Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Kesalahpahaman dengan Sari
Pagi itu, Rina merasa ada yang aneh dengan dirinya. Entah kenapa, ia merasa gelisah meskipun langit tampak cerah dan udara pagi menyegarkan. Hari itu, ia harus bertemu dengan Danu setelah menerima surat cinta ketiga yang menggelitik. Surat itu penuh dengan humor, tapi juga mengandung pesan yang jelas bahwa Danu memang mengenalnya dengan baik. Bahkan lebih dari itu, seolah-olah Danu mampu membaca pikirannya lewat setiap kalimatnya. Rina merasa seperti terjebak di antara rasa penasaran dan ketakutan akan jawaban yang mungkin tak sesuai dengan harapannya.
Pagi ini, seperti biasa, Rina duduk di bangku belakang kelas, sementara Sari, sahabat terbaiknya, duduk di sampingnya sambil menyemangati dirinya untuk lebih "berani" menghadapi Danu. Sebelumnya, Sari sudah memberinya banyak sekali saran, mulai dari cara mengungkapkan perasaan, hingga cara mendekati Danu secara tidak langsung. Namun, meskipun Rina mulai merasa sedikit lebih percaya diri, masih ada perasaan takut yang mengganjal. Bagaimana jika Danu tidak merasa hal yang sama? Bagaimana jika, setelah semua surat itu, ia hanya dipandang sebagai teman biasa saja?
"Rina, jangan terlalu banyak mikir," Sari menyela lamunannya dengan suara yang sedikit lebih keras dari biasanya. "Kamu harus tanya langsung ke Danu! Udah berapa surat, sih? Itu bukan tanda-tanda biasa! Coba aja deh, tanya, siapa tahu dia nungguin kamu duluan."
Rina menoleh ke Sari dengan wajah setengah tersenyum. "Emangnya gampang ya, nanya langsung? Aku kan enggak mau kelihatan terburu-buru gitu," jawab Rina sambil meremas surat ketiga yang masih terselip di dalam tasnya. "Lagipula, kalau aku tanya, terus dia jawab enggak apa-apa, gimana?"
Sari tertawa. "Ya, lebih baik tanya kan daripada terus-terusan bingung kayak gitu. Lagian, dia juga pasti lagi nungguin kamu buat ngomong sesuatu. Jangan buang-buang waktu! Ini udah kayak drama-romantis tahun 90-an, Rina, jangan bikin penonton kecewa!" Sari menambahkan dengan semangat, membuat Rina semakin gelisah. Sari benar, sih. Kalau ditunda-tunda, kapan mereka akan tahu jawabannya?
Tapi, walau sudah diberi semangat dari sahabatnya, Rina merasa ada sesuatu yang tidak bisa dia putuskan begitu saja. Rasa takut akan penolakan yang datang dari dalam diri membuatnya ragu-ragu. “Tapi, Sari, bagaimana kalau ternyata aku salah paham? Kalau dia cuma menganggap kita teman aja, gimana?”
Sari menyeringai, meletakkan tangan di bahunya. “Rina, kamu ini selalu overthinking. Jangan takut salah paham, kamu kan sudah tahu dia yang ngirim surat itu! Kalau dia memang enggak suka, ya paling enggak kamu udah berani ngungkapin perasaanmu. Kalau dia suka, kalian bisa lanjut deh ke babak selanjutnya!”
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika bel masuk berbunyi keras, menandakan waktu untuk pelajaran dimulai. Rina menghela napas, berpikir keras. Namun, hari itu perasaan galau itu belum juga menghilang. Bahkan saat pelajaran berlangsung, pikirannya lebih sering melayang jauh, membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi jika ia benar-benar menanyakan perasaan Danu.
---
Seperti yang sudah diperkirakan, pelajaran pertama berlangsung dengan cukup membosankan. Rina lebih banyak melamun dan sesekali menulis di bukunya, meskipun itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelajaran yang sedang berlangsung. Di meja depan, Danu tampak lebih fokus dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia duduk, seolah dia sedang memikirkan sesuatu yang besar. Rina bisa merasakannya, bahkan tanpa harus melihat ke arahnya terlalu lama.
Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Danu, mencoba membaca ekspresi wajahnya, berharap menemukan petunjuk tentang perasaan Danu. Namun, Danu hanya tampak serius seperti biasanya, matanya yang tajam seolah terfokus pada papan tulis. Tidak ada tanda-tanda kegugupan atau senyuman yang sering kali ia lihat saat mereka berbicara.
Saat istirahat tiba, Rina memutuskan untuk memberanikan diri. Dengan sedikit tekad, ia berjalan ke luar kelas menuju tempat biasa di mana Danu sering nongkrong, yaitu di dekat taman sekolah. Sambil berjalan, Rina berpikir keras tentang apa yang akan dia katakan. Apakah dia akan langsung bertanya tentang surat cinta ketiga itu? Ataukah dia akan mencoba sesuatu yang lebih halus? Ternyata, memikirkan itu semua lebih sulit dari yang dibayangkannya.
Sampai di taman, Rina melihat Danu duduk di bangku, mengenakan jaket jeans yang sedikit longgar, dengan Walkman yang selalu ada di telinganya. Tanpa ragu, Rina mendekat, berusaha tampil santai meskipun hatinya berdegup kencang. Ia duduk di bangku sebelah Danu dan mencoba memulai percakapan.
“Danu, ada apa? Kayaknya kamu lagi mikirin sesuatu banget deh,” kata Rina dengan suara yang sedikit terengah-engah. Ia berharap Danu tidak terlalu memperhatikan kegugupannya.
Danu menoleh ke arah Rina, matanya sedikit terkejut, namun secepat itu ia kembali tersenyum dan melepas earphone dari telinganya. "Enggak sih, cuma mikirin tugas yang harus aku kerjain," jawab Danu sambil melirik ke buku catatannya yang terbuka di meja. “Kamu sendiri gimana, Rina? Lagi mikirin surat cinta, ya?”
Rina hampir tercekik mendengar pertanyaan itu. Sari yang sedari tadi menggodanya memang sudah benar—mungkin Danu memang tahu soal surat itu. Namun, Danu tidak terlihat canggung atau malu, malah sepertinya ia menganggapnya sebagai hal yang biasa.
“Surat cinta?” Rina melontarkan kalimat itu dengan nada sedikit geli. “Ya, mungkin. Tapi... kamu tahu enggak, Danu? Kalau ternyata aku harus lebih peka sama petunjuk yang kamu kasih, ya. Aku tuh enggak tahu kalau kaset dan surat itu, ya, petunjuk tentang perasaanmu yang sebenarnya.”
Danu tampaknya terkejut, tetapi senyum kecil mulai terbentuk di bibirnya. "Rina, kamu peka banget. Aku pikir kamu bakal lebih lama lagi baru nyadar," katanya sambil tertawa pelan. "Tapi ya, kadang-kadang kan, enggak selalu langsung ngomong kan? Lagian, enggak semua orang suka yang terlalu jelas."
Rina menatap Danu dengan bingung, tapi ada sedikit kebingungannya yang mulai hilang. "Jadi, kamu memang mengirimkan surat itu, ya?" tanyanya, berusaha memastikannya sekali lagi.
Danu mengangguk, masih dengan senyum tipis yang terlihat menggemaskan. "Iya, dan aku berharap kamu paham maksudnya," jawabnya. “Tapi kalau enggak, ya enggak masalah. Aku juga enggak mau buru-buru. Kita bisa santai aja.”
Rina merasa lega, meskipun dia masih bingung dengan cara Danu mengungkapkan perasaannya. Namun, setidaknya, dia merasa bahwa tidak ada yang perlu lagi diragukan. Ternyata, surat-surat itu memang benar-benar dari Danu. Semua pertanyaan dan keraguan yang sempat mengganggu pikirannya kini mulai menghilang.
“Jadi, kalau gitu, gimana kalau kita ngobrol lebih banyak tentang musik setelah sekolah? Aku enggak mau ngomongin surat atau tugas, deh,” kata Rina, sambil sedikit berusaha menggoda.
Danu tertawa ringan. “Deal. Tapi aku masih penasaran, ya, kenapa kamu baru sekarang nyadar soal surat itu?”
Rina tersenyum, sedikit malu. “Ya, mungkin aku butuh waktu lebih lama buat ngerti petunjuk kamu, Danu.”
Percakapan itu berlanjut dengan santai, seperti biasa. Namun, kali ini, Rina merasa lebih tenang dan bahagia. Setelah begitu banyak kebingungannya, akhirnya ia mendapatkan jawaban yang ia cari. Dan yang lebih penting, Danu, ternyata tidak pernah jauh dari hatinya.