"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: GYM mandiri
Ryan berjalan menyusuri trotoar yang penuh orang, masih mencari tempat yang tepat untuk berlatih. "Butuh tempat yang tenang, nggak banyak orang," gumamnya, merasa risih setiap kali melewati gym modern dengan dinding kaca bening yang memajang orang-orang berotot sedang berolahraga.
'Nggak nyaman kalau diliatin orang banyak pas latihan,' pikirnya. Jakarta sudah mulai panas, dan keringatnya terus mengalir, tapi dia tetap melangkah.
Setelah hampir satu jam jalan tanpa hasil, Ryan berhenti di depan sebuah gedung tua yang terpencil. Papan namanya sudah hampir pudar, tapi masih terbaca.
[Gym Mandiri.]
"Gym ini kayaknya tempatnya nggak banyak orang," gumamnya sambil mendorong pintu masuk. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi nyaring.
'Tradisional banget,' pikirnya. Di dalam, cahaya redup dan udara pengap. Alat-alatnya kelihatan tua, tapi semuanya lengkap.
Di sudut ruangan, seorang pria kekar dengan tato di lengannya sedang mengangkat beban besar. Ryan menelan ludah, merasa canggung. "Permisi, Om," sapanya pelan.
Pria itu menoleh, wajahnya tersenyum lebar. "Eh, ada tamu! Mau daftar?"
Ryan mengangguk ragu. "Iya, Om. Masih buka pendaftaran?"
"Tentu. Mau yang mingguan atau bulanan?"
Ryan menggaruk kepala, bingung. "Berapa harganya, Om?"
"Bulanan tiga ratus ribu, mingguan seratus tujuh puluh. Tapi aku sarankan bulanan, lebih hemat."
"Coba mingguan dulu, Om," jawab Ryan, belum yakin bisa rutin datang.
Pria itu mengangguk. "Bisa, bisa. Biar kamu coba dulu suasananya. Namaku Dedi. Panggil aja Om Dedi."
Ryan menjabat tangannya. "Ryan, Om."
Tangan Om Dedi besar dan keras, membuat tangan Ryan terasa kecil. Setelah mengisi formulir dan membayar, Om Dedi mulai menunjukkan alat-alat gym.
"Ini area cardio, sana tempat angkat beban," jelasnya. Alat-alatnya memang tua, tapi masih terawat. "Jadi, apa tujuanmu datang ke sini, Ryan?"
Ryan terdiam sejenak. "Pengen berubah, Om. Pengen hidup lebih sehat."
Om Dedi tersenyum puas. "Bagus! Kita mulai dari yang ringan dulu."
Mereka mulai dengan pemanasan sederhana. Ryan mengikuti gerakan Om Dedi dengan kikuk. 'Ternyata badanku sangat kaku ,' pikirnya.
"Sekarang lari di treadmill lima menit, jangan dipaksa dulu," perintah Om Dedi.
Ryan naik ke treadmill. "Kayaknya gampang," pikirnya. Tapi baru dua menit, napasnya sudah berat. Kakinya mulai terasa lemah.
"Tinggal tiga menit lagi, semangat!" Om Dedi menyemangati.
'Kenapa lima menit rasanya sangat lama?' batin Ryan, berusaha bertahan.
Setelah selesai, Ryan turun dengan napas tersengal. "Wah, capek juga ya, Om."
Om Dedi tertawa. "Awal-awal memang begitu. Nanti juga terbiasa. Sekarang kita coba angkat dumbbell."
Mereka menuju area beban. Om Dedi menyodorkan dumbbell lima kilogram. "Angkat 10 kali."
Ryan mulai mengangkat. Di repetisi ketiga, tangannya mulai gemetar. "Berat juga."
"Ayo, tinggal dua lagi!" Om Dedi terus menyemangati.
Ryan menyelesaikan repetisi dengan susah payah. "Capek, Om," gumamnya sambil meletakkan dumbbell.
"Bagus! Terus latihan, nanti kuat juga," puji Om Dedi.
Saat beristirahat, Ryan memperhatikan tato anjing yang menggigit tulang di lengan Om Dedi. "Om, boleh tanya? Itu tato Om artinya apa?"
Om Dedi melirik tatonya dan tersenyum. "Ini? Dulu aku anggota kelompok kecil. Kami nyebut diri 'Anjing Jalanan'."
"Anjing Jalanan?" Ryan mengernyit.
"Iya, dulu sering nongkrong, main musik di jalanan. Tapi nggak ada yang serius," jelas Om Dedi santai.
"Oh, kupikir ada cerita seram," jawab Ryan lega.
"Haha, nggak, nggak. Cuma kenangan masa muda," kata Om Dedi. "Ayo, kita lanjut latihan."
Mereka melanjutkan beberapa latihan lagi. Setiap kali Ryan lelah, Om Dedi selalu mendorongnya. "Ayo, sedikit lagi! Kamu pasti bisa!"
Ryan tak menyangka latihan bisa seberat itu. Setelah hampir satu jam, mereka selesai. 'Capek, tapi seru juga,' pikir Ryan.
Om Dedi menepuk punggungnya. "Bagus! Jangan lupa datang besok lagi. Konsistensi itu kuncinya."
"Siap, Om. Terima kasih banyak."
Saat Ryan bersiap pergi, Om Dedi memanggilnya lagi. "Jangan lupa istirahat dan makan sehat."
"Baik, Om," jawab Ryan sambil keluar dari gym dengan perasaan lega. 'Nggak seburuk yang kukira,' pikirnya.
Perutnya mulai lapar, jadi ia berhenti di warung nasi goreng terdekat. "Mas, pesan nasi goreng spesial," katanya.
Sambil menunggu, Ryan mengecek ponselnya. Ada pesan dari Hana.
[Gimana kabarmu?]
Ryan tersenyum.
[Baru selesai latihan di GYM. Capek, tapi seru juga,] balasnya.
Pesan balasan masuk cepat.
[Baguslah! Jangan lupa istirahat ya.]
Sambil makan, Ryan merenung tentang latihan tadi. 'Besok harus lebih keras lagi,' pikirnya. 'Aku pengen berubah.'
Setelah selesai, ia membayar dan melanjutkan perjalanan pulang. Langit mulai memerah, tanda matahari terbenam.
...----------------...
Ketika lonceng kecil di atas pintu berbunyi, menandakan kepergian Ryan, Om Dedi hanya menghela napas panjang sambil mengelap peluh di wajahnya.
"Anak itu punya potensi," gumamnya, memperhatikan dari balik jendela saat Ryan menghilang di ujung jalan. "Semoga dia datang lagi."
Setelah memastikan semua peralatan gym sudah kembali ke tempatnya, ia berjalan pelan ke ruang belakang. Tempat itu sempit dan remang, hanya diterangi lampu neon yang berkedip lemah. Sebuah meja kayu tua dengan kursi yang sudah reyot berada di tengah ruangan, di atasnya terserak tumpukan kertas dan foto-foto lama yang berdebu.
Om Dedi meraih salah satu foto. Pria-pria bertubuh besar, bertato, berpose bersama di gang sempit. Tulisan 29 Dogs jelas tertera di bawah foto itu. Wajahnya berubah kelam seketika.
"Ah... masa lalu sialan," gumamnya sambil menyeka debu dari permukaan foto itu. Matanya terpaku pada salah satu sosok di foto. Beni, sahabat karibnya. Orang yang dulu selalu memimpin mereka di jalanan.
"Dedi, kapan lagi kita jalan bareng? Nggak ada yang bisa ngalahin kita!" Suara Beni tiba-tiba terngiang di kepalanya. Suara yang dulu selalu memicu semangat liar dalam dirinya, tapi sekarang hanya menambah beban di hatinya.
"Dulu semuanya terasa mudah... sekarang?" Ia tertawa pahit. "Semua berubah."
Foto itu ia letakkan kembali di atas meja, menyesakkan dada setiap kali mengingat masa-masa penuh keributan dan kebanggaan palsu. Om Dedi menghela napas berat, bangkit dari kursi. Pandangannya beralih ke cermin kecil di sudut ruangan. Bayangannya di sana terlihat jauh lebih tua dari yang ia ingat.
"Apa ini harga yang harus kubayar untuk segala kebodohan masa lalu?" bisiknya, setengah berbicara pada dirinya sendiri.
Suara lonceng pintu menginterupsi lamunannya. "Om, ada orang nggak?" Suara pemuda dari depan memanggil, membuat Om Dedi tersentak.
"Ah, tamu lagi." Om Dedi segera melangkah keluar, meninggalkan kenangan buruknya di ruang belakang.
"Selamat sore! Mau daftar jadi member?" sapanya dengan nada yang dipaksakan ramah.
Pemuda itu tersenyum tipis, kelihatan sedikit canggung. "Iya, Om. Pengen tanya soal paket latihan."
Om Dedi mengangguk. "Ayo, sini, kita bicarain." Mereka duduk di meja resepsionis, Om Dedi mulai menjelaskan berbagai pilihan program dengan nada yang sudah terbiasa ia pakai. Tapi pikirannya masih terpecah.
Setelah pemuda itu pergi, Om Dedi terdiam lagi di kursinya. Rasanya seperti sesuatu menghantamnya dari dalam, lebih berat daripada beban apapun yang pernah ia angkat di gym ini. Tatapannya kosong, mengarah ke tato di lengannya. Anjing dengan tulang di mulut, dan angka '10' di bawahnya.
"Anjing ke-10," gumamnya pelan. Dulu julukan itu terdengar keren. Sekarang, hanya menjadi pengingat betapa bodohnya ia di masa lalu.
"Ryan anak yang baik," ucapnya, setengah berharap. "Anak itu mungkin bisa selamat dari jalan yang kutempuh."
Lalu terlintas kembali obrolan mereka. "Om, boleh tanya? Itu tato Om artinya apa?"
Om Dedi melirik tatonya dan tersenyum. "Ini? Dulu aku anggota kelompok kecil. Kami nyebut diri 'Anjing Jalanan'."
"Anjing Jalanan?" Ryan mengernyit.
"Iya, dulu sering nongkrong, main musik di jalanan. Tapi nggak ada yang serius," jelas Om Dedi santai.
"Oh, kupikir ada cerita seram," jawab Ryan lega.
"Haha, nggak, nggak. Cuma kenangan masa muda," kata Om Dedi. "Ayo, kita lanjut latihan."
Tapi dalam hatinya, ia tahu itu lebih dari sekadar kenangan. Itu adalah penjara yang ia ciptakan sendiri.
Ia menatap lama ke arah pintu depan, berharap ada jawaban atas semua kebimbangannya. "Mungkin... kali ini aku bisa berbuat lebih baik," gumamnya lagi, meski di dalam hatinya ia tahu, masa lalu selalu siap untuk menghantui.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂