"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
"Seno, Eyang. Kalian mau kemana?" tanyanya dengan suara lembut.
Eyang Elaine dan Paman Emir masih diam dengan keterkejutan mereka, sedangkan Seno membuang wajahnya ke arah lain, malas sekali ia melihat wajah bak malaikat wanita di depannya.
"Eyang!" Panggil wanita bersuara lembut itu sekali lagi.
"Eh, Zea," ucap Eyang sembari melirik Seno dengan ekor matanya. "Apa kabar? Eyang tidak tahu jika kamu sudah kembali dari AS!"
Wanita lembut bernama Zea mengulum senyum. "Aku sengaja tidak mengabari karena ingin memberi kejutan. Oh iya, kalian--." Zea melihat rombongan dengan pakaian yang rapi.
"Mau kemana?" tanyanya lagi.
"Kami--."
"Menghadiri undangan pesta, kenapa? Kau mau ikut? Silahkan kalau tidak tahu diri!" jawab Seno santai menyela ucapan Eyang Elaine sebelumnya.
Eyang Elaine mendelik sedangkan Seno memutar bola matanya malas tak perduli.
Zea memaksakan senyumnya.
"Sepertinya kedatanganku di waktu yang salah. Sebaiknya aku kembali, aku akan berkunjung lagi besok!"
"Maaf, ya!" ucap Eyang mengelus lengan Celin lembut.
"Tidak apa-apa, Eyang. Zea mengerti!" jawabnya lalu kembali masuk ke dalam mobil yang tadi dikendarainya dan meninggalkan rumah Eyang Elaine.
Semua orang tampak menghela nafas lega.
"Ayo, tunggu apa lagi, pengganggu sudah pergi!" ajak Seno ketus.
Paman Emir memicing. "Kenapa terlihat kau yang lebih bersemangat?"
"Lalu apa, Paman ingin aku terlihat ogah-ogahan?"
"Sudah! Sudah!... Ayo masuk!" Eyang Elaine mendorong tubuh Paman Emir memasuki mobil sedangkan Ilyas membantu Seno.
"Kenapa Zea tidak menanyakan wajahmu Seno yang berubah menjadi sangat jelek itu, ya?" tanyanya heran. "Seharusnya dia terkejut tapi dia tampak biasa-biasa saja."
"Mungkin karena cahaya yang yang tidak terlalu terang, jadi Nona Zea juga tidak bisa melihat dengan jelas perubahan pada wajah Tuan Seno."
Paman Emir manggut-manggut." Mungkin memang seperti dugaanmu, Yas!"
Seno dan Eyang Elaine yang duduk di kursi belakang hanya diam menyimak, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Oh iya, Yas. Kau yakin ini jalan ke rumahnya?"
"Yakin, Tuan. Saya sudah menyelidikinya!"
Paman Emir mengangguk sembari mengangkat jempolnya memberi pujian pada Ilyas.
Di kediaman keluarga Wicaksana semua sibuk bersiap. Nyonya Camelia menjadi yang tersibuk mengatur menu untuk menjamu keluarga Ravindra yang akan bertamu.
"Ma, mana Alea?" Raya datang dari arah depan menghampiri Nyonya Camelia.
"Kamu periksa dia ke kamarnya. Minta dia bersiap, 30 menit lagi Arka bilang keluarga Ravindra sudah sampai di sini."
Raya mengangguk. Ia lalu berjalan menuju kamar belakang dimana kamar Alea berada. Namun, di tengah jalan ia berpapasan dengan Bi Ningsih yang membawa baskom kecil berisi air.
"Apa itu, Bi?" tanyanya.
"Anu, itu ... Non Alea demam tinggi, Bibi baru aja selesai mengompresnya!" jawab Bi Ningsih.
Raya menghadapi Ningsih aneh lalu melewatinya begitu saja. Ia membuka pintu kamar Alea dan terlihat gadis itu sedang meringkuk dengan wajah pucat.
"Alea, bangun kamu!" Raya menggoyang lengan Alea kasar.
"Biarkan Non Alea beristirahat, Nyonya. Biar Bibi aja yang menyelesaikan pekerjaan bagian Non Alea!" ujar Bi Ningsih iba.
Raya melotot dan membentak Bi Ningsih.
"Aku tidak menyuruhnya bekerja!"
"Ada apa?" tanya Alea datar, meski kepalanya terasa sangat nyeri ia memaksa duduk, tidak bisa membiarkan Bi Ningsih mendapat amukan hanya karena dirinya.
Raya tak menjawab, sebaliknya ia berjalan menuju lemari pakaian Alea, mencari gaun yang kiranya pantas gadis itu kenakan.
"Raya, kenapa lama sekali. Mereka sudah dekat!" Nyonya Camelia datang ke kamar Alea.
Raya yang tengah mengobrak-abrik lemari menoleh ketika mendengar suara ibu mertuanya. "Tidak ada gaun yang pantas, Ma. Dia juga demam, kita harus memoles wajahnya sedikit dengan make up agar tidak terlihat pucat!"
"Bawa saja ke kamar Bianca, Ma!" usul Bianca yang tiba-tiba muncul.
Kepala Alea yang berdenyut semakin nyeri karena memikirkan apa sebenarnya yang sedang terjadi. 'Ada apa dengan mereka dan apa tadi, make up?... Apa sebenarnya yang sedang mereka rencanakan?' batinnya bertanya-tanya.
"Bi bawa Alea ke kamar Bianca!" titah Nyonya Camelia.
Bi Ningsih bimbang dan mematung di tempatnya memandang Alea dan Nyonya Camelia bergantian.
"СЕРАТ! Tunggu apa lagi?" bentaknya.
"Ayo, Bi!" ajak Alea.
Raya, Nyonya Camelia dan Bianca pergi lebih dulu di susul Bi Ningsih yang sedang memapah Alea.
"Keluar, Bi!" titah Alea setelah Bi Asih mendudukkan Alea di meja rias yang ada di kamar Bianca.
Dengan langkah berat Bi Ningsih keluar dari kamar Bianca.
"Bi, ngapain Bibi di situ, sana bantu yang lain!" titah Nyonya Camelia ketus.
Ia tadi mampir ke dapur sehingga terlambat menuju kamar Bianca.
"Iya, Nyonya!" jawab Bi Ningsih lalu turun ke bawah.
Nyonya Camelia lalu masuk ke dalam kamar Bianca, di sana terlihat Bianca sedang mengaplikasikan make up ke wajah Alea yang pucat.
"Kita harus membuatnya menarik, Ma!"
"Ya, lakukan yang menurutmu baik!" ujar Raya sembari terus memperhatikan wajah Alea yang semakin mengingatkannya pada Mira.
"Gaunnya sudah ada?" tanya Nyonya Camelia.
"Sudah, Oma. Sudah Bianca siapkan!"
Nyonya Camelia mengangguk puas akan Bianca yang bergerak cepat.
Alea hanya menurut tanpa mengatakan apa-apa ketika mereka melakukan apapun padanya.
"Pakai gaun ini!" Bianca melempar gaun berwarna biru muda miliknya tepat di wajah Alea.
Di bawah tatapan semua orang, Alea mengenakan gaun tersebut tanpa mengatakan apapun.
"Bagus, terlihat cocok!" ucap Nyonya Camelia.
Semua sudah selesai, Bianca menatap puas penampilan Alea saat ini dan juga iri. Make up tipis hasil karyanya membuat wajah Alea semakin memancarkan kecantikannya. 'Tapi tak mengapa, untuk apa kecantikan yang memukau tapi memiliki nasib yang buruk,' batinnya mencemooh.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu terdengar diketuk dari luar. "Raya, coba buka pintunya dan lihat siapa yang datang!"
Raya mengangguk lalu berjalan menuju pintu dan membukanya, tampak Sella berdiri di luar.
"Mereka sudah datang, Nyonya!" beritahunya. "Pak Arka meminta semuanya untuk turun!"
Raya berbalik masuk kembali ke dalam kamar.
"Kenapa?" tanya Nyonya Camelia.
"Mereka sudah datang, Mas Arka minta kita semua turun!"
Nyonya Camelia mendekati Alea dan mencekal lengannya lalu menariknya. "Ayo!"
Alea pasrah, mengikuti semua menuju lantai bawah. Meski dalam hati terus bertanya apa yang terjadi.
Di ruang tamu Arka sempat terpaku dengan penampilan Seno, tidak mengira jika wajah Seno memang seburuk itu.
"Itu mereka!" ucap Arka yang melihat rombongan Alea memasuki ruang tamu.
Seno mendongak, memindai satu per satu wajah yang berjalan mendekat ke arahnya mencari sosok yang akan menjadi istrinya nanti.
Terakhir, tatapannya beradu dengan netra kehijauan bercampur coklat yang jarang dimiliki oleh orang lain milik Alea, berhasil menghipnotis seluruh syaraf otaknya hingga tak bisa berpikir. Sayangnya, Seno juga bisa melihat Alea tak merasakan hal yang sama.
Bianca yang melihat penampilan Seno serasa ingin tertawa terbahak-bahak untuk menertawakan nasib Alea yang menyedihkan.
'Untuk apa kaya dan terpandang jika buruk rupa. Alea memang pantas bersanding dengan pria cacat seperti itu!' batin Bianca mencibir.
Tak hanya Bianca, Nyonya Camelia dan Raya pun mencibir Seno dalam hati. Mereka bersyukur bukan Bianca yang menikah sebab penampilan Seno lebih buruk dari yang mereka bayangkan. Untuk pertama kalinya mereka mensyukuri keberadaan Alea.
Sedangkan Seno, hingga Alea duduk di sofa seberang bergabung dengan keluarganya, Seno masih tak juga mengalihkan pandangannya dari wajah ayu milik Alea.
Eyang Elaine yang menyadari itu mengulum senyum dan menyenggol lengan Seno. "Sadar, Noo!"