Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Kehidupan Baru
Pagi itu, rumah masih dalam keadaan berantakan. Tidak ada suara piring yang beradu di dapur, tidak ada aroma masakan yang biasa menguar setiap pagi. Sepi. Miranda duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, memijit keningnya yang berdenyut. Sementara Areta duduk di meja makan, menggoyangkan kakinya dengan gelisah.
“Ma,” panggil Areta akhirnya, dengan nada kesal. “Sekarang kita mau makan apa? Aku udah lapar banget!”
Miranda menghela napas panjang, matanya memandang dapur yang kosong. “Mama juga bingung. Sekarang kita mau makan apa? Gimana kalau kamu masak aja?” katanya santai sambil menyandarkan tubuh di sofa.
Areta menatap mamanya dengan tatapan tak percaya. “Kok mama nyuruh aku? Aku kan nggak bisa masak! Lagian ini salah mama juga, sih. Ngapain usir Aqila? Sekarang kita jadi susah, kan?” Areta mendengus kesal, tangannya menghentak meja makan.
Miranda langsung bangkit, emosi mulai terpancing. “Jangan salahin mama, ya! Kamu juga sama aja. Kalau bukan karna kamu yang bertengkar sama dia, mungkin mama nggak akan ngusir dia! ”
Areta mendelik marah. “Ya, tapi kan mama yang nyuruh dia pergi dari rumah ini! Mama nggak pernah mikir, Aqila itu tulang punggung kita. Sekarang nggak ada dia, siapa yang mau biayain hidup kita?”
“Kalau begitu, kenapa kamu nggak kerja aja, hah?” Miranda membalas dengan suara meninggi.
Areta terdiam sejenak, wajahnya memerah karena marah dan malu. “Aku? Kerja? Aku ini anak mama, bukan pembantu! Kerja itu tugas Aqila, kan dia yang biasa disuruh-suruh!”
“Ya, tapi sekarang dia udah nggak ada!” Miranda memukul meja dengan frustrasi. “Kita harus mikir gimana caranya bertahan hidup tanpa dia!”
Keduanya saling beradu tatapan tajam, saling menyalahkan tanpa solusi. Rumah yang biasanya gaduh dengan suara perintah Miranda dan tanggapan Aqila, kini hanya diisi oleh jeritan kemarahan mereka.
Namun, tiba-tiba Miranda terdiam. Ia memegang dagunya, mengingat sesuatu. “Tunggu,” gumamnya, matanya menyipit seakan mencoba menggali memori lama.
“Ada apa lagi, Ma?” Areta bertanya kesal, namun penasaran melihat perubahan sikap mamanya.
“Papa Aqila… dia dulu pernah bilang kalau dia menyimpan sesuatu yang penting di lemari bajunya. Dia bahkan melarang mama menyentuhnya. Waktu itu mama nggak mikir apa-apa, tapi… sekarang mama rasa, ada sesuatu yang berharga di situ!”
Areta segera berdiri, matanya berbinar penuh harap. “Maksud mama… mungkin ada uang?!”
“Bisa jadi!” Miranda langsung berjalan menuju kamar miliknya dan almarhum papa aqila, diikuti Areta yang terlihat sangat antusias.
Di kamar itu, lemari baju yang sudah lama tidak tersentuh berdiri kokoh di sudut ruangan. Miranda membuka pintunya dengan tergesa-gesa, menggeser tumpukan pakaian lama. Matanya tajam mengamati setiap sudut hingga tangannya menyentuh sesuatu yang keras di bagian paling bawah.
“Ini dia!” Miranda menarik sebuah buku tabungan yang sudah terlihat usang. Ia membuka halaman depan, dan matanya membesar saat melihat jumlah yang tertera di sana.
“Dua ratus lima puluh juta?” Areta berteriak kaget, mendekati mamanya dengan cepat. “Kita kaya, Ma! Kita kaya!” teriaknya girang.
Miranda tersenyum licik, matanya berkilat penuh kemenangan. Namun, senyum itu perlahan memudar ketika ia membaca tulisan yang tertera di bagian catatan pemilik: “Biaya pendidikan Aqila.”
“Ini… untuk Aqila?” Miranda bergumam pelan, merasa sedikit terganggu dengan fakta itu. Namun, dengan cepat ia menepis pikirannya. “Dia sudah pergi dari rumah ini. Dia nggak berhak lagi!” Miranda berkata dengan tegas, seakan meyakinkan dirinya sendiri.
Areta mengangguk setuju. “Betul, Ma. Lagian, dia kan udah nggak ada di sini. Uang ini milik kita sekarang.”
Dengan penuh semangat, mereka berdua mulai merencanakan apa yang akan dilakukan dengan uang itu, tanpa sedikit pun memikirkan niat asli almarhum yang menyimpannya untuk masa depan Aqila.
🌸🌸🌸🌸🌸
Aqila sudah dua hari tinggal di rumah keluarga Alvano. Dalam waktu itu, kesehatannya perlahan mulai membaik, dan ia mulai merasa nyaman di lingkungan baru ini. Kehangatan keluarga Alvano benar-benar memberikan rasa aman yang sudah lama tak ia rasakan.
Pagi itu, Aqila terlihat di dapur bersama Ratna. Awalnya, Ratna menolak ketika gadis itu menawarkan diri untuk membantu memasak.
"Aqila, kamu kan masih dalam proses pemulihan. Istirahat saja dulu. Tante bisa urus semuanya sendiri," ujar Ratna dengan lembut sambil menata bahan-bahan masakan di atas meja.
"Tapi Tante, aku sudah merasa jauh lebih baik kok. Aku nggak enak terus-terusan diam di kamar. Izinkan aku bantu, ya. Aku janji nggak akan terlalu capek," pinta Aqila dengan wajah memelas.
Ratna menghela napas dan menatap Aqila penuh kasih. "Kamu memang anak yang baik. Ya sudah, tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya. Kalau lelah, bilang ke Tante."
Aqila tersenyum senang. "Terima kasih, Tante. Aku mulai motong sayurnya, ya."
Sambil memotong sayur, mereka mulai berbincang.
"Aqila, kamu ini rajin sekali. Tante benar-benar salut. Anak muda zaman sekarang jarang ada yang kayak kamu," puji Ratna.
Aqila tersipu malu. "Ah, nggak juga, Tante. Dulu di rumah, aku yang biasa masak. Jadi, sudah terbiasa begini."
"Kalau masakan kamu seenak omongan kamu, pasti nanti Alvano bakal ketagihan makan di rumah, deh," canda Ratna sambil tertawa kecil.
"Tante bisa saja," balas Aqila dengan wajah memerah.
Tanpa sengaja, Alvano yang baru selesai mandi melintas di depan dapur. Ia berhenti sejenak di pintu, memperhatikan kebersamaan antara ibunya dan Aqila. Ia tersenyum kecil melihat mereka tertawa dan bercanda, sesuatu yang jarang terjadi sebelumnya. Ia bergumam pelan, "Dia benar-benar membawa suasana yang berbeda di rumah ini."
Kemudian, mereka semua berkumpul di ruang makan setelah masakan selesai. Suasana terasa hangat, hingga Ratna membuka percakapan dengan nada serius.
"Vano, Mama tanya nih, kamu udah punya calon belum?" tanyanya sambil memandangi putranya.
Alvano yang sedang minum air langsung tersedak dan batuk kecil. "Uhuk! uhuk! Ma! Kok tiba-tiba nanya itu?" jawabnya dengan nada kaget.
Ratna tersenyum kecil. "Ya kan Mama penasaran. Umur kamu udah 24 tahun, Vano. Sudah mapan, kerja bagus, apalagi yang kamu tunggu?"
Alvano menggeleng, berusaha menghindari topik. "Ma, aku masih muda. Masih banyak waktu. Lagian aku belum nemu yang cocok."
"Tapi apa kamu nggak kasihan sama Mama? Kemarin pas Mama ketemu teman-teman Mama, mereka semua cerita soal cucu-cucu mereka. Mama tuh jadi iri, tahu!" Ratna memandang putranya dengan tatapan memohon.
"Ma, nanti deh kita bahas lagi. Aku janji kalau waktunya tiba, aku pasti menikah," ucap Alvano sambil mencoba menenangkan ibunya.
"Tapi kapan, Vano? Mama nggak mau tunggu lama lagi, loh!" lanjut Ratna sambil mengerucutkan bibir.
Dimas, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Sudahlah, ma. Jangan terlalu menekan anak kita. Dia pasti tahu tanggung jawabnya."
"Tapi pa, kalau bukan sekarang kapan lagi? Mama cuma mau yang terbaik buat dia," jawab Ratna sambil menatap suaminya.
"Aku ngerti, Ma. Tapi aku belum nemu yang cocok, jadi tolong sabar, ya." Alvano segera bangkit dari kursinya. "Aku pamit kerja dulu. Nanti kita lanjutin obrolannya." Ia berlalu pergi, meninggalkan Ratna yang mendengus kesal.
"Dia selalu begitu kalau bahas soal jodoh," keluh Ratna.
Dimas tersenyum kecil, memandang Ratna. Namun, di balik senyuman itu, ia mengingat janji lamanya dengan sahabatnya ,papa Aqila. Dimas tahu ini bukan saatnya untuk bicara, tapi hatinya perlahan mulai merangkai rencana untuk membahasnya di waktu yang tepat.
🌸🌸🌸🌸🌸
Hari ini adalah hari pertama Alvano mengajar di kampus miliknya. Saat ia tiba, suasana langsung berubah. Mahasiswa-mahasiswa yang sedang duduk di taman kampus mulai berbisik-bisik, memperhatikan pria muda berpenampilan rapi dengan wajah tampan yang memancarkan aura karisma.
"Eh, itu siapa? Dosen baru ya?" bisik salah seorang mahasiswa perempuan.
"Iya, kayaknya dia dosen kita. Gila, cakep banget!" jawab temannya sambil menahan senyum malu.
"Fix, aku nggak bakal bolos kalau dia yang ngajar," ujar seorang mahasiswa lain, membuat mereka semua tertawa kecil.
Ketampanan Alvano benar-benar menarik perhatian banyak orang. Bahkan, beberapa mahasiswi dengan terang-terangan memandanginya tanpa berkedip.
Bisik-bisik terus terdengar sepanjang Alvano berjalan. Bahkan beberapa mahasiswa pria tidak bisa menahan rasa iri.
"Ini dosen apa model sih? Mana ada dosen ganteng kayak gitu!" keluh seorang pria, membuat teman-temannya tertawa.
Areta yang baru tiba di kampus ikut terseret arus kegaduhan. Ia penasaran, lalu menoleh ke arah yang menjadi pusat perhatian. Saat matanya bertemu dengan sosok Alvano, ia langsung terpaku.
"Ya Tuhan, itu dosen kita?" gumam Areta sambil mengerjap.
"Kelihatan banget dia bukan sembarang dosen. Lihat deh caranya jalan, kayak bos besar," sahut teman di sampingnya.
Areta hanya mengangguk, matanya tidak lepas dari sosok pria itu. Dalam hatinya, ia membatin, Ganteng banget. Kalau dia jadi dosen, siapa yang bakal fokus belajar?
Di Ruang Kelas...
Ketika Alvano masuk ke dalam kelas, ruangan yang semula berisik mendadak hening. Semua mata tertuju padanya. Dengan percaya diri, ia berjalan ke meja dosen, meletakkan tasnya, dan berdiri tegak.
"Selamat pagi," ucapnya dengan suara berat dan jelas.
"Selamat pagi, Pak!" balas para mahasiswa serempak, beberapa di antaranya terdengar gugup.
"Sebelum kita mulai, perkenalkan, nama saya Alvano Raffael Mahendra. Saya akan menjadi dosen Anda untuk mata kuliah Manajemen Bisnis. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik," katanya sambil tersenyum tipis.
Areta tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Alvano. Saat dosen itu mulai menjelaskan materi, Areta malah tenggelam dalam kekagumannya, senyum-senyum sendiri tanpa sadar.
"Maaf," suara tegas Alvano memecah lamunannya. "Anda di barisan tengah, kenapa tersenyum sendiri? Ada yang lucu dari penjelasan saya?"
Areta tersentak. Wajahnya langsung memerah, dan ia gugup menjawab, "Nggak, nggak, Pak. Saya hanya... mencoba mencerna materi."
Alvano mengangkat alis, menatapnya sebentar, lalu melanjutkan penjelasan. Areta langsung menunduk, malu dengan teguran tersebut, tapi dalam hati tetap merasa senang karena dosen tampan itu memperhatikannya, meski dalam konteks yang salah.
Saat jam istirahat, Areta duduk di taman, tersenyum-senyum sendiri sambil memainkan ujung rambutnya. Bayangan Alvano, dosen baru yang sangat tampan dan berwibawa, terus berputar di pikirannya. Daniel datang menghampiri dengan membawa dua cup kopi.
“sayang, ngelamun apa? Kok senyum-senyum sendiri?” tanya Daniel sambil menyodorkan kopi ke Areta.
“Oh, nggak apa-apa, sayang. Cuma kepikiran sesuatu aja,” jawab Areta, tersenyum misterius sambil menerima kopi itu.
“Jangan bohong. Kalau sampai kayak gini, pasti ada sesuatu. Cerita deh,” Daniel mengangkat alis, penasaran.
Areta tergelak kecil. “Tadi aku lihat dosen baru kita, Pak Alvano. Gila, Dan. dia ganteng banget! Serius, kayak bintang film. Semua cewek di kampus heboh lihat dia.”
Daniel memicingkan mata, menatap Areta dengan ekspresi bercampur geli dan cemburu. “Ganteng, ya? Sampai segitunya kamu muji-muji dia di depan pacarmu sendiri?”
Areta terkekeh, menyadari nada cemburu di suara Daniel. “Ih, kamu jangan cemburu dong. Aku cuma kagum. Nggak ada maksud apa-apa kok.”
Daniel mendengus pelan, jelas-jelas tidak senang. "Areta, aku ini pacarmu. Kamu cerita soal laki-laki lain dengan wajah penuh kagum, apa kamu nggak mikir perasaanku?"
Areta mendesah, mencoba menenangkan Daniel. "Ayolah, Dan, jangan lebay. Aku cuma cerita. Lagipula, ini bukan soal cinta atau apa. Dia cuma dosen, nggak ada hubungannya sama kita."
Daniel mengalihkan pandangannya, matanya menatap taman tanpa ekspresi. "Tapi kamu nggak sadar kalau aku nggak suka denger kamu ngomong soal orang lain dengan nada kayak tadi?"
Areta tersenyum kecil, merasa Daniel terlalu sensitif. Ia memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan. "Eh, ngomong-ngomong soal Aqila, kamu nggak penasaran dia sekarang di mana?" tanyanya tiba-tiba.
Daniel menoleh, ekspresi wajahnya berubah menjadi bingung. "Kenapa? Bukannya dia masih di rumah kalian?"
Areta menghela napas, bersandar ke bangku taman. "Dia udah nggak ada di rumah lagi. Aku sama Mama udah usir dia."
Daniel terkejut, wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. "Kalian serius? Kalau kalian usir Aqila, siapa yang bantu keluarga kalian? Bukannya selama ini dia yang kerja keras buat kalian?"
Areta tersenyum sinis, tak merasa bersalah sedikit pun. "Kami nggak butuh dia lagi. Lagipula, aku dan Mama sekarang punya warisan Papa Aqila. Uangnya ada di tangan kami. 250 juta, Dan. Itu lebih dari cukup buat hidup nyaman tanpa perlu kerja keras lagi."
Daniel tergelak kecil. “Wah, hebat juga kalian. Tapi areta, itu warisan Aqila, kan? Kalau dia tahu, gimana?”
Areta mengangkat bahu dengan santai. “Biarin aja. Dia udah keluar dari rumah. Itu artinya, dia nggak ada hak lagi atas warisan itu. Sekarang itu milik kami.”
Daniel tersenyum puas, tapi ada sedikit rasa tak nyaman dalam hatinya. Meski ia merasa Aqila pantas mendapatkan apa yang terjadi padanya, bayangan tentang gadis itu yang pernah menjadi bagian dari hidupnya sesekali muncul di pikirannya. Namun, ia memilih untuk tidak memikirkannya terlalu jauh.
“Ya udah, kalau gitu, selamat menikmati hidup baru kalian. Mudah-mudahan Aqila nggak balik lagi buat ngerepotin,” ucap Daniel dengan nada setengah bercanda, membuat Areta tertawa kecil.
“Dia nggak akan balik lagi. Aku pastikan itu,” jawab Areta dengan penuh keyakinan.
*********
like, vote and komennya jangan lupa readersss😊