Jesslyn tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis dalam satu malam. Demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran finansial, ia dipaksa menikahi Neo, pewaris kaya raya yang kini terbaring tak berdaya dalam kondisi koma. Pernikahan itu bukanlah perayaan cinta, melainkan sebuah kontrak dingin yang hanya menguntungkan pihak keluarga Neo.
Di sebuah rumah mewah yang sunyi, Jesslyn tinggal bersama Neo. Tanpa alat medis modern, hanya ada dirinya yang merawat tubuh kaku pria itu. Setiap hari, ia berbicara kepada Neo yang tak pernah menjawab, berharap suara dan sentuhannya mampu membangunkan jiwa yang terpenjara di dalam tubuh itu. Lambat laun, ia mulai memahami sosok Neo melalui buku harian dan kenangan yang tertinggal di rumah itu.
Namun, misteri menyelimuti alasan Neo koma. Kecelakaan itu bukan kebetulan, dan Jesslyn mulai menemukan fakta yang menakutkan tentang keluarga yang telah mengikat hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mirip Pinguin
Neo menyandarkan tubuhnya di sisi bathtub, wajahnya dihiasi seringai penuh kemenangan. Uap air hangat di sekitar mereka tidak cukup untuk menyembunyikan tatapan nakalnya.
“Malam ini,” Neo berbisik pelan, suaranya rendah namun penuh godaan, “aku akan memastikan kau tahu apa artinya menjadi istri seorang, Hou. Sudah waktunya kau menjalankan tugasmu, Nyonya Muda Hou.” Ia mencondongkan tubuh ke arah Jesslyn, dan menatapnya dengan nakal. “Puaskan aku.”
Jesslyn tertegun. Wajahnya memerah, bukan karena panas air, tapi karena kata-kata Neo yang terlalu blak-blakan. Dia meraih gayung dan memercikkan air ke wajah Neo. “Neo! Kau jangan macam-macam!” serunya. Matanya melirik ke bawah sekilas, lalu menunjuk dengan ekspresi setengah geli, setengah marah. “Atau pisang rajamu itu kupotong jadi tiga bagian!”
Neo terkekeh, tidak sedikit pun dia merasa terintimidasi. “Kau yakin bisa melakukannya?” katanya dengan seringai tipis. “Dengan apa? Dengan gayung itu?” Ia menunjuk gayung di tangan Jesslyn. “Apa kau yakin gayung itu cukup tajam untuk melakukan keajaiban?”
Jesslyn meletakkan gayung dan menatap Neo dengan ekspresi serius. “Tapi aku punya alat yang lebih tajam dari ini, Tuan Muda Hou. Jangan pikir aku bercanda.”
Neo mengangkat alisnya, seringainya semakin melebar. “Jadi kau serius, ya? Baiklah, coba saja kalau kau berani.” Ia menyandarkan tubuhnya lebih santai, tangannya bermain dengan buih-buih di bathtub. “Tapi pikirkan dulu baik-baik, Jesslyn. Jika kau benar-benar melakukannya, kau akan kehilangan sesuatu yang sangat... berharga.”
Jesslyn mengerucutkan bibirnya. “Kau salah besar, justru aku sedang menyelamatkan diriku sendiri dari ancaman terbesar,”
Neo tertawa keras, nyaris membuat air bathtub tumpah. “Jesslyn, kau benar-benar luar biasa. Tapi sayang sekali, ancaman ini,” ia menunjuk dirinya sendiri dengan gaya sombong, “sudah resmi menjadi milikmu. Kau mau potong tiga bagian sekalipun, kau tetap harus mengurusnya.”
Jesslyn menatapnya dengan frustasi. “Neo, kau ini benar-benar menyebalkan. Kalau kau terus begini, aku benar-benar akan melakukannya dan kau akan kehilangan burung itu!”
Neo mendekat, membuat jarak mereka semakin sempit. “Lakukan saja, Nyonya Muda Hou. Tapi ingat, saat kau melakukannya, aku tidak bisa menjamin jika kau belum merasakan tembakan mautnya,”
Jesslyn merinding sendiri. Dia mengangkat kedua tangannya, lalu mendorong dadanya agar mundur. “Neo, aku peringatkan untuk terakhir kalinya—jangan macam-macam!”
Neo tersenyum puas sambil bersandar lagi dengan santai. “Baiklah, aku akan menunggu. Tapi hati-hati, Jesslyn. Air hangat ini mungkin membuatku semakin... berg4irah.”
Jesslyn mengambil handuknya dan bangkit dengan cepat. “Aku selesai. Kau mandi saja sendiri. Aku tidak mau ambil risiko dengan berada di sini lebih lama.”
Neo tertawa pelan sambil menatap punggung Jesslyn yang menjauh. “Lari saja, Nyonya Hou. Tapi malam ini kau tetap milikku.”
.
.
Jesslyn sedang berias di depan cermin ketika Neo tiba-tiba memeluknya dari belakang, membuat Jesslyn terkejut dan terlonjak kaget. "Neo, apa-apaan kau ini?!"
Bukan jawaban yang dia dapatkan. Neo memegang pipi Jesslyn dan mencium bibirnya dengan brutal. Belum sempat tangan itu memukul dada suaminya, dia dengan sigap memegang pergelangan tangannya hingga wanita itu tak berkutik.
Tanpa melepaskan tautan bibirnya. Neo mengangkat tubuh Jesslyn dan membaringkannya di tempat tidur. Dia berusaha memberontak, tapi pergelangan tangannya kembali di genggam erat oleh Neo.
Kedua kaki Jesslyn menendang udara kosong secara bergantian. Mata bulatnya menatap Neo dengan marah, tapi pria itu tidak peduli. Dengan satu gerakan cepat, dia berhasil merobek gaun tidur indah itu dan membuangnya asal.
"Neo, hentikan!!" jerit Jesslyn setelah Neo melepaskan tautan bi-birnya, dia terus memberontak, tapi apa yang ia lakukan sangat sia-sia.
"Diamlah!! Dan jadi istri yang patuh," ucap Neo sebelum membenamkan kembali bi-birnya dibibir Jesslyn, dan menciumnya seperti tadi.
Malam ini Neo akan menjadikan Jesslyn sebagai miliknya. Mereka adalah suami-Istri yang sah, sehingga Jesslyn tidak memiliki alasan untuk menolaknya.
"Neo, sialan!! Kau benar-benar menyebalkan!!"
***
Jesslyn keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih-tatih. Wajahnya penuh emosi, sementara Neo duduk di sofa dengan tenang, tidak terlihat ada penyesalan meskipun baru saja menghajar Jesslyn habis-habisan diatas r4nj4ng. Dia menyesap secangkir kopi dengan santai, seringai kecil menghiasi bibirnya.
"Aku benci kau, dasar manusia menyebalkan!" Jesslyn berteriak, tangannya memijat punggungnya yang terasa pegal. "Dasar kau pria bi4dab, tidak punya hati, egois, brutal!"
Neo menoleh begitu mendengar teriakannya, seringainya semakin melebar. "Hm jadi ini caramu mengungkapkan cinta padaku? Aku tersentuh, Jesslyn."
"Cinta apanya!" Jesslyn menghujani Neo dengan sumpah serapah. "Kalau ada penghargaan untuk suami paling menyebalkan, aku yakin kau akan menang tanpa perlu voting. Kau tahu tidak, gara-gara kau, sekarang aku jalan mirip nenek-nenek!"
Neo meletakkan cangkirnya dan memandangnya dari atas ke bawah. "Nenek? Hm, kau salah. Jalannya bukan mirip nenek-nenek."
Jesslyn berhenti memijat punggungnya dan menatap Neo curiga. "Lalu apa?"
Neo menyeringai lebih lebar. "Mirip pinguin. Kau tahu, yang jalannya ngesot-ngesot sambil mengayun-ayunkan pantatnya itu."
"NEO!" Jesslyn mengambil bantal di sofa dan melemparkannya ke arah Neo. Sayangnya, Neo menangkap bantal itu dengan mudah, ekspresi puas terpampang di wajahnya.
"Kalau seperti ini. Kau benar-benar sangat mirip dengan burung pinguin yang sedang marah," goda Neo, sambil menahan tawa. Entah kenapa dia begitu menikmati wajah kesal istrinya.
Jesslyn mendengus, lalu melemparkan tatapan tajam padanya. "Kau pikir ini lucu? Kau harus tanggung jawab! Kalau aku sampai tidak bisa jalan lagi, aku pasti akan melaporkanmu pada Komnas perlindungan wanita, supaya kau dibina!"
Neo berdiri, lalu berjalan mendekatinya dengan santai. "Lapor saja. Tapi apa yang akan kau katakan? 'Aku ingin melaporkan suamiku, karena terlalu memuaskan aku'? Begitu?"
Jesslyn langsung memerah mendengar ucapan Neo. Dia kembali mengambil bantal lain dan melemparkannya lagi ke Neo, kali ini tepat mengenai dadanya. "Dasar suami me$um! Entah mimpi buruk apa yang telah aku alami, sampai-sampai aku harus menikah dengan pria sepertimu!"
Neo tertawa pelan, ia membungkuk sedikit untuk menatap wajahnya yang marah. "Tapi kau menikmatinya, kan? Atau kau masih ingin lagi?"
Jesslyn mendelik tajam kearahnya, tapi tidak bisa membalas. Dia benar-benar kehilangan kata-kata. Akhirnya, ia memilih menyerah. Jesslyn beranjak dan berjalan kearah sofa sambil bergumam, "Pinguin yang marah, ya? Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu, nanti. Kau tidak akan selamat dari pinguin ini." katanya setengah menggerutu.
Neo tertawa puas, dia kembali ke kursinya sambil menikmati momen menyenangkan dan penuh kemenangan.
"Aku akan menunggunya dengan senang hati, Nyonya."
"Dasar pria tidak waras!!"
***
Bersambung