" Mau gimanapun kamu istriku Jea," ucap Leandra
Seorang gadis berusia 22 tahun itu hanya bisa memberengut. Ucapan yang terdengar asal dan mengandung rasa kesal itu memang sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Jeanica Anisffa Reswoyo, saat ini dirinya sudah berstatus sebagai istri. Dan suaminya adalah dosen dimana tempatnya berkuliah.
Meksipun begitu, tidak ada satu orang pun yang tahu dengan status mereka.
Jadi bagaimana Jea bisa menjadi istri rahasia dari sang dosen?
Lalu bagaimana lika-liku pernikahan rahasia yang dijalani Jea dan dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Rahasia 19
" Ughhhh, kayaknya aku ketiduran deh. Tapi bukannya aku ketiduran di ruang tamu ya. Euuugh." Jea bergumam lirih, matanya masih terpejam karena dirinya sambil mengingat apa yang terjadi.
Gadis itu menggerakkan tubuhnya, namun ia merasa begitu berat. Ada sesuatu yang seperti menimpa tubuhnya itu dan dia juga merasa kasurnya lebih sempit dari biasanya.
Dengan mengusap wajahnya dengan tangan, Jea berusaha untuk bangun. Matanya langsung membulat sempurna ketika melihat sebuah tangan yang kokoh melingkar diperutnya. Ia hampir saja berteriak tapi tidak jadi saat dirinya tahu milik siapa tangan itu.
" Bang Lean, kok dia bisa tidur di sini?"
Jea ingin menyingkir dari tempat tidur, tapi belitan tangan Lean sangat kuat. Dan ketika melihat wajah Lean, Jea tidak tega. Gurat kelelahan tampak jelas di sana. Tapi yang membuat Jea terkejut adalah, Lean masih mengenakan kemeja dan celana panjang bahan, itu adalah pakaian yang tadi pagi dipakai oleh Lean.
" Masyaallah, pria ini beneran ganteng. Haaah, aku beneran nggak nyangka pria seperti ini bakalan jadi suamiku."
Jea tersenyum tipis ketika melihat wajah Lean dengan seksama. Ya dia benar-benar baru kali ini melihat wajah Lean secara dekat. Dan benar saja, ketampanan itu adalah sesuatu yang begitu nyata.
Tapi Jea menggelengkan kepalanya, dia tidak boleh terhanyut akan hal itu. Dengan perlahan dan penuh kehati-hatian, Jea mengangkat tanag Lean dari perutnya. Ia ingin bahwa dirinya tidur sebelum menjalankan kewajiban sholat isya. Maka dari itu dia harus bangun sebelum waktu subuh tiba.
Jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari, kebetulan sekali dia bisa melakukan sholat malam juga. Sebenarnya saat ini jantung Jea berdegup sangat cepat. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama dia tidur bersama seorang pria. Meskipun mereka tidak melakukan apapun dan status mereka sah, tetap saja bagi Jea itu adalah hal yang baru atau sangat baru.
" Huh, untung kamu tadi nggak jadi teriak Jea. Tapi kenapa ya tiba-tiba dia tidur di sini. Mana masih pake baju kerja lagi. Ya mari biarkan dia tidur lebih lama. Bangunin aja pas subuh nanti."
Jea merangsek turun dari ranjang, dia keluar dari kamar dan menutup pintunya pelan.
Hal yang akan dilakukannya terlebih dulu adalah sholat, setelah itu Jea akan membereskan beberapa tempat yang ternyata sedikit berantakan. Salah satunya adalah ruang tamu yang semalam ia gunakan sebagai tempatnya belajar.
" Okeee mari kita bergerak, uughhh."
Jea melakukan pekerjaan yang sudah ia rencanakan. Dan tidak terasa adzan subuh sudah berkumandang. Itu tandanya waktu untuk matahari bersinar tidak akan lama lagi.
Yang ia harus lakukan saat ini adalah membangunkan Lean. Dia membuka pintu kamarnya, dan Jea sangat terkejut pasalnya Lean berdiri tepat di depan pintu. Rupanya Lean sudah bangun, dan dia juga hendak keluar dari kamar Jea.
" Maaf ya, semalam aku pulangnya malem. Kamu udah masak banyak tapi aku nggak sempet makan. Dan satu lagi, maaf aku semalam tidur di sini."
" Nggak apa Bang, aku tahu kamu sibuk. Ya udah sekarang ayo kita sholat subuh dulu."
" Jea, mari kita sholat bersama."
Anggukan kepala dari Jea sebagai tanda bahwa dia setuju, Lean pun tersenyum. Dia lalu melenggang pergi ke kamarnya. Tapi ternyata ketenangan yang dia tampilkan di depan Jea tadi hanya topeng semata. Faktanya saat ini dada Lean bergemuruh. Ya dia sungguh merasa bahwa jantungnya berdetak sangatlah cepat.
Lean bahkan sampai memegangi dadanya dan bisa merasakan dentuman jantungnya itu dari telapak tangannya.
Lean mengambil nafasnya dalam-dalam dan membuangnya perlahan. Dia harus bisa tenang untuk keluar lagi menemui Jea.
" Waduuh beneran bisa mleyot ini hati. Bisa-bisanya dia bilang aku ganteng," ucap Lean dengan wajahnya yang bersemu merah. Rupanya saat Jea bangun tadi, Lean sudah bangun juga. Tapi dia terlalu malu untuk ikut membuka mata. Terlebih saat Jea memujinya, sungguh itu membuatnya semakin memejamkan matanya, beruntung dirinya tidak ketahuan tadi.
Sebenarnya ini adalah hal yang lucu. Bukan sekali dua kali Lean mendapat pujian semacam itu. Sangat sering malah, apalagi jika dia mengajar mahasiswa baru maka pujian itu bak air yang mengalir. Disana Lean tidak pernah merasa malu ataupun tersanjung, tapi saat tadi Jea berkata demikian Lean benar-benar merasa malu dan salah tingkah.
" Haah, sekarang ayo mandi dan segera sholat."
Lean menyingkirkan semua pemikirannya itu, dia lalu segera melakukan kegiatan agar tidak lagi memikirkan tentang Jea.
Sholat subuh dilaksanakan. Lean memilih menggunakan kamar Jea, dan di sana Jea sudah duduk di atas sajadah dengan mengenakan mukenanya.
" Cantik," gumam Lean lirih. Tapi seketika itu juga dia mengalihkan pandangannya. Lean merasa semakin kesini dirinya semakin tidak terkendali jika teringat akan istrinya. Jika di luar rumah maka ingatannya akan rumah. Bukan rumah yang ada ayah, ibu dan kakaknya, tapi rumah yang dimana ada Jea di sana. Lean juga ingin segera pulang dan buru-buru melihat Jea.
" Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."
Salam tanda sholat berakhir dilafalkan. Mereka duduk di atas sajadah lebih lama, untuk berzikir sebentar. Lalu Lean memimpin doa dan Jea mengaminkan setiap doa yang diucapkan oleh Lean.
" Ya Allah, berkahilah pernikahan kami. Jadikan kami sakinah mawadah warohmah, dan mudahkanlah kami dalam menghadapi setiap jalan berliku dan berbatu yang akan kami hadapi dalam perjalanan rumah tangga kami."
" Aamiin."
Ketika Lean membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Jea, Jea langung meraih tangan Lean dan mencium punggung tangan suaminya itu dnegan penuh hikmat. Sedangkan Lean, entah mendapat dorongan dari mana dia mencium kening Jea. Bukan kecupan singkat tapi ciuman yang dalam dan sedikit lama.
" Maaf Jea jika selama sebulan lebih sedikit ini aku belum bisa menjadi suami yang baik."
" Bang, maafkan aku juga karena hingga saat ini belum siap untuk membuka rahasia pernikahan kita."
Lean hanya tersenyum, dia mengangguk pelan. Ia tahu bahwa Jea memang belum siap atau bahkan Jea akan lama siapnya. Tapi itu tidak jadi soal untuk Lean. Karena Lean punya rencananya sendiri.
Sembari jalan keluar dari kamar Jea, Lean bergumam pelan, " Kamu bagaimanapun tetap akan jadi istriku Jea. Karena seperti yang aku katakan, sekali menikah aku tidak akan pernah melepaskan wanita yang jadi istriku."
TBC