"Assalamualaikum, ini pak Ahmad. Bapak, anak anda sedang tidak baik-baik saja. Bila anda mau bertemu langsung, dengan anak anda... Serahkan kepada saya 1M secepatnya, jangan banyak alasan. Ketemu di depan gedung Serbaguna"
"Apa! Apa maksud mu! Siapa kau!! "
....
Ahmad Friko, pengusaha sukses setelah ia mengadopsi anak panti asuhan, yang diberi nama Rara, pak Ahmad bekerja dengan serius sampai terkadang lupa dengan kewajibannya untuk mengurus anak. Hingga saat ia bangkrut, ia mendapat pesan dari seseorang bahwa anaknya sedang di sekap, ditawan dan dimintai uang satu milliar, yang jumlahnya tak biasa. Apa yang akan dilakukan Ahmad setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bu Alisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17-Putriku, ditawan preman satu milliar
Selamat membaca kawan-kawan, Hai bagaimana sejauh ini ada yang termotivasi atau masih merasa kesal? Yang nanya siapa sih tokoh utama dalam cerita ini... Emmm, mungkin nanti kalian akan tahu, bahwa dari cerita ini juga beberapa bisa menjadi tokoh utama. Salam hangat, selamat membaca eh udah ya(.❛ᴗ❛.)
..
Bab 17
"Assalamu'alaikum... "
"Kiya berangkat dulu" ucap anak laki-laki itu, sambil melambaikan tangan ke arah mama Winda yang ada di ujung pintu bersedekap dada, "Ya Kiya sayang, Hati-hati ya... " kata Winda sedikit malas menatap suaminya yang setiap hari mereka bicara di rumah ini seperti bicara dengan robot, Winda hanya menatap anak tersayangnya.
Ayahnya Kiya melihat ke belakang, "Sudah? "
"Sudah." ucap Kiya, setelah mendaratkan tubuhnya di belakang jok motor honda sang ayah, pria itu mulai menaikkan mantel hujan tipis nya karena pagi ini masih gerimis, mungkin hujan akan deras kembali seperti sebelumnya.
"Pegang erat. " kata sang ayah, Kiya mengangguk mengerti. Memegang kedua sisi pinggang baju kerja ayahnya, yang bekerja sebagai wartawan media, dan masih sempat mengantarkan anaknya ke sekolah.
Sang anak memandang mamanya pelan, tanpa minat tapi anak laki-laki itu senyumkan saja soalnya mengingat hari kemarin-kemarin, mama Winda begitu menakutkan baginya, Kiya tak lagi berani melawan setelah itu.
"Kamu ada rekreasi ya? "
Tanya pria itu dingin, di dalam helm hitam. Kiya mengangguk, "Kok ayah tahu? " tanya anak itu saat mereka berdua berhenti di saat lampu lalu lintas masih berwarna merah menyala di kala gerimis hujan membasahi jalanan Jakarta.
Sang ayah tahu, karena diam-diam sebelum tidur pria itu menatap ke arah tas anaknya dan menemukan selempit kertas yang tercepit resleting, pria itu pun membuka apa isinya saking penasaran. "Kenapa? "
"Apa kamu tak mau ikut? "
Kiya menggeleng pelan, mulai mengikatkan jemari kecilnya ke kemeja pinggang ayah. "Tidak ayah, Kiya tidak mau merepotkan ayah sama mama, kalian pasti membutuhkan uang daripada Kiya... Masalah rekreasi, "
"Cuma 500 ribu apa yang dipermasalahkan Kiya? Jangan dulu berpikir dewasa, kamu masih anak kecil, kamu harus mendapat hiburan, "
"Tapi... Ayah bekerja demi Kiya... Ayah sampai gak pulang malam karena sibuk keluar kota, itu... Itu demi Kiya dan mama, "
"Andai Kiya jadi besar, bisa membantu ayah, " ucap anak laki-laki itu, entah kenapa ucapannya seperti bukan anak kecil, mungkin menurun dari pria itu. "Kamu ini ya... Kenapa tidak persis dengan mama mu? Kenapa malah plek-ketiplek sama masa kecil ayah? "
Kiya menolehkan leher kesamping, mantel tipis hijau yang anak itu pakai memiliki lubang kecil, jadinya saat air hujan jatuh melewati lubang itu dan mengenai mata Kiya, anak itu mengucek matanya pelan. "Oh ya? "
"Memang seperti apa masa kecil ayah? "
Tanya Kiya sedikit penasaran, tapi pria itu tak mau menceritakannya dahulu. Karena bukanlah masalah penting, atau harus dibicarakan sekarang. "Nanti ya... Ayah ceritakan ke kamu, tapi untuk sekarang, kamu harus nurut sama ayah. Kalau ayah suruh kamu ikut jalan-jalan sama temen kamu, harus mau ya? "
"Mau ya... "
"Em.. "
"Kalau ayah bilang begitu."
Kata Kiya agak kecil suaranya, sebenarnya selain dia gak pengen menghabiskan duit keluarga anak ini juga tak mau kalau mama nya protes, biasanya mama nya selalu menghawatirkan dirinya kalau sampai ikut kegiatan outclass seperti itu. Kiya takut, dengan mama nya yang terasa menyeramkan.
"Nih... Sudah sampai. "
"Cepat sekali yah! " seru Kiya, turun dari sepeda motor dan masih memakai mantel hujan tipis nya. Anak itu menyalami tangan sang ayah pelan, "Ayah! Semoga kerja nya lancar ya!! "
"SEMANGAT AYAH!! "
Pria itu tersenyum ke samping, menutup kedua matanya pelan lalu mencium kedua pipi sang anak gemas. "Iya... "
"Bye-Bye ayah! " lambai sang anak saat ayahnya sudah memutar balik motor dikendarai keluar dari area sekolah. Kiya dapat menghirup nafas lega, karena dirinya sekarang sudah di antarkan kemari.
Di sekolah Kiya tak punya banyak teman, mungkin hanya ada beberapa saja yang mau mengajaknya. Setelah Kiya di umumkan gurunya bahwa dia selalu masuk untuk mengikuti lomba kecerdasan matematika, banyak anak laki-laki di kelasnya iri melihat anak itu memiliki segudang piala kecil, yang tersusun di balik rak kaca.
Sebenarnya Kiya juga tak ingin menjadi pintar, lebih baik dirinya jadi bodoh saja. Karena bila dirinya menjadi orang bodoh, dia akan punya banyak teman. Sedangkan bila dia memiliki kepintaran melebihi teman-teman, dirinya di jauhi.
Di dalam kelas, Kiya menaruh tasnya dan melihat sekitar. Tangan anak itu mengeluarkan buku di dalam tas, akan melanjutkan belajarnya yang tertunda. Dirinya menepuk jidat cepat, "Aku lupa... Kenapa aku harus belajar, aku tidak boleh belajar! " serunya, kini lebih memilih menutup LKS dibanding dulu yang sering bermain dengan Rara.
Bila ada teman gadisnya, Rara si periang dan penuh canda dan tawa, hanya dia saja yang mengganggunya belajar tetapi mengajaknya bermain, seolah benar-benar teman. Kiya sekarang merindukan gadis itu, Dimanakah dia apakah dia baik-baik saja?
Kiya melihat ke arah Sindy, ya tetangga yang dia benci masuk sekolah juga. Pasti mau caper dengannya, pikir Kiya. 'Kenapa sih dia masuk? ' batin Kiya malas. Wajah dan mata kecilnya membola mata ke samping, memilih melihat dan membaca buku kembali.
Sindy dihampiri teman-temannya, dia memang anak paling cantik, lucu, dan pintar bergaul disini. Walau dirinya pintar, tak seperti Kiya dirinya jauh lebih baik berbicara dengan orang-orang sehingga mereka semua mengenalnya.
"Sindy, kemarin kemana? Kok kamu gak masuk? " tanya temannya, disamping anak itu yang sama-sama berjalan ke arah bangku Sindy. Gadis itu menepis kuncir kuda dengan ikatan pink hello kitty nya ke samping. "Aku kemarin gak masuk karena kecapekan, karena aku bersama dad and mom ke acara yang ngundang aku sama dad and mom, disana meriah banget, ada kue, ada juga kembang api... " ucap Sindy, mulai membuat teman-temannya membayangkan kemeriahan dan kemewahan apa yang diterima Sindy.
Mereka bertepuk tangan bersama, "Enak ya... Jalan-jalan, terus kemarin gak masuk lagi. Seharian bisa libur, " ucap temannya. Yang lain mengangguk, "Of course dong, dan gak cuma aku aja disana ada banyak orang... Banyak banget, temen-temen dad kan kaya-kaya semua, aku sampe di beliin handphone baru lho sama temen daddy aku... "
"Omaygatt"
Kata mereka tak bisa menyembunyikan kebanggaan mereka lagi pada Sindy. Yang dimana gadis licik ini lagi-lagi berbohong, dirinya tak mendapat barang mewah seperti handphone baru, itu cuma tambahannya saja biar dia terkesan tambah wah dimata teman-teman kelas.
"Juga aku tahu lho dimana Rara berada sekarang... " kata Sindy sengaja, matanya menyipit ke arah Kiya untuk mengundangnya penasaran. Dan benar saja, Kiya langsung memasang indra pendengarannya erat-erat, posisi nya pun ikut berubah.
Sindy berdehem, berhasil juga. Gadis centil ini meminggirkan poni kecilnya sedikit. "Jadi kemarin kan Sindy ketemu paman Ahmad, ayah angkat nya Rara... Kata ayah nya, Rara gak ada di rumah nya sekarang... "
"Dia dibawa paman Ahmad ke rumah lain yang ada baby sister nya, tapi kata paman juga... Rara bakalan kembali nanti, gak lama.. " ucap Sindy yang diakhiri lesu, tak ingin Rara si anak bau kembali lagi. Bersamaan mereka ikut mencibir, "Untuk apa dia kembali? Pindah aja lah sekalian, udah hampir seminggu juga.. "
"Hm, betul itu. "
Kata mereka mengemukakan pendapat yang sama. Tapi wajah Sindy berubah-ubah, dirinya bisa merasa simpati, dirinya juga bisa jadi jahat. Gadis itu tersenyum, "Kalau dia kembali... Biarlah... "
"Sindy gak ngurus! "
"Dia anak bau, anak sampah, gak pantas di samping kita.. "
"Ya itu benar. "
Seru mereka, bersama mulai tertawa. Kiya di ujung depan sana menggenggam erat jarinya membentuk kepalan nasi, dia meremas pensil di tangan kirinya sampai retak.
"Anak-anak, sudah waktunya masuk.. "
"Kring--Kring--Kring--"
Setelah bu guru mereka datang, bel berbunyi. Sindy pun segera duduk dan itu tak jauh dari bangku Kiya, gadis itu tersenyum kecil. Saat bu guru mulai menjelaskan satu persatu ke papan tulis, ini kesempatan bagi Sindy bisa mendekat tanpa ada halangan kutu di depannya.
"Kiya.. Kiya... " panggil Sindy, yang melupakan kemarahannya kemarin tentang ucapan Kiya padanya. Anak itu menoleh ke belakang, "Apa? " tanya Kiya tak minat. Wajah anak itu akan kembali menatap papan tulis sebelum penghapus Sindy berani dia lemparkan mengenai bahu tetangga nya. Membuat Kiya sedikit geram, apalagi perilaku Sindy dari TK sampai sekarang masih belum berubah, mereka akan menaiki kelas 3, Kiya saja sudah berpikir dewasa. Kapan Sindy bisa berpikir???
"Jangan lempar-lempar bisa gak sih?! "
Seru Kiya sambil berdiri, membuat semua anak ikut melihat nya apalagi sang guru juga menoleh kebelakang, ikut terpancing. "Ada apa Kiya? Kenapa kamu teriak? "
"Ini bu Sindy lempar-lempar terus... " kata Kiya jujur. Bu guru menggeleng kecil, ada-ada saja mereka berdua tetangga dekat ini. Wanita itu tahu kalau mereka tetangga dekat, Sindy yang berusaha nempel pada Kiya, tapi Kiya nya yang menjauh.
Bu guru memegang kepala pusing sendiri,
"Sindy kalau kamu masih berulah lagi, biar ibu pindah saja ke sebelah sana jauh dari Kiya. Mau? "
Sindy langsung duduk, dan menggeleng cepat mengucapkan kalimat panjang. "No... I don't want it... I'm sorry Mrs..I'm sorry, this is not my fault..Um..." ucap gadis itu sok membuka buku LKS. Bu guru mengangguk paham, mewanti kedua murid itu kalau-kalau mereka bertengkar lagi.
Kiya kembali duduk, dirinya kesal karena Sindy tak jadi di pindahkan malah tetap berada di belakangnya. Tentu siapa yang gak kesel? Anak laki-laki itu saja berdecak, walau dia tadi senang dengan informasi yang diberikan tetangga nya tentang Rara yang akan masuk kembali dan baik-baik saja walau tak berada di perkomplekan rumah nya. Kiya kesal sendiri, kalau si jamur di belakang masih nempel bagai benalu.
***
"Oh masuk juga? "
"Kita udah nungguin lo... "
"BUG-"
"Haha... "
"Dimana lo kemarin? "
Tanya cewek itu, mendekatkan tangannya ke arah Eve. Bogem tangan yang dia perbuat pada remaja siswi cupu di depannya, di tekan keras. Mereka tahu, kalau dirinya baru saja mendapat luka dari salah satu geng mereka, dan pasti ada di bagian sana. Ini semakin menarik, karena Eve yang ada di depan mereka tak memakai kacamata culun nya dan lebih percaya diri ke sekolah berusaha melawan mereka tanpa bantuan siapa-siapa.
28 Januari 2024
Bersambung...