Amora Kiyoko, seorang gadis yatim piatu yang lembut hati, menjalani hidup penuh cobaan. Ia tinggal bersama bibinya, Tessa, dan sepupunya, Keyla, yang memperlakukannya dengan kejam.
Di tempat lain, Arhan Saskara, CEO muda PT Saskara Group, tengah menghadapi masalah di perusahaannya. Sikapnya yang dingin dan tegas membuat semua orang segan, kecuali sahabatnya, Galang Frederick.
Hari itu, ia ada pertemuan penting di sebuah restoran, tempat di mana Amora baru saja bekerja sebagai pelayan.
Namun, saat hendak menyajikan kopi untuk Arhan, Amora tanpa sengaja menumpahkannya ke tangan pria itu. Arhan meringis menahan sakit, sementara Galang memarahi Amora, "Kau ini bisa kerja atau tidak?!"
Penasaran kelanjutan cerita nya, yuk ikuti terus kisahnya, beri dukungan dan votenya🙏🏻😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Up 16
Di suatu sore, di sebuah danau yang tenang, Arhan duduk di bangku kayu sambil menatap air yang berkilauan diterpa sinar matahari. Hembusan angin dingin membelai wajahnya, tetapi pikirannya tetap penuh dengan kegelisahan. Bayangan Amora terus menghantuinya, semakin menyiksa saat kesunyian melingkupinya.
“Di mana kamu, Amora?” gumamnya pelan. “Apa kamu juga memikirkan ku seperti aku memikirkan mu?”
Setahun lebih sudah berlalu sejak Amora pergi, tetapi rasa kehilangannya tak pernah berkurang. Perasaannya terperangkap di masa lalu, seakan dunia berhenti bergerak sejak hari itu. Ia meraih foto kecil di dompetnya—gambar Amora tersenyum manis, yang kini menjadi satu-satunya penghibur saat rindu menyesakkan dada.
Sementara itu, di Jepang, Amora termenung di sudut kecil kamarnya. Ia memandangi layar ponselnya, yang masih menyimpan foto kebersamaan mereka berdua. Tatapan matanya nanar, seolah melawan kenyataan yang terus melukainya.
“Kenapa aku tidak bisa melupakanmu, Kak?” bisiknya dengan suara bergetar. “Harusnya aku bisa... Kamu pasti bahagia sekarang bersama istrimu. Lalu kenapa aku masih berharap?”
Air matanya perlahan menetes, membawa rasa sakit yang belum juga mereda. Ia memejamkan mata, mencoba membangun tembok antara dirinya dan kenangan masa lalu, tetapi hati kecilnya masih lemah menghadapi nama itu—Arhan.
Di kantor, suasana terasa menegang ketika Rara memaksa masuk menemui Arhan.
“Tuan muda, Nyonya Rara ada di bawah, memaksa ingin bertemu,” lapor asistennya.
“Jangan biarkan dia masuk. Usir dia,” jawab Arhan tegas.
“Tapi, Tuan...”
“Lakukan atau saya pecat!”
Asisten itu akhirnya pergi untuk menyampaikan perintah Arhan. Namun, Rara, seperti biasa, tidak mudah menyerah. Ia melangkah masuk dengan memaksa, menerobos semua halangan.
“ARHAN!” panggil Rara, suaranya penuh emosi.
Arhan menatap ibunya dengan sorot dingin. “Bukankah saya sudah bilang jangan pernah menampakkan diri di hadapan saya lagi?”
Rara mendekatinya. “Arhan, kenapa kamu bersikap seperti ini? Aku ini mamamu.”
Arhan tertawa hambar. “Mama? Pantaskah Anda disebut mama? Hahaha. Mama saya sudah mati. Mama saya tidak akan pernah berbuat selicik Anda.”
Rara terdiam, wajahnya pucat. “Maafkan Mama, Nak. Mama tahu Mama salah. Tapi tolong, beri Mama kesempatan.”
“Kesempatan? Apa kata maaf bisa mengembalikan Amora? Apa kata maaf bisa mengembalikan calon anak saya, yang harus pergi sebelum sempat lahir? Karena egoisnya Anda, semuanya hancur!”
Air mata mulai mengalir di pipi Rara. “Arhan, maafkan Mama...”
“Pergi!” bentak Arhan. “Saya tidak ingin melihat wajah Anda lagi.”
“Tapi, Nak...”
“Pergi, atau saya akan suruh satpam menyeret Anda keluar!”
Rara akhirnya mundur, menahan isakannya. “Mama akan pergi, Arhan. Tapi tolong, jaga dirimu baik-baik. Bagaimanapun, Mama tetap menyayangimu.”
Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Arhan yang masih berdiri dengan rahang mengeras.
Galang yang tadi menyaksikan kejadian itu dari kejauhan, masuk ke ruangan dengan hati-hati. “Tuan, saya tadi melihat...”
“Jangan bahas itu.” Arhan memotongnya dingin.
“Maaf, Tuan. Oh ya, apa jadwal hari ini masih ada?”
Arhan menggeleng. “Tidak. Bagaimana persiapan untuk perjalanan ke Jepang?”
“Sudah siap, Tuan. Apartemen Anda di sana juga sudah dibersihkan.”
“Bagus. Saya akan pergi sebentar. Urus semua yang perlu.”
“Baik, Tuan.”
Setelah meninggalkan kantornya, Arhan melajukan mobilnya menuju danau favoritnya. Tempat itu adalah pelarian yang selalu ia pilih ketika pikirannya penuh. Ia duduk sendirian di bangku kayu, membiarkan angin membawa setiap desah napasnya yang berat.
Ia kembali meraih foto Amora, memandangnya lama. “Amora... aku tahu aku telah gagal menjagamu. Tapi kumohon, kembalilah. Aku masih mencintaimu, selalu...”
mohon dukungan like dan vote nya 🙏🏻😁