Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.
Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.
Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Kejadian Tidak Terduga
Perawat dan dokter yang mengumumkan waktu kematian Safira mendadak terkejut pasalnya Safira sama sekali tidak ada tanda kehidupan.
"Hah?"
“Aku belum mati, Dok! Lihat, baik-baik aja, kan?” tunjuk Safira turun dari ranjang untuk meloncat beberapa langkah.
“Jantung kamu udah berhenti berdetak sebelum dibawa ke sini. Kami udah memastikan berulang kali dan hasilnya sama kalau kamu meninggal dunia.”
Safira berpikir jika dirinya masuk ke dalam mimpi seseorang lagi dan saat itu jiwanya pergi meninggalkan cangkang yang kosong. Dirinya takut jika tidak segera bangun mungkin sudah jadi ubi.
“Pasang infus lagi dan cek ulang mungkin ada kesalahan,” suruh Dokter itu yang masih heran.
“Baik, Dok.”
“Sus, gimana kronologinya?” tanya Safira setelah menahan sakit di bagian telapaknya.
“Kamu pingsan bersama seorang wanita hamil, kata saksi kamu mau tolong dia?”
Safira mengangguk.
“Terus?”
Lantas Safira mengedikan bahu beralih memikirkan kejanggalan yang terjadi. “Aneh.”
Suster itu bingung dengan tatapan Safira yang kosong. Secepatnya suster itu menyadarkan Safira.
“Aku merasa ini kehidupanku yang pertama, tapi banyak orang yang mengenalku. Aku bisa baca pikiran juga masuk ke mimpi orang. Sebenarnya siapa aku?”
Setelah selesai dipasangi infus, Safira bersandar. Terdengar teriakan kencang seorang wanita. Karena penasaran, Safira membuka tirai di sebelahnya. Ternyata wanita yang sama.
“Sakit! Kalian bisa nggak sih infus pasien tanpa rasa sakit? Baru magang, hah?” terka Nita dengan dahi yang berkerut.
Vino mengusap punggungnya. “Tahan sebentar, Sayang. Sakitnya cuma sebentar.”
Safira heran melihat orang yang sama ada di mimpinya. Setelah gordennya ditutup, Safira pergi seraya mencubit tangannya sehingga meringis kesakitan.
“Apa Kakek tau siapa jati diriku sebenarnya? Aku butuh ingatan yang mungkin aku lupakan.”
Ketiga Jari Safira maju ke depan seolah bisa mengeluarkan sarang laba-laba. Lagi dan lagi pikirannya tidak masuk akal sehingga dirinya menertawakan kebodohannya.
Safira duduk di taman menenangkan pikirannya. Angin menerpa wajah cantiknya sementara dirinya menikmati ketenangan yang jarang dia rasakan.
Tanpa sadar setengah jam berlalu, Safira merasakan langkah kaki seseorang berhenti di depannya. Safira menengok orang itu ternyata Nita.
"Dia orangnya yang bisa pingsan bareng sama aku?" Nita tertawa kecil saat mendekati Safira. "Mana ada orang yang diinfus bisa jalan bebas?"
Sebab, Safira menaruh infusnya di atas kepala seolah tidak takut infusnya jatuh kapan saja.
“Kata suster kamu mau tolong aku tapi ikut pingsan,” kata Nita lalu duduk di sampingnya.
Safira mengangguk. “Jadi menyusahkan semua orang.”
“Aku nggak tau akhir-akhir ini perasaanku berubah-ubah bahkan jadi sensitif sering marah, malas, egois, dan keburukan lainnya.” Embusan napas wanita di sampingnya terdengar berat.
Safira diam memainkan kakinya. Dia takut memancing emosinya.
Lantas Nita melihat Safira. “Aku ingat, waktu itu aku bertemu penyihir yang menawarkan jasa pengabul permintaan. Aku minta diberi momongan dan membuat kesepakatan sama penyihir. Sekarang keinginanku terwujud, sayangnya aku harus membayar sesuai kesepakatan. Aku takut mereka membenciku dan suamiku bosan terus menceraikan ku.”
“Aku pikir suami Kakak nggak mau kehilangan Kakak, deh. Rasa cintanya lebih besar daripada kehilangan Kakak.”
Nita terbelalak. “Kamu dengar penyihir yang bisa mengabulkan permintaan? Aku pernah buat kesepakatan sama penyihir saat putus asa!”
“Aku pernah dengar dari seseorang juga,” balas Safira yang merasa bingung karena Nita juga bingung ucapannya bisa terdengar jelas. “Jadi mau tau sehebat apa penyihir itu!”
Terdengar helaian napas yang terasa berat. “Aku menyesal.”
“Kenapa menyesal? Keinginan Kakak udah terwujud.”
“Keinginanku terwujud tapi harus menanggung konsekuensinya. Aku takut bayiku lahir emosiku nggak terkontrol, bisa aja aku melukainya. Aku rasa lebih baik hidup tanpa pasangan daripada menjalani hidup tanpa ketulusan hati.”
Safira tidak mau memancing emosi ibu hamil, dengan cepat memegang tangannya. “Apa yang Kakak sesali nggak mungkin mengembalikan ke waktu awal kejadian. Kakak harus menerimanya karena keinginan udah terpenuhi.”
“Perlahan aku pastikan belajar sabar demi calon bayiku.” Nita tersenyum lalu mengusap telapak tangan Safira. "Bukannya kita bisa belajar sabar, tahan emosi, dan turunin ego? Mungkin seiring waktu yang hilang dariku bisa balik lagi, kan?"
Safira mengangguk saja, menunjukkan senyum sampai mata menyipit. Entah yang hilang bisa kembali atau selamanya benar-benar hilang. “Aku yakin anak Kakak tumbuh jadi orang yang hebat, sehebat perjuangan orang tuanya."
“Siapa kamu? Apa kamu juga penyihir? Karena hanya penyihir yang bisa dengar perkataanku, bahkan waktu berhenti saat bahas Bar Penyihir itu di depan suamiku."
"Sebenarnya aku ini...."