangis mbak kejer gakmau berhenti”. Lapor salah satu santri putri.
Tanpa menunggu si pembawa pesan pergi aku sudah lebih dulu berlari meninggalkan kantor pengurus putri menuju ndalem. Entah sekencang apa aku berlari tapi yang pasti aku tak sampai untuk menyapa orang yang berpapasan denganku.
Sayup- sayup terdengar suara tangisan bocah kecil berumur satu setengah tahun itu. Padahal belum sampai setengah jam kutinggal pergi ke kantor pengurus yang tak terlalu dekat memang tapi tangisannya sudah begitu melengking bagai telah dianiaya. Dan sepertinya semua bayi memang seperti itu.
Bayi gemuk itu sudah meronta- ronta di atas gendongan salah satu anak dhalem bagian dapur. “yaya...yaya...”. Teruaknya saat tau aku sudah ada didekatnya. Langsung merentangkan tangan tanda ia minta untuk pindah dalam gendonganku.
“Iya ini mbak yayanya udah di sini. Udah ya mas Musa ganteng. Diemya cup.. cup.. cup..”. Kataku menghibur anak tampan ini yang sekarang sudah berada di dalam gendonganku.
Tak sampai lima belas menit akhirnya tangisan mas Musa berhenti. Untung saja tak sampai terjadi drama berkepanjangan seperti biasanya.
Aku masuk menuju ndhalem lewat pintu samping yang biasa kita anak ndhalem gunakan. Pintu yang langsung menuju dapur ndhalem itu sangant memudahkan mobilitas pekerjaan kami.
Kuambil botol susu yang berada di dalam wadah steril khusus untuk menyimpan semua perabotan makan untuk mas Musa dan juga Neng Nesya. Segera kubuatkan susu sebelum bayi menggemaskan ini kembali tantrum.
“Mau ada tamu banyak ya mbak?”. Tanyaku berbasa-basi kepada salah satu anak ndhalem bagian dapur. Sambil menunggu alat pembuat susu otomatis ini selesai melakukan tugasnya.
“Iya mbak, tamu dari Jakarta. Kata umma tadi rombongan dua mobil elf sama beberapa mobil pribadi juga. Mungkin sekitar dua puluh sampai tiga puluhan orang”. Jawabnya sambil tangan yang terus bekerja mengipas bawang dengan sangat cekatan.
Tiba- tiba pikiranku ngeblank saat kata Jakarta terucap. Yah ternyata sudah sangat lama aku tak mendengar kabarnya. Atau aku lah yang sebenarnya berusaha untuk tidak mencari kabarnya. Satu tahun ternyata sudah selama itu aku pergi bahkan lebaran Idul fitri pun aku sengaja tak pulang. Aku takut tak bisa kembali lagi ketempat ini dan menyelesaikan apa yang seharusnya aku selesaikan. Walaupun sudah ada hitam di atas putih tapi hal itu tak bisa menjamin apa pun bukan.
Suara tanda alat selesai bekerja membuyarkan lamunanku. Kuambil botol susu itu lalu kuberikan pada mas Musa yang dengan semangat empat lima menerimanya.
Kutinggalkan ruangan dapur menuju lantai dua dimana kamar mas Musa berada. Tak hanya kamar mas Musa tapi juga kamar Neng Nesya dan tempat khusus bermain anak-anak.
Kuletakkan mas Musa di area bermainnya. Sambil tangan mungil itu menggenggam botol susu ia kegirangan bermain balok- balok warna dam menyusunnya.
Bayangan wajahnya saat pertama kali kita berjumpa, saat kita berselisih tentang surat perjanjian itu dan juga saat aku terakhir kali melihatnya. Yaitu saat aku akan segera menaiki bis yang membawaku pergi jauh ke tempat ini.
Lemparan balok yang mengenai kakiku kembali membangunkanku dari ilusi pikiran ini. Padahal selama ini aku sudah hampir berhasil untuk terbebas dari pikiran- pikiran semacam ini.
Kalimat istigfar berulang kali kulafalkan berharap pikiran- pikiran yang bisa membuat fokusku hilang saat mengurus mas Musa ini. Hanya karena satu kata tapi sangat- sangat ampuh memporak porandakan pikiran dan juga paling penting perasaanku.
kalo siang ada jadwal yang lebih penting.
makasih ya dukungannya🙏🙏🫶🫶