Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
"Pasien mengalami gejala DBD, selain itu asam lambungnya juga naik, jadi harus menjalani rawat inap."
Sepasang mata Pak Vino terpejam. Dadanya terasa penuh sesak. Ingin melampiaskan amarah tapi entah pada siapa.
"Untuk tindakan selanjutnya, pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan. Tolong pihak keluarga agar mengurus administrasinya."
"Baik, Dokter. Tolong pindahkan ke ruang perawatan VVIP. Kami ingin penanganan yang terbaik." jawab Pak Vino cepat.
Matanya sejenak menatap celah pintu ruangan itu, berharap bisa melihat Nirma dari sana.
"Baik kalau begitu. Suami pasien boleh ikut saya? Ada beberapa berkas tindakan yang harus ditandatangi."
"Baik, Dokter." Raka mengikuti langkah wanita itu memasuki ruangan.
Sedangkan yang lain masih menunggu di depan.
Tak lama berselang, pintu ruang IGD kembali terbuka.
Raka keluar lebih dulu, disusul dengan sebuah brankar pasien di mana Nirma sedang terbaring dengan mata terpejam.
Wajahnya sudah ditutup cadar, ada Umi yang berjalan di belakang sambil mengusap air mata.
Melihat Nirma terbaring di atas brankar dalam keadaan tertidur, membuat hati seorang Vino Hadiwijaya seolah remuk, bak diremas tanpa ampun.
Hanya mata sembab gadis itu yang terlihat, dengan deretan bulu mata yang basah. Bahkan tanpa sadar ia menjatuhkan air mata.
"Ya Allah, anak kesayangan Abah. Insyaallah, ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kamu." lirih Ustadz Yusuf, berbisik di telinga putrinya tanpa menyentuhnya sama sekali.
Tetapi, dari matanya mengalir kasih sayang yang begitu besar.
Pak Vino merasa sedih sekaligus haru di saat yang bersamaan.
Padahal Nirma hanyalah anak angkat, tapi ia begitu dihujani dengan kasih sayang oleh orang tuanya.
Bahkan Ustadz Yusuf rela mengendarai sepeda motornya di tengah malam yang dingin demi melihat Nirma.
"Ya Allah, mulia sekali hati mereka, padahal Nirma hanya anak angkat."
Ranjang pasien itu kemudian digiring menuju sebuah ruangan VVIP sesuai permintaan Pak Vino.
Hanya Umi dan juga Raka bersama beberapa petugas medis yang masuk ke ruangan, sementara yang lain menunggu di depan.
Dari tempatnya berdiri, Pak Vino bisa melihat Raka menolak Istrinya disentuh petugas medis lelaki.
Ia menggendong Istrinya sendiri dan memindahkan ke pembaringan pasien.
Tubuh Nirma yang tampak begitu lemah membuat rasa khawatir memenuhi hati Pak Vino. Sedari tadi ia menahan air mata agar tak terjatuh.
"Dokter, apa kami boleh masuk untuk melihat pasien?" Tanya Pak Darren.
"Boleh, tapi harus bergantian."
"Baik, Dokter. Terima kasih sebelumnya."
"Sama-sama. Kalau butuh bantuan, ruangan saya di sebelah."
"Baik, terima kasih, sekali lagi."
Tak lama berselang, Raka keluar dari ruangan.
Pak Darren menghembuskan napas panjang.
"Pak Ustadz silahkan masuk dulu. Nirma pasti butuh Umi dan Abahnya. Saya masih ada yang mau dibicarakan dengan Raka dulu."
"Baik, Pak Darren. Kalau begitu, saya masuk duluan." ucap pria paruh baya itu.
Begitu Ustadz Yusuf masuk. Darren menatap putranya dengan raut wajah yang sangat masam.
"Jelaskan ke Abi apa ini? Apa yang terjadi kepada Nirma? Kenapa dia bisa sakit seperti ini?"
Berondongan pertanyaan itu membuat Raka terdiam. Mulutnya seperti terkunci.
"Dia tiba-tiba demam tinggi, Abi. Badannya menggigil, tadi dia juga sempat mimisan."
"Kenapa kamu tidak pernah beritahu Umi dan Abi? Lalu sejak kapan Nirma sakit? Atau jangan-jangan kamu sendiri tidak tahu kalau Istri kamu sedang sakit?"
Lagi, Raka tak mengucapkan sepatah kata pun. Terlebih, saat ini Pak Vino sedang menghujam tatapan tajam kepadanya.
Melihat amarah Pak Darren yang meluap-luap, Pak Vino menepuk bahu sahabatnya itu.
Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menyalahkan orang lain.
"Sabar, yang penting sekarang Nirma sudah ditangani dengan tepat. Kita hanya tinggal menunggu perkembangannya sambil berdoa."
Pak Darren menghela napas panjang, berusaha menekan rasa kecewa dan amarah yang kian membuncah dalam hati.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Raka yang begitu lembut kepada siapa saja, bisa berubah seperti sekarang.
Dulu, jangankan berbuat jahat, membunuh seekor semut pun ia tak akan tega.
"Kamu benar, Vin." Jawab Pak Darren, lalu melirik Raka.
"Urusan kita belum selesai, kamu masih harus menjelaskan banyak hal kepada Abi."
Tak ada sanggahan apapun dari Raka. Tahu dirinya bersalah, ia diam seribu bahasa.
Hingga tak lama berselang, Ustadz Yusuf beserta Istrinya keluar dari ruangan itu.
Umi Fatimah menyeka ujung matanya yang basah, keadaan Nirma saat ini membuatnya sangat khawatir.
"Sebagai orang tua, saya benar-benar minta maaf atas kelalaian Raka sebagai Suami. Dia kurang bisa menjaga Istrinya dengan baik." ucap Pak Darren penuh rasa bersalah.
Alih-alih menunjukkan amarah dan kecewa, Ustadz Yusuf justru tersenyum. Meskipun rasa sedih yang terpancar dari wajahnya tak bisa disembunyikan.
"Nirma sakit atas kehendak Allah. Insyaallah ini adalah bentuk kasih sayang-Nya terhadap Nirma."
"Terima kasih pengertiannya, Pak Ustadz. Sekali lagi saya minta maaf."
"Tidak apa-apa, Pak Darren. Jangan menyalahkan Nak Raka. Segala sesuatu yang terjadi pasti ada hikmahnya." ucap Ustadz Yusuf, masih bersikap tenang.
"Oh iya, Pak Darren dan Pak Pak Vino silahkan masuk dulu kalau mau melihat Nirma."
"Terima kasih, Pak Ustadz."
Sementara Abah dan Umi menunggu di luar, Pak Vino dan Pak Darren masuk ke ruangan untuk melihat Nirma.
Raka berdiri terpaku, memandang mertuanya dengan perasaan bersalah. Perlahan ia mendekat dan berlutut di hadapan sang mertua yang duduk di kursi.
"Maafkan saya, Abah, Umi. Semua salah saya."
Ustadz Yusuf mengulas senyum seraya mengusap bahu menantunya.
"Bukan salah kamu, Nak. Jangan menyalahkan diri sendiri."
Raka terdiam. Melihat kebaikan kedua mertuanya, ia menebak bahwa Nirma tidak pernah mengadukan sikap kasarnya selama ini.
Memikirkan itu membuat rasa bersalah dalam hatinya semakin besar.
Sementara di dalam ruangan, Pak Vino terdiam memandangi tubuh lemah yang sedang terbaring.
Sejak memasuki ruangan itu, hatinya benar-benar terasa remuk. Ingin rasanya ia melihat wajah Nirma dan memeluknya.
Namun, takut dugaannya salah. Sehingga hanya dapat memandangi gadis itu.
Memandangi matanya yang terpejam dan juga tubuhnya yang dipasangi peralatan medis.
"Ya Allah, apa benar gadis yang ada di hadapanku sekarang adalah anakku, Zahra, yang pernah hilang? Kenapa hati ini terasa begitu terikat dengannya? Kenapa melihat matanya terpejam saja rasanya sakit sekali?"
Pak Vino menarik napas dalam-dalam, membuat Pak Darren mengusap bahunya.
"Insyaallah dia kuat dan bisa melewati semua ini. Kita semua akan melakukan yang terbaik untuknya."
Pak Vino mengangguk. "Apa ada kemungkinan kalau dia benar-benar anakku yang hilang?"
"Kita akan segera tahu kebenarannya. Mari, kita bicara dulu dengan Pak Ustadz dan meminta izinnya untuk melakukan tes DNA."
"Ya, kamu benar."
Setelah menghabiskan beberapa menit di ruangan itu, Pak Vino dan Pak Darren keluar.
Pak Vino menatap Raka yang duduk termenung di kursi. Tatapan lelaki itu kosong, seolah sedang memendam beban yang berat.
"Aku mau ke mushola dulu." ucap Pak Vino pada Pak Darren.
"Aku juga. Kita bicara di sana saja." jawab Pak Darren lalu melirik Ustadz Yusuf.
"Pak Ustadz, bisa ikut saya? Kebetulan ada yang ingin kami bicarakan."
Lelaki paruh baya itu mengangguk pelan. Ia ikut ke mushola bersama Pak Vino dan Darren.
Sementara Raka dan Umi Fatimah menemani Nirma di dalam ruangan.
"Umi istirahat saja. Biar saya saja yang menjaga Nirma." ucap Raka, seraya mempersilahkan Umi berbaring di sofabed yang terdapat di sudut ruangan.
"Nak Raka saja yang istirahat. Kelihatannya Nak Raka juga lelah. Biar kita bisa bergantian jaga."
"Tidak apa-apa, Umi. Lagi pula saya masih belum mengantuk."
"Ya sudah kalau begitu. Tapi, kalau ada apa-apa, atau Nirma terbangun, tolong bangunkan Umi, ya." pinta Umi Fatimah.
"Iya, Umi."
Ketika Umi Fatimah mulai beristirahat, Raka menarik kursi dan duduk di sebelah pembaringan Istrinya.
Sungguh ia merasa bersalah dan sangat menyesal dengan sikap dinginnya selama ini.
Mata hatinya baru terbuka untuk melihat kebaikan dalam diri Nirma.
Ia mencium punggung tangan wanita itu berulang-ulang.
"Maafkan aku, Nirma. Aku janji setelah kamu sembuh, aku akan berusaha menjadi Suami yang baik."
************
************
sangat marah dan emosi adiknya diperlakukan kurang baik...
Martin berusaha meracuni pikiran raka agar membenci mulan.,.
Martin meracuni pikiran raka mulan pembunuh ayahnya.....
raka berjanji akan jd suami yg baik dan bersikap terhadap nirma...
Filling pak vino sangat kuat nirma adalah zahra putrinya....
baru sadar setelah kejadian ini raka akan berjanji lbh baik lagi selama ini menyia2kan istri sebaik nirma...
raka sangat piknik dan khawatir melihat nirma mimisan membawanya kerumah sakit demam sangat tinggi bingit....