Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Menyepi dari Keramaian
Malam di Kota Malang sunyi, hanya suara motor dan angin malam yang terdengar. Alarick, Barram, Falleo, dan Faldo melaju kencang di jalanan sepi. Lampu-lampu jalanan berkelip, menambah kecepatan mereka yang makin menggila. Semua di antara mereka menyukai sensasi balapan malam seperti ini, tak peduli seberapa berbahaya.
Tapi, tiba-tiba pandangan mereka terhenti. Di depan, banyak mobil polisi berjajar, dengan lampu rotator menyala. Tanpa peringatan, mereka langsung menekan rem, menurunkan kecepatan mendadak.
Falleo hampir terjatuh, tubuhnya hampir terseret aspal saat motornya meluncur tak terkendali. “Sialan!” umpatnya sambil memukul body motor setelah berhasil menstabilkan motornya sebelum terjatuh.
Mereka berhenti sejajar, memandang ke depan dengan tegang. Polisi terlihat bersiaga di pinggir jalan, dan orang-orang mulai berkerumun.
Barram memukul pelan helmnya, kesal. “Kenapa nggak kasih tahu sih kalau ada patroli malam, Fal?”
Faldo mengangkat bahunya, canggung. “Mana gue tahu, bokap gue aja nggak kasih tahu.”
Falleo yang sudah mulai khawatir, melirik ke arah polisi yang mendekat. “Sial! Bokap lo tuh liat kita, Fal!” serunya dengan nada tinggi.
Faldo langsung menoleh cepat. Polisi yang dimaksud adalah Papinya sendiri. Ia merasa keringat dingin mengalir di dahinya.
“Putar balik aja, ayo.” ajak Barram bersiap menyalakan motornya kembali, setengah bingung dan setengah gelisah.
Faldo cuma bisa tersenyum kecut. “Gue nggak nyangka bakal ketemu di sini…”
Alarick yang sedari tadi hanya diam, akhirnya membuka mulut dengan nada datar. “Udah, jangan panik. Kita tunggu aja.”
Falleo cemberut. “Tunggu apaan? Ini bahaya banget, Rick! Gimana kalau dia ngerecokin kita?”
Faldo menatap ayahnya yang semakin mendekat, wajahnya tegang. “Gue bisa mati kalau bokap tahu. Pasti dia marah besar.”
Barram ikut ngomong, mencoba mencairkan suasana. “Ya, tapi gue pikir kita bakal lebih sial kalau sampai lari sekarang, Fal. Mendingan kita hadapi aja.”
Falleo mengangguk setuju, meskipun masih terkejut. “Iya, nggak bisa kabur juga, kan? Kita udah kepergok di sini.”
Mereka pun diam, menunggu Ganuardan yang mendekat dengan langkah pasti. Perasaan tegang memenuhi udara malam itu, hanya suara mesin motor mereka yang terhenti, menggema di jalanan yang sepi.
Ganuardan mendekati mereka dengan langkah tegas. Ketika mereka turun dari motor masing-masing, mereka berdiri dengan sikap siap, namun Faldo malah cengengesan menyambut kedatangan ayahnya dengan tatapan tajam.
“Faldo!” suara Ganuardan terdengar berat dan penuh wibawa, langsung menarik perhatian mereka semua. “Apa yang kamu lakukan malam-malam begini? Jalanan ini bukan tempat untuk balapan!”
Faldo yang awalnya cengengesan, kini sedikit kikuk. "Ehm... Maaf, Pi. Cuma iseng sedikit kok, nggak ada niat buat bikin keributan."
Ganuardan menatapnya tajam, tampak tidak terlalu terkesan dengan alasan itu. "Iseng? Kamu pikir jalanan itu untuk iseng? Bisa bahaya untuk kamu dan orang lain, Faldo."
Faldo menundukkan kepala, menyadari kesalahan sikapnya. “Faldo minta maaf, ya, Pi... Janji deh, nggak akan ngelakuin ini lagi,"
Sementara itu, Barram, Falleo, dan Alarick hanya berdiri di samping dengan sikap tenang, menunggu percakapan itu selesai. Barram melirik Alarick yang tetap terlihat tenang, sementara Falleo sedikit terkejut dengan sikap Faldo yang berbeda dari biasanya.
Ganuardan masih memandangnya dengan serius, seolah ingin memastikan bahwa Faldo benar-benar mengerti. “Jangan cuma janji, Faldo. Jalanan ini bukan untuk coba-coba. Ingat, kamu bukan cuma membahayakan diri sendiri, tapi juga orang lain."
Faldo mengangguk, terlihat lebih rendah hati. “Iya, Pi, Iya."
Falleo yang mulai merasa canggung, mencoba menyelipkan sedikit candaan. “Udah, Fal, minta maaf aja, nanti balapan lagi. Hehe.”
****
Alastar berjalan dengan langkah tenang di koridor SMAGA, tas sekolah tersampir di bahu kanannya. Pemandangan pagi ini cukup sepi, hanya beberapa siswa yang lalu-lalang di sekitar aula. Dengan mata yang sedikit tertutup karena kurang tidur semalam, Alastar tetap melangkah mantap menuju ruang Pak Bagas, pelatih tim basket, sekaligus guru olahraga yang cukup tegas.
Sebagai kapten tim basket, Alastar memiliki banyak tanggung jawab. Tugasnya tidak hanya memimpin teman-temannya di lapangan, tetapi juga sering menjadi penghubung antara pelatih dan pemain. Itulah sebabnya ia harus sering menemui Pak Bagas, baik untuk mendiskusikan strategi, latihan, atau hal-hal penting lainnya terkait tim.
Sesampainya di depan ruang Pak Bagas, Alastar berhenti sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, memastikan dirinya siap untuk apa pun yang akan dibicarakan. Lalu, tanpa banyak berpikir, ia mengetuk pintu dengan satu ketukan keras.
"Masuk," terdengar suara tegas Pak Bagas dari dalam.
Alastar mendorong pintu dan masuk ke dalam ruangan yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman. Pak Bagas tengah duduk di meja kerjanya, memandanginya dengan tatapan serius. Beberapa berkas latihan dan catatan tim tersebar di atas meja.
"Selamat pagi, Pak," sapa Alastar dengan nada sopan, meskipun sedikit datar.
"Alastar," Pak Bagas menyapa dengan anggukan, lalu menaruh pensil yang ia pegang dan meletakkan tangannya di atas meja. "Ada apa, kapten? Apa ada hal penting yang perlu kita bicarakan?"
Alastar mengangguk, meletakkan tas di kursi sebelahnya, dan kemudian duduk. "Iya, Pak. Saya ingin membicarakan soal latihan tim minggu ini. Ada beberapa hal yang perlu kita perbaiki, terutama dalam koordinasi antar pemain di lapangan."
Pak Bagas mengernyitkan alisnya, menandakan perhatian. "Apa yang kamu maksud dengan koordinasi? Tim sudah cukup bagus, kan?"
"Memang, Pak, tapi ada beberapa pemain yang masih kesulitan dalam transisi antar posisi, terutama saat bertahan. Itu yang perlu kita atasi sebelum pertandingan berikutnya," jelas Alastar.
Pak Bagas berpikir sejenak, menatap Alastar yang terlihat serius. "Bagus, kalau begitu. Kita harus fokus pada kekuatan tim dan memperbaiki hal-hal kecil agar lebih solid. Aku setuju, kita akan lebih banyak latihan koordinasi dan timing."
Alastar mengangguk, merasa lega karena Pak Bagas langsung mengerti dan menyetujui pendapatnya. "Selain itu, Pak, ada juga hal yang ingin saya bicarakan terkait jadwal latihan. Beberapa pemain tampaknya mulai sedikit lelah dengan jadwal yang padat, mungkin kita bisa sedikit menyesuaikan agar mereka tetap fit untuk pertandingan."
Pak Bagas memijat pelipisnya sejenak, berpikir. "Aku paham. Mungkin kita bisa sedikit mengurangi intensitas latihan menjelang pertandingan besar. Tapi kita tetap harus jaga kondisi fisik mereka."
"Betul, Pak," jawab Alastar. "Saya pikir, dengan jadwal yang sedikit lebih fleksibel, kita bisa tetap menjaga semangat tim tanpa mereka merasa terbebani."
Pak Bagas mengangguk setuju. "Oke, aku akan atur ulang jadwalnya. Terima kasih sudah mengingatkan, Alastar. Sebagai kapten, kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik."
Alastar merasa sedikit bangga, meski tetap menjaga ekspresinya tetap datar. "Terima kasih, Pak. Saya hanya ingin yang terbaik untuk tim."
Pak Bagas tersenyum tipis. "Aku tahu, dan itu yang aku harapkan dari kapten. Sekarang, apakah ada hal lain yang ingin kamu bicarakan?"
Alastar terdiam sejenak, berpikir apakah ada hal lain yang perlu disampaikan. Namun, ia merasa pembicaraan kali ini sudah cukup. "Tidak, Pak. Itu saja."
"Baiklah, kalau begitu. Kita lanjutkan latihan besok pagi. Jaga kesehatan, Alastar," ujar Pak Bagas sambil berdiri dan memberikan anggukan singkat.
Alastar bangkit dari kursinya, mengambil tasnya, dan memberikan salam hormat. "Terima kasih, Pak. Sampai besok."
Setelah itu, Alastar melangkah keluar dari ruang Pak Bagas, langkahnya mantap menuju kelas. Namun, di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Frasha yang baru saja keluar dari ruang OSIS. Frasha mengenakan seragam OSIS dengan lencana dan dasi yang rapi, seakan menonjolkan aura pemimpin di tubuhnya.
Alastar memandanginya sekilas, kemudian tersenyum tipis sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas. Frasha hanya memberikan anggukan ringan sebagai balasan, tidak banyak kata yang terucap di antara keduanya. Meskipun mereka sudah sama-sama berdamai. Alastar tahu, terkadang lebih baik membiarkan keheningan mengisi ruang-ruang kecil seperti ini.
Sesampainya di kelas, suasana sudah cukup ramai. Suara tawa dan percakapan terdengar di seluruh penjuru kelas. Falleo dan Barram, yang tidak pernah kehabisan bahan candaan, sedang bercanda dengan Faldo yang tampak sedikit kesal, duduk di bangkunya. Alastar bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas saat ia membuka pintu.
"Hah, jadi motor lo disita, Fal?" tanya Barram sambil menahan tawa. "Mau naik apa lo ke sekolah sekarang, naik sepeda angin?"
Falleo ikut menimpali dengan suara terkekeh, "Pasti diantar sama papi lo, kan, Fal? Sial banget!"
Faldo mendengus kesal, tangannya menggenggam buku catatan di meja dengan erat. "Iya, diantar sama bokap gue. Gimana lagi?" jawabnya dengan nada pasrah. "Motornya disita, uang jajan dipotong. Pokoknya semua hal yang bikin gue malu terjadi gara-gara balapan itu."
"Emang sih, lo kebangetan banget. Udah tau bokap lo polisi, masih aja ajak kita balapan malam-malam," sindir Falleo sambil tertawa lebih keras lagi.
Barram yang mendengarnya semakin tak bisa menahan tawa. "Lo tau, kan, Fal, bokap lo pasti udah ngatur semua buat lo. Dia tuh emang pengen lo jadi polisi juga, jadi ngapain balapan, cuy!"
Faldo mengalihkan pandangannya, berusaha menahan amarahnya, tapi senyum kecut masih terlukis di wajahnya. "Pokoknya gue nyesel. Nggak bakal gue ulangi lagi."
Alastar yang baru masuk ke dalam kelas, mendengar percakapan tersebut hanya tersenyum tipis. Ia sudah terbiasa dengan canda tawa mereka yang sering kali membuat suasana semakin hidup, meskipun kadang kala berlebihan.
Dia memilih untuk duduk di bangkunya, menaruh tas di sampingnya, dan memandang ke arah jendela. Meskipun dunia di sekitarnya sering kali penuh keramaian, ada kalanya Alastar merasa lebih nyaman dalam keheningan, berpikir tentang banyak hal yang lebih penting daripada canda tawa sahabat-sahabatnya.