Devon merasa ia jatuh cinta pada gadis sebatang kara, setelah perjalanan cintanya dengan berbagai jenis wanita. Gadis ini anak jalanan dengan keadaan mengenaskan yang ia terima menjadi Office Girl di kantornya. Namun, Hani, gadis ini, tidak bisa lepas dari Ketua Genknya yang selalu mengamati pergerakannya. Termasuk pada satu saat, kantor Devon mengalami pencurian, dan terlihat di cctv kalau Hani-lah dalang pencurian tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Jackson
“Siapa... yang punya gedung ini?” Jackson bertanya ulang dengan tegang.
“Perusahaan yang menempati gedung ini namanya Prabasampurna Support. Pemiliknya Zulfikar Prabasampurna. Dia adiknya-”
“Adiknya Damaskus Prabasampurna dan Albattar Prabasampurna.” Sambung Jackson, tapi dengan suara gemetar.
Lily menyambar gelas kopi Jackson lalu menyeruput isinya sejenak. “Betul. Jobdeskku ringan, aku hanya sekretaris untuk bagian dokumentasi dan internal report di perusahaan. Hanya simpan-simpan data tapi tidak bertanggung jawab untuk isinya. Sementara untuk sekretaris lainnya, tugasnya beda-beda. Kalau Kepala Sekretaris kami lebih rumit lagi kerjanya, dari mulai bla bla bla, sampai menyediakan bla bla bla...”
Kalimat-kalimat Lily saat mengobrol seakan mengambang di awang-awang. Pikiran Jackson campur aduk. Dalam sekejab ia kembali ke masa lalu di saat ia berkuliah di jurusan Teknik Sipil, ia kerap mendengar nama Damaskus di sebut-sebut. Owner Industri multinasional yang bergerak di bidang pertambangan dan property. Tidak ada pemain yang berani menipunya karena ia dicurigai terlibat perdagangan gelap yang tidak bisa dibayangkan manusia biasa. Para Bodyguard Damaskus ini, katanya haus darah. Tak segan membunuh dengan menganiaya terlebih dahulu apabila ada hal yang menurut mereka tidak sesuai standart.
Jackson ingat, dulu waktu kuliah semester akhir ia dan teman-temannya diminta magang di salah satu perusahaan tambang, namun dosen pembimbingnya langsung menolak saat mereka mengutarakan niat mau bekerja di kantor Pak Damaskus. Katanya cari perusahan lain saja karena kantor Pak Damaskus ini tidak bisa dimasuki sembarangan orang. Salah-salah malah mereka jadi tumbal proyek.
Jackson tidak ingat nama keluarga itu, tapi nama Damaskus, Zulfikar dan Albattar terpatri jelas di ingatannya. Karena nama mereka diambil dari nama tiga jenis pedang terhebat di dunia.
“Dan aku bisa kerja di sini karena aku tuh dulunya LC di club malam yang sering didatangi Pak Zulfikar. Tenaaang aku nggak pernah tidur dengannya, tapi yah sepertinya dia terkesan dengan kecantikanku. Dan karena ibu dan adikku saat itu sedang disandera DC brengsek dan aku diancam untuk melunasi hutang 300 jutaku ditambah bunga jadinya 500 juta, jadi saat aku sedang menemani mengobrol Pak Fikar eeeh aku nangis, jadilah aku dikasih pekerjaan di sini. Saat itu aku bahkan tidak berkuliah, aku masih muda banget masih 17 tahun gilakk! Kerjaan pertamaku jadi operator di kantor cabang yang ada di Sumatra, lama-lama jabatanku meningkat naik dan 3 tahun belakangan aku jadi sekretaris di sini. Gitu deeeh perjalanan hidupku.”
“Hm...” Jackson mengernyit sambil memandang Lily. Tapi sepertinya ia tidak terlalu tertarik dengan perjalanan hidup Lily, dia sedang memikirkan hal lain.
“Lalu, siapa Devon?” tanya Jackson.
“Hehe, dia itu...”
**
Pagi ini, setelah meninggalkan catatan di laci meja Devon dan membersihkan ruangan yang jadi jobdesknya secepat kilat, Hani kembali ke rumah untuk mengemasi barang-barangnya. Ia sengaja mengambil waktu di pagi hari di saat Jackson pergi bekerja dan yang lain masih tidur karena kecapekan habis beraksi semalaman.
Kalau sesuai dengan rencananya, setelah ini Ical Cs akan ditangkap dan Jackson akan sibuk menghadapi Devon jadi tidak akan ada yang mencari Hani.
Namun Hani salah.
Hanya berbeda beberapa menit setelah Hani memasukkan barang terakhir ke dalam tasnya, Jackson mendobrak pintu rumahnya dan Pria itu langsung mencengkeram leher gadis itu. “Apa yang udah lo lakuin Hani?!” Ia menjerit marah sambil menarik kerah hoodie Hani.
Hani hanya diam, tapi ia tak gentar.
Tetap menatap Jackson dengan tajam, sedikit melotot, untuk menunjukkan kemarahannya.
“Lo tahu nggak sih itu gedung punya siapa, hah?!”teriak Jackson.
“Tahu.” Kata Hani pelan, karena ia tercekik cengkeraman Jackson. Ia tidak bisa mengeluarkan semua suaranya, tapi satu kata dari Hani dan tatapan matanya sudah menyiratkan semua maksudnya secara gamblang ke Jackson.
Jackson tertegun, masih dengan posisi awal, mengancam Hani. Tapi kemudian ia bagai tersadar, sekaligus terkejut. Kalau yang sedang ia tekan ini bukanlah Hani Kecil yang dulu.
Yang bisanya hanya menatap kosong ke depan seakan kebingungan dengan dunia.
Diapa-apakan saja ia pasrah bagai boneka.
Kebiasaan Hani saat kecil biasanya duduk di teras rumah sambil disuapi, dan apabila gadis itu melihat sepasang pasutri berjalan di depannya, ia akan kejar sambil memanggil Mama, Papa. Kondisi itu berlangsung lebih dari 5 tahun lamanya.
Dan Jackson sadar betul kondisi Hani yang seperti itu adalah kesalahannya.
Kini Hani di depannya bukanlah Hani Kecil yang dikenal Jackson.
Meninggalnya Farid adalah pukulan telak bagi gadis ini.
Ini yang ditakutkan oleh Jackson, antara dua hal. Gadis ini kembali ‘mati’ seperti dulu karena pelita hidupnya tiada, atau... bangkit dan membalas dendam seperti ini.
Tapi sejujurnya,
Jackson lebih lega Hani yang sekarang.
Setidaknya ia hidup. Dan bisa melanjutkan prosesnya di dunia.
Bukannya hidup tapi tak bernyawa seperti dulu.
Walau pun dalam menjalaninya, Hani akan penuh dengan kebencian.
Dan Jackson tahu, waktunya untuk mengakhiri semua ini.
Ia bertahan di jalanan, dengan tanggungannya mengurus anak-anak tanpa orang tua ini, yang setiap individunya bermasalah dan sudah pasti bukan anak ideal bagi Panti Asuhan atau pun Dinas Sosial karena tumbuh dalam mode survival setiap detiknya.
Bertarung atau kelaparan, itu sudah jadi alam bawah sadarnya.
Dan saat anak-anak seperti ini disatukan dengan kelompok yang lebih lemah, mereka akan menindas semua secara brutal.
Jalanan adalah tempat mereka, dididik di Kota metropolitan tanpa adab, dengan kekerasan adalah guru mereka, Pelajaran mereka adalah proses realita tanpa mimpi, terselimut dalam kemiskinan tanpa akhir dengan hinaan sebagai pemanis.
Kalau mau, Jackson sudah meninggalkan tempat ini dari dulu.
Ia memiliki latar belakang pendidikan yang baik, ia bisa bekerja secara normal, tapi jika ia meninggalkan Hani akankah anak ini selamat?
Jackson sudah membunuh kedua orang tuanya, akankah ia bunuh Hani juga agar menyusul keduanya?
Dan bagaimana dengan anak-anak yang lain...?
Farid-Farid yang lain?
“Lo... sengaja?” geram Jackson.
Hani diam, hanya menatap Jackson dengan sinis.
"Lo udah tahu kalau di sana banyak cctv pendeteksi wajah yang letaknya tersembunyi... Makanya saat malam tidak ada penjagaan karena..." Jackson menelan ludahnya.
Dalam kondisi seperti itu, Hani mengangkat dagunya.
"Ya Bang, tidak ada penjagaan manusia karena semua diatur cctv, perampok akan langsung dideteksi dan dihabisi kurang dari 24 jam." Hani berkata dengan tenang, seakan dia sudah pasrah akan apapun yang terjadi.
“Seragam ini...” Jackson menatap tangannya yang mencengkeram hoodie Hani, ada seragam biru Office Girl di baliknya. “Ini bukan penyamaran?”
“Yang bisa bekerja bukan hanya abang.” Desis Hani.
Ini intonasi suara yang baru kali ini didengar Jackson.
Dan pria itu lumayan kaget, lebih ke takjub sebenarnya. “Bagaimana caranya... hanya orang tertentu yang bisa bekerja di sana.”
“Takdir, Bang.” Kata Hani tanpa tersenyum. “Makasih ke Abang, yang sudah menargetkan Bang Devon jadi korban pencurian hape. Kami jadi bisa bertemu.”
“Harusnya dia marah...”
“Iya, dia memang marah tadinya. Tapi toh... yang ambil hape kan bukan aku. Lagian sidik jari Bang Jackson yang ada di hape itu.”
“Kurang ajar!” geram Jackson sambil mengepalkan tangannya.
semangat sehat selalu jeng septi....
hilih moduus