Berkisah tentang Alzena, seorang wanita sederhana yang mendadak harus menggantikan sepupunya, Kaira, dalam sebuah pernikahan dengan CEO tampan dan kaya bernama Ferdinan. Kaira, yang seharusnya dijodohkan dengan Ferdinan, memutuskan untuk melarikan diri di hari pernikahannya karena tidak ingin terikat dalam perjodohan. Di tengah situasi yang mendesak dan untuk menjaga nama baik keluarga, Alzena akhirnya bersedia menggantikan posisi Kaira, meskipun pernikahan ini bukanlah keinginannya.
Ferdinan, yang awalnya merasa kecewa karena calon istrinya berubah, terpaksa menjalani pernikahan dengan Alzena tanpa cinta. Mereka menjalani kehidupan pernikahan yang penuh canggung dan hambar, dengan perjanjian bahwa hubungan mereka hanyalah formalitas. Seiring berjalannya waktu, situasi mulai berubah ketika Ferdinan perlahan mengenal kebaikan hati dan ketulusan Alzena. Meskipun sering terjadi konflik akibat kepribadian mereka yang bertolak belakang, percikan rasa cinta mulai tumbuh di antara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft 16
Di dalam mobil mewah Ferdinan, suasana terasa hening. Alzena menatap ke luar jendela, pikirannya melayang-layang setelah mendengar ucapan Tuan Abraham yang menginginkan cicit dari mereka. Sementara Ferdinan menggenggam kemudi dengan tatapan lurus ke depan, mencoba memahami perasaan campur aduk yang timbul akibat percakapan makan malam tadi.
Saat mereka melewati sebuah pasar malam yang ramai dengan lampu-lampu berwarna-warni, aroma makanan jalanan, dan suara tawa anak-anak yang bermain, Alzena spontan memutar kepalanya, menatap dengan penuh nostalgia.
"Kau kenapa?" tanya Ferdinan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan, meskipun ia menyadari perubahan sikap Alzena.
"Tidak apa-apa," jawab Alzena pelan, senyumnya samar. Namun, matanya terus menatap pasar malam itu hingga hilang dari pandangan.
Ferdinan melirik sekilas melalui kaca spion, melihat ekspresi Alzena yang sedikit berbeda. "Kalau ada sesuatu yang kau inginkan, katakan saja," ujarnya datar namun terdengar tulus.
Alzena menggeleng. "Aku hanya teringat masa-masa kuliah dulu, saat aku dan Tiara sering pergi ke tempat seperti itu. Dulu, kebahagiaan rasanya sederhana. Tertawa bersama teman, makan makanan murah, dan bermain di wahana kecil..." suaranya melemah di akhir kalimat, dan dia kembali menatap ke luar jendela.
Ferdinan mendengarkan dengan seksama, tanpa berkata-kata. Ada sesuatu dalam nada bicara Alzena yang membuatnya merasa tergerak. Dia memutuskan untuk memutar mobilnya mendadak, membuat Alzena terkejut.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Alzena dengan nada bingung.
"Kita ke pasar malam itu," jawab Ferdinan singkat, tidak memberikan ruang untuk perdebatan.
"Tapi—" Alzena mencoba menolak, tetapi Ferdinan memotongnya.
"Bukankah tadi kau ingin ke sana? Aku tidak akan mengulanginya dua kali," katanya dengan nada dingin namun tegas, meski sebenarnya ia ingin melihat Alzena tersenyum lagi.
Alzena hanya bisa diam, membiarkan Ferdinan memarkir mobilnya di tepi jalan dekat pasar malam. Saat mereka berjalan masuk, suasana pasar yang ramai membawa sedikit kehangatan di antara mereka. Alzena mulai merasa lebih santai, meski agak canggung berada di tempat ramai seperti itu dengan suaminya yang selalu tampak serius.
Ferdinan, yang biasanya tak pernah melangkahkan kaki ke tempat seperti ini, terlihat kaku. Tapi ia memperhatikan Alzena yang matanya berbinar melihat berbagai stan makanan, permainan, dan hadiah kecil di sekitarnya.
"Apa yang kau suka di sini?" tanya Ferdinan, mencoba membiasakan diri dengan suasana.
Alzena tersenyum kecil. "Aku ingin mencoba itu," katanya sambil menunjuk sekotak martabak manis yang dijual di salah satu stan.
Ferdinan mengangguk, lalu membelinya tanpa berkata-kata. Saat martabak itu diterima Alzena, dia tersenyum tulus. "Terima kasih."
Melihat senyum itu, Ferdinan merasa aneh. Ada sesuatu yang membuatnya merasa puas meskipun ia tidak mengerti alasannya. Sesaat, ia berpikir bahwa mungkin hal-hal kecil seperti ini yang telah lama ia abaikan dalam hidupnya.
Saat Alzena duduk di meja kayu sederhana sambil menikmati martabak yang baru dibeli, suasana pasar malam terasa lebih hangat. Lampu-lampu warna-warni di sekitarnya menciptakan suasana yang nyaman, dan Alzena tampak lebih santai dibanding sebelumnya. Ferdinan duduk di depannya, mengamati cara Alzena menikmati martabak itu, meski ia sendiri tidak menyentuh makanan.
Tiba-tiba seorang pria muda menghampiri meja mereka. Wajahnya langsung berbinar saat melihat Alzena.
"Alzena? Ini kamu, kan?" pria itu berkata dengan antusias.
Alzena mendongak, sedikit terkejut. "Rian?" Ia segera berdiri, tersenyum lebar. "Ya Tuhan, sudah lama sekali kita tidak bertemu!"
Rian, teman kuliah Alzena, tampak sangat senang bertemu dengannya. "Aku hampir tidak percaya ini kamu! Masih sama seperti dulu, cantik dan sederhana," ujarnya sambil tersenyum tulus.
Ferdinan yang duduk di sana hanya memandangi mereka dengan tatapan tajam. Suasana hangat yang baru saja tercipta di antara dia dan Alzena langsung berubah.
"Kau masih ingat aku, kan?" tanya Rian, sedikit melirik Ferdinan tetapi memilih untuk mengabaikannya sejenak.
"Tentu saja aku ingat," jawab Alzena sambil tertawa kecil. "Bagaimana kabarmu sekarang? Sudah lama sekali kita tidak bertemu sejak kelulusan."
Percakapan mereka berlangsung hangat, dengan Rian bercerita tentang pekerjaannya dan mengingat momen-momen kuliah dulu. Rian bahkan sempat berkata, "Aku dulu sering berharap bisa lebih dekat denganmu. Tapi ya, aku tahu kamu selalu punya banyak penggemar."
Ucapan itu membuat Ferdinan menggenggam martabak di tangannya dengan lebih erat, matanya memandang tajam ke arah Rian.
"Siapa pria ini?" akhirnya Ferdinan angkat bicara, nadanya dingin namun tegas.
Alzena tersadar, segera memperkenalkan mereka. "Oh, ini Rian. Teman kuliahku dulu. Rian, ini Ferdinan, suamiku."
Rian tampak sedikit kaget, tapi ia segera menyembunyikan keterkejutannya dengan senyum. "Oh, suamimu? Senang bertemu denganmu, Tuan Ferdinan," ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Ferdinan hanya menjabat tangan Rian dengan singkat, tanpa senyum. "Sama-sama."
Percakapan itu terus berlanjut, tetapi Ferdinan mulai merasa tidak nyaman. Ia tidak suka cara Rian memandang Alzena dengan penuh kekaguman, meskipun Alzena tidak terlihat memberikan perhatian lebih.
"Kau terlihat sangat bahagia sekarang, Alzena," kata Rian. "Aku senang melihatmu seperti ini. Suamimu pasti pria yang sangat beruntung."
Ferdinan menahan diri untuk tidak memberikan komentar tajam, tetapi sorot matanya jelas menunjukkan rasa cemburu.
Setelah beberapa waktu, Rian akhirnya berpamitan. Sebelum pergi, ia berkata pada Alzena, "Semoga kita bisa bertemu lagi. Aku sangat senang melihatmu."
Ketika Rian pergi, Ferdinan akhirnya membuka suara. "Dia teman kuliahmu, ya? Tampaknya dia lebih dari sekadar teman biasa," sindirnya sambil menatap tajam ke arah Alzena.
Alzena menatap Ferdinan dengan tenang. "Dia hanya teman lama, tidak lebih. Kau tidak perlu merasa terganggu," jawabnya dengan nada datar, lalu kembali menikmati martabaknya.
Mereka menuju mobil Ferdinan.
"Dia tampan, kenapa kau tidak pacaran dengannya ?"Ferdinan dengan nada dingin.
"Kamu mau aku pacaran sama dia?Benar juga ya, dia ganteng, secara finansial ayahnya seorang pejabat, dan karirnya juga lumayan, boleh juga idenya, kalau kamu nanti menceraikan ku setidaknya aku punya opsi."
"Ciiiiiiit."Ferdinan menghentikan mobilnya.
"Awwww, kenapa berhenti mendadak sih!"Alzena memekik kesakitan.
"Apa kamu bilang tadi?Opsi? Jadi kamu mau nikah sama dia gitu, ohh jadi nyesel nikah sama aku."Ferdinan membulatkan matanya.
"Loh, kamu sendiri kan yang bilang, kenapa aku enggak pacaran saja sama dia, dan kamu juga bilang aku cuma istri sementara kamu, artinya suatu saat kita bakal bercerai bukan?"Alzena dengan nada tinggi dan menekan. Ferdinan diam sejenak.
"Kenapa kau selalu saja membahas soal itu, oke anggap aku khilaf, tapi aku juga engga mau kamu terus tersenyum pada laki-laki lain mengerti."Ferdinan dengan suara kencang dan menggebu. Membuat Alzena gemetar.
"Ehmmmpppt."Ferdinan meraup bibir Alzena dengan cepat. Ciuman Ferdinan semakin ganas,,Alzena berusaha memukul dada Ferdinan namun cengkraman Ferdinan semakin kuat. Hingga Alzena mulai pasrah, ciuman Ferdinan . Sehingga lama kelamaan Ferdinan mulai lembut. suara decapan menghiasi mobil mewah Ferdinan. Hingga berlangsung 10 menit akhirnya Ferdinan melepaskan pagutannya.
"Hahhh, hahhhh, hahhh."Alzena menghirup oksigen sebanyak-banyaknya."Kenapa bapak suka sekali menciumku?" bukannya ini pelecehan ya.
"Apa? ha ha.ha."Ferdinan tertawa.
"Apanya yang lucu."Alzena mencebikkan bibirnya.
"Kita suami istri Al, mana ada pelecehan, saya berhak tahu ga ?"
"Oh ya, lalu bagaimana hubungan anda dengan Artis papan atas itu, bukannya kalian saling mencintai ya."Alzena..
"Sudahlah jangan bahas dia, aku sedang menikmati waktu bersamamu."Ferdinan kembali melajukan mobilnya.
"Ishhh, sekarang dia menciumku semaunya, aku benci, benci banget. "Alzena berbisik.
"Udah jangan cemberut, kurang ya, mau dicium lagi?"
"Jangan..."Alzena menutup mulutnya.
Ferdinan dan Alzena mulai meneruskan perjalanan., tanpa ada percakapan antara mereka berdua.
Namun, dalam hati Ferdinan, rasa cemburu itu sulit hilang. Ada sesuatu tentang cara Rian memandang Alzena yang membuatnya merasa tidak nyaman, seolah-olah pria itu masih memiliki perasaan terhadap istrinya.