Raka Sebastian, seorang pengusaha muda, terpaksa harus menikah dengan seorang perempuan bercadar pilihan Opanya meski dirinya sebenarnya sudah memiliki seorang kekasih.
Raka tidak pernah memperlakukan Istrinya dengan baik karena ia di anggap sebagai penghalang hubungannya dengan sang kekasih.
Akankah Raka menerima kehadiran Istrinya suatu saat nanti atau justru sebaliknya?
Yuk simak ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Mobil yang dikemudikan Raka melaju dengan kecepatan sedang sore itu.
Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya terus tertuju pada ucapan Brayn pagi tadi. Hal yang membuatnya terus merenung akan sikapnya terhadap Nirma.
Ketika melewati sebuah food court, Raka membuka kaca jendela mobil. Saat itu juga aroma lezat menguar dari beberapa kedai yang ia lewati.
Membuat perutnya mendadak terasa kosong. Padatnya pekerjaan hari ini membuatnya tak sempat untuk istirahat makan siang.
"Jam lima." Ia bergumam setelah melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Kemudian menepikan mobil di area parkir.
Memilih sebuah kedai yang menyajikan makanan kesukaannya.
Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam di tempat itu, Raka beranjak pulang. Hanya butuh sepuluh menit untuknya tiba di rumah.
Seperti biasa, suasana rumah sangat sunyi. Ketika melewati ruang tengah, perhatian Raka tertuju pada ruang makan, di mana Nirma sedang duduk dalam posisi membelakangi dirinya.
Ketika adzan magrib berkumandang, wanita itu tampak mengangkat tangan, lalu meneguk segelas air putih.
Raka baru ingat kalau hari ini Nirma sedang berpuasa.
"Alhamdulillah."
Samar-samar suara lembut wanita itu terdengar oleh Raka.
Wanita itu segera menuju kamar untuk menjalankan shalat maghrib. Dari jarak aman, Raka terus mengintai.
Sepintas Nirma tidak terlihat seperti gadis jahat dan munafik seperti yang ia pikirkan selama ini.
Nirma terlihat benar-benar seperti gadis baik. Selepas shalat ia mengaji, suaranya yang indah dan merdu membuat Raka terpaku.
"Stop, Raka!"
Raka memilih segera meninggalkan kamar wanita itu.
Ketika melewati meja makan, ia melirik sejenak. Di meja hanya ada nasi putih dan telur dadar.
"Hanya ini menu buka puasanya?"
Dalam sekejap Raka merasakan seperti ada sayatan pada hatinya, bak ditusuk berulang-ulang.
Sepiring nasi putih dan telur dadar layaknya sebuah tamparan baginya.
Bagaimana tidak, ia baru saja makan enak di sebuah food court dengan berbagai menu lezat, sementara Istrinya di rumah berbuka puasa dengan menu seadanya.
"Apa dia mau makan ini saja?" Pandangan Raka menyelidik dari meja makan ke arah dapur.
Tak ada menu selain ini yang tersedia. Tanpa terkendali, rasa bersalah perlahan menyusup ke hati.
Secepat hembusan udara, Raka segera keluar dengan mengendarai sepeda motor yang tersimpan di garasi, lalu menuju sebuah restoran tak jauh dari rumah.
Tak membutuhkan waktu lama, ia telah kembali dengan membawa sebuah paper bag.
Sementara Nirma belum terlihat keluar kamar. Nasi putih dan telur dadarnya pun masih utuh.
"Ini untuk kamu buka puasa." tulis Raka, dalam sebuah catatan kecil.
Lalu, segera meninggalkan ruang makan sebelum Nirma kembali.
Tak lama berselang, Nirma selesai dengan ibadahnya.
Wanita itu melipat sajadah dan mukena, lalu memakai khimar panjang dan memasang cadar, lalu keluar kamar menuju ruang makan.
Kening mulus wanita itu berkerut tipis saat mendapati beberapa paper bag dengan logo restoran.
Dari sana ia dapat menyesap aroma yang begitu lezat. Ada catatan kecil juga di sana. Selain itu, telur dadar dan nasi putih yang tadi telah ia siapkan, tidak terlihat lagi di meja.
"Apa Mas Raka yang membeli ini?" gumam Nirma pelan. "Tapi, nasi dan telur dadarnya mana?"
Sembari menghela napas, Nirma segera melangkah.
Sebelum makan, ia perlu berterima kasih pada Raka yang sudah berbaik hati memberi makanan lezat untuknya berbuka puasa.
Baru saja gadis itu akan menjejakkan kakinya pada anak tangga pertama, langkahnya tiba-tiba terhenti.
Raka berada di tepi kolam renang, sedang duduk seorang diri. Perlahan ia mendekat dan berdiri dalam jarak yang aman.
"Mas saya mau bilang terima kasih untuk makanannya." ucap Nirma.
"Jangan salah paham. Aku tidak mau kamu sakit karena hanya makan nasi dan telur dadar. Umi dan Abi bisa marah." Raka sama sekali tak memandang Nirma. Matanya terfokus pada layar ponsel.
"Walaupun begitu saya tetap berterima kasih. Maaf, sudah banyak merepotkan."
"Hemmm...."
Ketika Nirma melangkah, Raka melirik sekilas. Nirma terlihat sedikit tertatih menyeret kakinya.
"Tunggu!" panggil Raka, menghentikan langkah sang Istri.
"Iya, Mas?" Nirma refleks membalikkan tubuhnya, sementara Raka bangkit meninggalkan kursi tempatnya duduk. "Brayn mengatakan kamu mengalami kecelakaan kemarin."
"Iya, dalam perjalanan pulang setelah belanja keperluan dapur. Tapi, tidak apa-apa, Mas. Hanya luka kecil."
"Apa sudah di obati?"
"Sudah, Mas."
"Ya sudah." Raka mengangguk, masih dengan wajah datarnya. "Ngomong-ngomong, kemarin kamu sudah belanja keperluan dapur, kan? Kenapa masaknya hanya nasi dan telur dadar saja?"
"Itu... bahan makanan yang saya beli ternyata banyak yang rusak karena jatuh kemarin, Mas."
"Oh...."
Pembicaraan mereka berakhir begitu saja. Percaya atau tidak, ini adalah pertama kalinya Raka tidak berbicara ketus terhadap Nirma. Hal yang membuat wanita itu bertanya-tanya.
Raka kembali merenung di tepi kolam renang. Beberapa kali ponselnya berdering dengan berondongan pesan permintaan maaf dari Hellen.
Namun, panggilan dan pesan itu ia abaikan begitu saja. Tanpa balasan sama sekali.
****
"Ya Allah, kenapa dingin sekali." Nirma mendesis dalam balutan selimut.
Sekujur tubuhnya terasa lemas dan berkeringat. Ia merasa tubuhnya seperti ditusuk ratusan jarum menembus tulang.
Di satu sisi ia merasa kedinginan, namun di saat yang bersamaan merasakan hawa panas menguar dari dalam tubuhnya.
Di kamar itu batinnya menangis. Biasanya saat sedang sakit seperti ini akan ada Umi yang memeluk dan merawatnya. .
Akan ada Abah yang setiap malam berjaga di samping tempat tidur.
Kini, ia seolah tak memiliki siapapun. Hanya seorang Suami yang sama sekali tak pernah perduli terhadapnya.
"Umi... Abah... Nirma mau pulang." gumam Nirma pelan.
"Jemput Nirma, Abah!" Nirma mulai terisak.
Bahkan air mata yang menetes terasa panas mengalir di pipi.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Nirma mencoba untuk bangkit.
Duduk di antara lemari dan tempat tidur dengan menyandarkan punggungnya.
Mengeluarkan tas dan menghitung sisa uang pemberian Raka kemarin.
Masih tersisa beberapa puluh ribu. Mungkin itu cukup untuknya membeli obat penurun panas.
Nirma ingat di depan kompleks ada apotek kecil bersebelahan dengan minimarket.
"Ya Allah." Nirma merintih memijat kepala yang terasa semakin berdenyut.
Memaksakan diri untuk berjalan keluar. Namun, saat akan membuka pintu, tiba-tiba saja sekeliling terasa berputar dalam pandangannya.
Tubuh Nirma ambruk. Beruntung sepasang tangan segera menangkap tubuhnya, sehingga tak sampai membentur lantai.
*************
*************
lanjut Thorrr" bgs cerita nyaaaa....