Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pencerahan dalam perdebatan
Bayu duduk kembali di tempatnya setelah sesi debat pertama. Wajahnya terasa lelah, namun hatinya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kegelisahan, ada ketegangan, namun ada juga rasa kemenangan kecil. Meskipun tak semuanya berjalan mulus, ia merasa untuk pertama kalinya ia benar-benar terlibat dalam sebuah perdebatan yang bukan hanya tentang memenangkan argumen, tetapi tentang memahami dan menggali kedalaman pikiran. Namun, yang paling menonjol adalah bagaimana debat ini mengingatkannya pada kenyataan bahwa hidupnya tak pernah semudah logika atau filsafat.
Riko yang duduk di bangku penonton menepuk bahu Bayu. “Lo keren banget tadi, Bro,” ujarnya dengan nada puas. “Gue ngeliat lo udah mulai bisa ngajarin orang-orang itu, apalagi sama Ardi dan Anya, yang biasanya pada sombong. Lo bisa ngebuka pikiran mereka.”
Bayu hanya tersenyum, meski hatinya masih penuh dengan pertanyaan. Riko benar, dia memang bisa sedikit lebih percaya diri, namun perasaan bahwa sesuatu lebih besar masih menggelayuti pikirannya. Apakah debat ini benar-benar mengarah pada kebenaran yang lebih dalam, atau hanya sekadar pertunjukan intelektual yang tak akan pernah bisa menyentuh kehidupan nyata?
“Gue cuma ngomong apa yang gue rasain aja sih,” jawab Bayu singkat. “Kadang lo harus bisa lihat lebih jauh dari apa yang orang lain lihat, dan mencoba menanyakan hal-hal yang orang lain takut untuk tanya.”
Di tengah percakapan mereka, Dimas, yang sejak tadi duduk diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi lo sadar gak sih, Bayu, debat ini juga lebih ke soal identitas, lo nggak cuma bawa filsafat, tapi lo juga bawa diri lo sendiri. Gue bisa ngerasa lo makin terhubung sama apa yang lo omongin. Ini bukan cuma teori kosong lagi.”
Bayu terdiam sejenak. Dimas benar. Seiring waktu, ia merasa bahwa apa yang dia pelajari tidak hanya menjadi sekadar pengetahuan yang harus dipertanggungjawabkan, tetapi lebih menjadi bagian dari hidupnya, dari siapa dia sebenarnya. Filosofi hidup yang dia pelajari selama ini mulai meresap dalam jiwanya, membentuk cara pandangnya terhadap dunia.
Namun, saat pikirannya melayang, sebuah suara menghentikan lamunannya.
“Bayu…”
Suara itu, jelas. Menarik perhatian Bayu. Itu suara Rara, yang baru saja muncul di pintu ruang debat. Dari ekspresinya, Bayu bisa merasakan ketegangan di udara. Rara tampak lebih serius dari biasanya, bahkan seakan-akan ada beban yang sedang ia bawa. Matanya menatap Bayu dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Rara?" tanya Bayu, sedikit bingung, melihat teman-temannya yang mulai memberi isyarat. “Lo ada apa?”
Rara melangkah mendekat, dan para teman Bayu, yang sebelumnya asyik berdiskusi tentang hasil debat, perlahan berhenti berbicara dan memberi perhatian penuh pada keduanya. “Ada yang harus gue omongin sama lo,” ujar Rara pelan, dengan suara yang sedikit tertahan.
Bayu mengernyit. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap Rara. Biasanya, Rara selalu terlihat tegar dan penuh percaya diri. Tapi kali ini, ada semacam keraguan yang terlihat di wajahnya.
“Gue… Gue nggak ngerti kenapa lo bisa bilang semua itu tadi,” kata Rara akhirnya, menatap Bayu dengan tajam. “Lo kayak ngomong sesuatu yang gue sendiri belum bisa paham. Lo ngomong soal kebenaran dan hal-hal yang lebih tinggi, tapi kenapa lo nggak bisa lihat kenyataan yang ada di depan mata lo?”
Bayu terdiam, merasa terpojok dengan kata-kata Rara yang langsung mengarah pada inti perasaannya. Rara selalu seperti itu—langsung menusuk ke dalam, tanpa banyak basa-basi. Meskipun begitu, Bayu bisa merasakan gelombang perasaan yang melingkupi dirinya. Dalam hati, ia bertanya, apakah ia terlalu terfokus pada teori sehingga lupa untuk memahami kehidupan nyata?
“Rara, gue tahu apa yang lo maksud,” jawab Bayu, mencoba untuk tetap tenang. “Tapi kan kebenaran nggak cuma yang tampak, bukan? Ada banyak hal di balik apa yang kita lihat. Seperti yang gue bilang tadi, kita harus bisa mencari yang lebih dalam, bukan cuma menerima begitu saja apa yang ada.”
Rara menggelengkan kepala. “Tapi lo nggak bisa cuma hidup di dunia filsafat, Bayu. Gue nggak bilang filsafat itu nggak penting, tapi terkadang lo harus bisa lihat dunia ini dengan lebih realistis. Lo bilang soal kebenaran yang lebih tinggi, tapi di sisi lain, lo juga harus melihat kenyataan yang ada di depan mata lo.”
Bayu terdiam, merasa kata-kata Rara menantang keyakinannya yang sudah ia pegang teguh. Apakah benar selama ini ia terlalu terjebak dalam teori-teori yang membuatnya semakin jauh dari kehidupan sehari-hari? Mungkin, seperti kata Rara, ada sisi lain dari kebenaran yang belum ia lihat.
“Apa yang lo maksud dengan melihat kenyataan?” tanya Bayu, berusaha mempertahankan sikap tenangnya.
Rara menatapnya dengan pandangan yang sulit untuk dijelaskan. “Kenyataan itu, Bayu… adalah kita. Kehidupan kita, hubungan kita, apa yang kita jalani sehari-hari. Gue nggak ngerti kenapa lo selalu membenarkan semua teori itu, tapi lo sendiri kayaknya nggak bisa ngerasain apa yang orang lain rasakan.”
Bayu terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Rara. Perasaannya berkecamuk. Di satu sisi, ia merasa apa yang Rara katakan ada benarnya. Di sisi lain, ia merasa terpojok, seperti harus memilih antara idealisme yang telah ia pelajari selama ini dengan kenyataan yang dihadapi setiap hari.
Saat itu, Dimas yang duduk di dekat mereka ikut angkat bicara. “Lo tahu nggak sih, Bayu? Rara bener. Kadang lo harus keluar dari kepala lo dan ngeliat orang-orang di sekitar lo. Kadang, lo terlalu terjebak sama definisi lo tentang kebenaran dan logika, lo lupa kalau hidup itu juga tentang perasaan dan kenyataan.”
Bayu menatap Dimas, merasa ada sesuatu yang bergeser dalam dirinya. Mungkin mereka benar. Mungkin, selama ini, ia terlalu sibuk mencari kebenaran dalam filsafat dan melupakan hal-hal yang lebih sederhana dan dekat dengan kehidupannya.
Bayu menatap Rara yang masih menunggunya menjawab. “Lo benar, Rara. Gue memang sering terjebak dalam teori-teori yang kadang sulit gue terapkan dalam kehidupan nyata. Tapi, gue juga nggak tahu cara melihat dunia tanpa prinsip itu. Jadi, gue harus gimana?”
Rara menarik napas dalam-dalam. “Gue nggak tahu jawaban untuk itu, Bayu. Tapi yang gue tahu, kadang kita harus mulai dengan hal-hal kecil dulu. Ngerti orang lain, peduli sama orang lain, dan jangan cuma fokus sama apa yang ada di kepala lo aja.”
Bayu menundukkan kepala, merasa ada sebuah pencerahan yang tiba-tiba datang. Rara benar. Mungkin, dalam pencarian kebenaran yang lebih tinggi, ia lupa untuk melihat orang-orang di sekitarnya. Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan filsafat, dan tidak semuanya harus dihadapi dengan logika yang rumit.
“Thanks, Rara,” akhirnya Bayu berkata dengan suara pelan. “Mungkin gue harus mulai belajar dari hal-hal kecil dulu.”
Rara tersenyum tipis, kemudian meninggalkan ruangan itu dengan langkah perlahan. Bayu duduk kembali di kursinya, merenung. Terkadang, jawaban atas pertanyaan terbesar dalam hidup memang tidak datang dalam bentuk teori atau diskusi filsafat. Beberapa jawaban, ternyata, hanya bisa ditemukan dengan melihat dunia ini dengan cara yang lebih sederhana—dan lebih manusiawi.