para pemuda yang memasuki hutan yang salah, lantaran mereka tak akan bisa pulang dalam keadaan bernyawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novita Ledo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Kegelapan yang Menelan
Ketika bayangan hitam itu melompat, seluruh ruangan terasa tenggelam dalam kegelapan yang absolut. Udara berat menekan dada mereka, seolah-olah mereka berada di dasar lautan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara—hanya kegelapan yang hidup, bernafas, dan mengancam.
Raka terbangun lebih dahulu. Tubuhnya terasa dingin dan berat, seperti baru saja diangkat dari rawa. Ia membuka matanya perlahan dan menemukan dirinya terbaring di lantai batu yang dingin, dengan altar batu di depannya, namun lilin-lilin biru tadi kini telah padam.
"Citra? Dinda? Bima?" Raka memanggil, suaranya serak.
Tidak ada jawaban.
Dengan tangan gemetar, ia mencoba berdiri. Matanya menyisir sekeliling, mencari rekan-rekannya, tetapi yang ia temukan hanyalah lorong-lorong sempit yang melingkar di sekitar altar. Udara di ruangan itu terasa mati—tidak ada angin, tidak ada suara, tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Sampai tiba-tiba, sebuah suara lirih terdengar.
"Raka…"
Ia menoleh cepat. Itu suara Citra, tapi terdengar lemah, hampir seperti bisikan. Dengan langkah ragu, ia mengikuti suara itu, memasuki salah satu lorong gelap.
"Citra? Lo di mana?"
Lorong itu semakin sempit, dan dinding-dindingnya terasa dingin dan licin, seperti dilapisi lumut. Suara Citra terus terdengar, memanggilnya, memandu langkahnya. Tapi ada sesuatu yang salah. Suara itu tidak konstan—kadang terdengar dekat, kadang jauh, seolah-olah Citra sedang bermain-main dengannya.
Akhirnya, lorong itu membawanya ke sebuah ruangan kecil. Di tengah ruangan, berdiri sosok yang menyerupai Citra. Tapi ada sesuatu yang aneh. Citra yang ini tidak bergerak, tidak berkedip, hanya berdiri kaku dengan kepala tertunduk.
"Citra…" Raka memanggil pelan, langkahnya mendekati sosok itu.
Ketika ia cukup dekat, sosok itu mendongak perlahan. Matanya kosong, hitam pekat seperti lubang tanpa dasar, dan senyumnya terlalu lebar untuk wajah manusia.
"Bukan gue…" sosok itu berbisik, dengan suara yang jauh dari suara Citra.
Seketika, sosok itu berubah menjadi bayangan hitam yang melompat ke arah Raka. Ia berteriak, mundur dengan panik, tapi kakinya tersandung batu, membuatnya jatuh. Namun sebelum bayangan itu menyentuhnya, sebuah tangan menariknya dari belakang.
"Bangun, Rak! Cepat!"
Itu Bima. Dengan kekuatan yang tidak ia duga, Bima menarik Raka ke lorong lain. Mereka berlari tanpa henti, napas mereka memburu. Suara langkah berat bayangan itu terdengar mengejar mereka, semakin keras, semakin dekat.
"Apa tadi itu?!" teriak Raka di tengah larinya.
"Gue nggak tahu!" jawab Bima. "Tapi kita harus cari yang lain sebelum makhluk itu nemuin mereka duluan!"
---
Sementara itu, Dinda dan Citra berada di tempat lain. Mereka terbangun bersama di ruangan yang berbeda, dikelilingi oleh dinding-dinding batu yang sama dingin dan gelapnya.
"Apa ini… mimpi buruk?" tanya Citra, suaranya gemetar.
Dinda menggeleng. "Ini nyata. Kita harus keluar dari sini."
Mereka mulai berjalan menyusuri lorong yang ada di depan mereka, mencoba mencari jalan keluar. Tapi setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti membawa mereka lebih dalam ke dalam labirin yang tak berujung.
Tiba-tiba, mereka mendengar langkah kaki di belakang mereka.
"Itu mereka," ujar Citra dengan harapan. "Mungkin itu Raka dan Bima!"
Dinda merasakan hal yang berbeda. Langkah kaki itu terlalu berat, terlalu lambat. Ia menarik tangan Citra. "Bukan. Itu bukan mereka. Cepat, kita lari."
Tapi sebelum mereka sempat bergerak jauh, sosok bayangan itu muncul lagi, berdiri diam di tengah lorong, memblokir jalan mereka. Mata merahnya bersinar, menatap mereka seperti predator memandangi mangsanya.
Dinda menahan napas. "Jangan bergerak," bisiknya kepada Citra.
Namun, Citra terlalu takut. Ia berlari ke arah lain, meninggalkan Dinda.
"Citra! Jangan!"
Makhluk itu bergerak cepat, hampir seperti meluncur, mengejar Citra. Dinda hanya bisa melihat bayangan itu menyelimuti temannya, dan suara jeritan Citra menggema di lorong.
---
Di tempat lain, Raka dan Bima mendengar jeritan itu.
"Itu Citra!" seru Raka.
Mereka mempercepat langkah, mengikuti arah suara, hingga akhirnya menemukan Dinda yang duduk terdiam di lantai. Wajahnya pucat, dan matanya penuh dengan air mata.
"Dinda! Di mana Citra?" tanya Bima, mengguncang bahunya.
Dinda hanya menggeleng, tidak mampu menjawab.
"Apa yang terjadi?" Raka mendesak.
Dinda akhirnya berbicara, suaranya hampir tak terdengar. "Dia… diambil. Kita harus pergi. Kita nggak bisa selamat kalau tetap di sini."
---
Ketiganya melanjutkan perjalanan, meski tanpa arah yang jelas. Kegelapan terus mengepung mereka, dan setiap langkah terasa seperti mendekati akhir.
Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan besar. Di tengah ruangan, berdiri sebuah pintu besar dari kayu tua, dengan simbol-simbol yang sama seperti di altar.
"Pintu keluar," gumam Raka.
Tanpa pikir panjang, mereka berlari ke arah pintu itu. Tapi sebelum mereka sempat membukanya, bayangan itu muncul lagi, kali ini lebih besar, lebih menyeramkan.
"Tidak akan ada yang keluar dari sini…" suara dalam itu bergema di ruangan, tidak berasal dari bayangan itu, melainkan dari seluruh dinding dan lantai.
Raka, Bima, dan Dinda berdiri terpaku, ketakutan. Tapi kemudian, Raka melihat sesuatu di dekat pintu—sebuah ukiran yang tampak seperti mekanisme.
"Gue tahu caranya keluar," katanya dengan suara tegas.
"Tapi kita harus tahan dia dulu."
Bima dan Dinda saling pandang. Mereka tahu itu berarti melawan makhluk itu, sesuatu yang hampir mustahil.
"Kalau ini gagal, kita semua mati," bisik Bima.
Raka mengangguk. "Tapi kalau kita nggak coba, kita juga nggak akan pernah keluar."
Bayangan itu bergerak maju, dan mereka bersiap untuk menghadapi malam terakhir mereka di Hutan Giripati.