**"Siapa sangka perempuan yang begitu anggun, patuh, dan manis di depan Arga, sang suami, ternyata menyimpan sisi gelap yang tak pernah ia duga. Di balik senyumnya yang lembut, istrinya adalah sosok yang liar, licik, dan manipulatif. Arga, yang begitu percaya dan mencintainya, perlahan mulai membuka tabir rahasia sang istri.
Akankah Arga bertahan ketika semua topeng itu jatuh? Ataukah ia akan menghancurkan rumah tangganya sendiri demi mencari kebenaran?"**
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
merelakan
Waktu terus berlalu, membawa perubahan besar dalam kehidupan Mentari. Setelah satu tahun tanpa kabar dari Arga, Mentari mulai merelakan kenyataan bahwa pria itu mungkin tidak akan pernah kembali. Di tengah kebimbangan dan kesendiriannya, muncullah Wijaya Kusuma, seorang pengusaha sukses sekaligus pemilik mal terbesar di kota.
Wijaya sering mengunjungi kafe Mentari, tertarik dengan suasana dan makanan yang ditawarkan. Namun, lambat laun, ketertarikannya bukan hanya pada kafe itu, melainkan pada sosok Mentari sendiri. Dengan caranya yang tenang dan dewasa, Wijaya perlahan mendekati Mentari, menawarkan perhatian dan kehangatan yang selama ini ia rindukan.
Awalnya, Mentari merasa ragu. Bagaimana mungkin ia membuka hati untuk orang lain, sementara hatinya masih menyimpan nama Arga? Namun, seiring waktu, Wijaya menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pria yang datang dan pergi. Ia tulus ingin menjadi bagian dari kehidupan Mentari.
"Mentari," ujar Wijaya suatu hari saat mereka berbicara di teras kafe, "aku tahu mungkin ini terlalu cepat, tapi aku ingin kamu tahu bahwa niatku serius. Aku ingin melangkah lebih jauh bersamamu."
Mentari terdiam. Kata-kata Wijaya membuatnya berada di persimpangan yang sulit. Di satu sisi, ia tahu bahwa menunggu Arga tanpa kepastian hanya akan membuatnya terluka lebih dalam. Namun di sisi lain, menerima Wijaya berarti benar-benar melepaskan kenangan masa lalu yang pernah ia perjuangkan.
"Kamu orang yang baik, Wijaya," jawab Mentari pelan. "Tapi aku... aku butuh waktu untuk berpikir."
Dukungan Orang Tua
Kebimbangan Mentari tidak berlangsung lama. Kedua orang tuanya, yang selalu menjadi penopang dalam hidupnya, memberikan dukungan penuh kepada Wijaya.
"Mentari, Arga sudah terlalu lama menghilang. Kami tidak ingin melihatmu terus menunggu tanpa kepastian," ujar ibunya. "Wijaya adalah pria yang baik. Dia tulus mencintaimu dan siap membahagiakanmu. Apa lagi yang kamu cari, Nak?"
Meskipun hatinya masih belum sepenuhnya siap, Mentari akhirnya menyadari bahwa hidupnya harus terus berjalan. Dengan restu dan dorongan dari orang tuanya, ia memutuskan untuk menerima lamaran Wijaya.
Pernikahan Mentari dan Wijaya berlangsung sederhana namun penuh kebahagiaan. Wijaya berjanji akan selalu mencintai dan mendukung Mentari, apapun yang terjadi.
"Terima kasih karena telah memberiku kesempatan untuk mencintaimu," bisik Wijaya pada malam pernikahan mereka.
Meski begitu, di sudut hati kecil Mentari, masih tersimpan bayang-bayang Arga. Tapi kini, ia bertekad untuk memberikan seluruh hatinya kepada Wijaya, pria yang telah memilihnya tanpa syarat.
--
Alya, yang dulunya hidup dalam gemerlap dunia glamor, kini merasakan kekosongan yang mendalam. Meski ia memiliki segalanya rumah mewah, mobil mahal, dan kekayaan melimpah hatinya terasa hampa. Setiap malam yang ia habiskan bersama pria-pria berbeda hanya memberikan kebahagiaan sesaat, yang segera digantikan oleh rasa kesepian yang mencekam.
Dia duduk di balkon apartemennya yang mewah, menatap langit malam. Di antara semua kilauan lampu kota, Alya merasa seperti sosok kecil yang terlupakan. "Apa ini semua cukup?" gumamnya lirih. Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.
Lambat laun, Alya mulai mengenang kembali masa-masa bersama Arga. Kehidupan mereka dulu tidak hanya dipenuhi harta, tetapi juga cinta dan kasih sayang yang tulus.
"Aku bodoh," bisiknya sambil memegang foto pernikahan mereka yang entah bagaimana masih ia simpan. "Aku punya segalanya, tapi aku menghancurkan semuanya demi sesuatu yang tidak berarti."
Alya teringat bagaimana Arga selalu memperhatikannya, memastikan kebutuhannya terpenuhi, dan memberikan cinta tanpa syarat. Tapi ia, dengan keserakahannya, mengkhianati pria yang mencintainya sepenuh hati.
Di tengah renungannya, Alya menyadari bahwa statusnya sekarang membuatnya sulit untuk mendapatkan cinta yang tulus. Pria-pria di sekitarnya hanya memandangnya sebagai objek kesenangan sesaat, bukan seseorang yang layak dicintai.
Dia menghela napas panjang, merasakan beban di hatinya semakin berat. "Apa mungkin ada seseorang yang benar-benar mencintaiku? Atau aku harus hidup seperti ini selamanya?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Hari-hari Alya berlalu dengan rutinitas yang sama pesta, belanja, dan pertemuan tanpa makna. Namun, di balik semua itu, ia semakin merasa kehilangan arah. Kesepian mulai menggerogoti hatinya, membuatnya bertanya-tanya apakah kebahagiaan sejati pernah ada dalam hidupnya.
Dalam momen-momen itu, bayangan Arga sering muncul, mengingatkannya pada kehidupan yang pernah ia miliki. Ia mulai berpikir untuk mencari tahu keberadaan Arga, bukan untuk kembali, tetapi setidaknya untuk meminta maaf atas semua yang telah ia lakukan.
Hidupku kini berbeda. Segalanya terlihat sempurna dari luar aku menikah dengan seorang pria hebat, Wijaya Kusuma, pemilik mall terbesar di kota ini. Dia mencintaiku, begitu terlihat dari caranya memanjakanku dan memastikan aku tidak pernah kekurangan apa pun. Tapi, di balik semua itu, aku merasa... kosong.
Wijaya tidak pernah mengizinkanku turun tangan mengurus kafe yang telah kucurahkan seluruh perjuanganku. "Kamu tidak perlu lelah lagi, Sayang. Fokus saja menjadi istriku," katanya setiap kali aku mencoba menyinggung soal kafe. Dia begitu meyakinkan, dan aku tahu niatnya baik. Namun, ada bagian dari diriku yang merasa kehilangan—kehilangan tempat di mana aku bisa menjadi diriku sendiri.
Aku akhirnya menyerah. Kafeku kini aku percayakan kepada seorang manajer yang menurutku cukup bisa diandalkan. Tapi tetap saja, itu bukan hal yang sama. Aku merindukan hiruk-pikuk di kafe, menyapa pelanggan, dan melihat senyum mereka saat menikmati hidanganku. Semua itu adalah bagian dari diriku, tapi kini terasa seperti kenangan yang perlahan memudar.
Di saat-saat seperti ini, pikiranku sering melayang ke masa lalu. Kepada Arga. Ke mana dia? Apa yang dia lakukan sekarang? Masihkah dia memikirkanku seperti aku memikirkannya?
Aku berusaha membuka hati untuk Wijaya. Aku tahu dia pria baik, dan aku tidak ingin menyakitinya. Tapi setiap kali aku mencoba, bayangan Arga selalu muncul. Wajahnya, senyumnya, bahkan pertengkaran kecil kami dulu, semuanya masih begitu jelas.
"Arga..." Aku berbisik pelan di tengah malam saat Wijaya sudah tertidur di sampingku. Aku merasa bersalah, tapi aku tidak bisa menghapus namanya dari hatiku. Aku tahu, aku harus melanjutkan hidupku. Tapi bagaimana caranya melupakan seseorang yang pernah menjadi seluruh duniaku?
Kini, aku menjalani hari-hariku dengan senyum yang kupaksakan. Wijaya selalu mencoba membuatku bahagia, dan aku berterima kasih untuk itu. Tapi aku tahu, kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa dibeli dengan kemewahan. Itu berasal dari rasa cinta yang tulus, yang entah mengapa, hanya bisa kurasakan bersama Arga.
Apakah aku salah menerima pinangan Wijaya? Apakah aku terlalu cepat menyerah pada penantian? Aku tidak tahu jawabannya. Yang kutahu, di tengah segala kenyamanan hidupku sekarang, ada kehampaan yang tak kunjung hilang. Kehampaan yang hanya bisa diisi oleh kehadiran seseorang yang kini entah ada di mana.
Aku hanya bisa berharap, waktu akan menyembuhkan hatiku. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku bisa benar-benar membuka hatiku untuk Wijaya. Tapi hingga saat itu tiba, aku hanya akan terus menjalani hidup ini dengan harapan... dan doa.
semangat Thor