Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Aku berdiri di tengah taman yang gelap, sendirian. Kata-kata Adi masih menggema di kepalaku, semakin membuatku yakin bahwa aku sudah terlalu lama terjebak dalam kebohongan yang Dion ciptakan. Keputusan yang harus kuambil sudah jelas. Aku tak bisa lagi bertahan dalam kehidupan penuh tipuan ini, apalagi setelah mengetahui bahaya yang mengancam nyawaku.
Malam itu, saat aku pulang ke rumah Dion, aku sudah tahu apa yang akan kulakukan. Tak ada lagi keraguan dalam hatiku. Semua kenangan yang pernah kuanggap indah bersama Dion kini hanya seperti bayangan kelam yang menghantuiku. Aku sudah lelah berpura-pura menjadi istri yang baik di mata keluarganya, lelah melawan ibunya yang terus merendahkanku, dan yang paling menyakitkan, lelah dikhianati oleh orang yang seharusnya melindungiku.
Aku berjalan perlahan menuju kamar tidur kami, mengambil koper besar dari lemari untuk memasukkan sisa -sisa barangku yang belum terbawa kemarin. Tanpa ragu, aku mulai memasukkan pakaianku, barang-barang penting, dan beberapa dokumen yang masih tertinggal sebelumnya. Aku tak akan tinggal di sini lebih lama lagi. Hubungan ini sudah berakhir, meskipun Dion mungkin belum siap mengakuinya. Sambil membereskan barang-barangku, pikiranku terus berputar, membayangkan bagaimana reaksinya nanti ketika ia tahu aku akan meninggalkannya. Tapi apa pun yang akan terjadi, aku harus tetap kuat.
Beberapa saat kemudian, Dion pulang. Suara langkah kakinya terdengar di ruang tamu, diikuti dengan panggilan namaku. "Kirana? Kamu di mana?"
Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan diriku sebelum akhirnya keluar dari kamar, menemui Dion yang berdiri di ruang tamu dengan wajah bingung. Dia menatapku sejenak, lalu melihat koper yang sudah kugulung di sampingku. "Kirana, kamu mau ke mana?"
Aku menatapnya tajam. “Aku pergi, Dion. Dan aku nggak akan kembali. Aku sudah cukup.”
Dion tampak terkejut. "Apa maksudmu? Ini semua tentang apa?"
Aku mendekatinya, mencoba menahan kemarahan yang sudah lama kutahan. “Tentang apa? Tentang semua kebohonganmu, Dion. Tentang bagaimana kamu menyembunyikan masalahmu, bagaimana kamu membohongiku soal ketidakmampuanmu punya anak, dan sekarang, soal hutangmu dan masalah dengan mafia. Kamu menempatkanku dalam bahaya. Dan kamu tidak pernah sedikit pun berpikir untuk melindungiku.”
Dion mencoba mendekat, suaranya terdengar memelas. “Kirana, tunggu... aku bisa jelaskan. Ini semua hanya kesalahpahaman...”
Aku memotong ucapannya dengan tegas. “Kesalahpahaman? Kamu pikir ini semua bisa diselesaikan dengan satu penjelasan? Kamu sudah membohongiku selama bertahun-tahun. Dan sekarang, aku yang harus membayar harga dari semua kebodohanmu. Aku sudah cukup, Dion. Aku akan menggugat cerai.”
Wajah Dion berubah pucat. Dia tampak tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. “Cerai? Kamu nggak bisa serius, kan? Kirana, kita bisa perbaiki semuanya. Kita bisa cari jalan keluar.”
Aku menggeleng, air mata mulai menggenang di sudut mataku, tapi aku menahannya. “Tidak, Dion. Kamu yang memutuskan jalan ini, bukan aku. Dan sekarang, aku harus melindungi diriku sendiri.”
Tanpa memberi kesempatan lebih lanjut, aku mengambil koperku dan berjalan menuju pintu. Dion memanggilku sekali lagi, namun aku tak menghiraukannya. Kali ini, aku tak akan mundur. Aku sudah mengambil keputusan, dan aku akan bertahan dengan keputusan itu. Aku meninggalkan rumah Dion dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, hatiku hancur karena pernikahan yang kukira bisa bertahan ternyata berakhir dengan begitu menyakitkan. Di sisi lain, aku merasa beban besar perlahan terangkat dari pundakku.
Beberapa jam kemudian, aku tiba di rumah orang tuaku. Mereka menyambutku dengan kehangatan, meskipun ada kekhawatiran di mata mereka. Ibu segera memelukku erat-erat, sementara Ayah hanya menatapku dengan sorot mata yang seolah tahu aku sedang terluka. Aku mencoba tersenyum, tapi air mata itu tak bisa lagi kutahan. Malam itu, aku menceritakan segalanya pada mereka—tentang Dion, keluarganya, kebohongan-kebohongan yang selama ini kusembunyikan. Ibu mendengarkanku dengan penuh perhatian, sesekali membelai rambutku dengan lembut, sementara Ayah hanya diam, menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca.
“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nak,” ucap Ibu akhirnya. “Kalau ini yang terbaik untukmu, kami akan mendukung.”
Aku mengangguk, merasakan kelegaan yang tak bisa kujelaskan. Setidaknya sekarang aku tidak sendiri. Aku memiliki orang tuaku yang selalu ada di sisiku, meskipun dunia di luar sana seolah ingin menjatuhkanku.
Hari-hari setelahnya, aku mulai membereskan semua urusan perceraian dengan Dion. Pengacara sudah kusiapkan, dan proses gugatan mulai berjalan. Dion sempat menghubungiku beberapa kali, mencoba membujukku untuk kembali, tetapi aku sudah bulat dengan keputusanku. Setiap pesan yang masuk darinya hanya semakin memperkuat keyakinanku bahwa pernikahan ini tidak bisa diselamatkan. Aku harus melanjutkan hidup tanpa dia.
Namun, di balik semua proses yang sedang berjalan, ada perasaan aneh yang terus menghantuiku. Pesan misterius itu, pesan yang mengatakan ada sesuatu yang lebih besar dari yang aku tahu, masih membuatku resah. Aku belum tahu siapa pengirimnya, dan aku juga belum tahu apa yang lebih besar dari kebohongan tentang hutang Dion.
Suatu hari, ketika aku sedang duduk di meja makan bersama Ibu dan Ayah, ponselku kembali bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sama seperti sebelumnya.
“Kamu sudah membuat keputusan yang benar. Tapi ada satu hal lagi yang harus kamu ketahui, Kirana. Ini belum selesai.”
Jantungku berdegup kencang saat membaca pesan itu. Apa maksudnya ini belum selesai? Semua ini seharusnya sudah berakhir. Aku sudah keluar dari pernikahan itu, sudah meninggalkan Dion. Namun pesan ini... seolah memberitahuku bahwa masih ada sesuatu yang lebih besar yang belum terungkap.
Sebelum aku bisa memikirkan lebih jauh, ponselku bergetar lagi. Sebuah gambar muncul di layar—foto Dion dengan seorang wanita yang tampak akrab. Mereka terlihat sedang berbicara serius di sebuah tempat yang tidak kukenali. Wanita itu terlihat lebih muda, dengan wajah yang tidak asing, seolah aku pernah melihatnya di suatu tempat.
Dan kemudian, pesan itu muncul lagi.
“Wanita ini adalah kunci dari semua kebohongan Dion. Temui dia jika kamu ingin tahu yang sebenarnya.”
Aku menatap layar ponsel itu dengan perasaan tertegun. Siapa wanita ini? Dan apa yang dia tahu tentang Dion? Seketika, semua keputusan yang sudah kupikirkan matang-matang kini terasa goyah. Apakah aku benar-benar sudah tahu semua yang perlu kuketahui? Ataukah ada rahasia lain yang lebih mengerikan yang masih tersembunyi? Perasaanku terombang-ambing antara ingin melupakan semuanya dan menggali lebih dalam.