Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Untung saja, Mira tidak ujug-ujug mengunjungi rumahnya. Karyawan bagian personalia memberi tahu bahwa Pram saat ini tengah di rawat di rumah sakit.
Wanita itu kini berjalan sedikit buru-buru di selasar rumah sakit. Ida dan seorang pengawal pria tampak agak kesulitan menyamai langkah Mira.
Mau tak mau, Mira menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, sang Nyonya Sosialita itu kini tengah berada di kawasan ruang inap kelas tiga. Penampilannya begitu mencolok diantara orang-orang di sekitar. Namun Mira tampak sama sekali tak memedulikannya.
"Buk, gimana keadaan Mas Pram sekarang?" Mira segera mendekati Ibu Pram begitu melihat sosok wanita tua itu tengah duduk di salah satu kursi tunggu.
Asih tampak bingung. Wanita berusia kisaran kepala enam itu bangkit dari tempat duduknya. Dengan mata tuanya, ia memindai Mira, dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Maaf, siapa ya? Kok bisa kenal anak saya?"
Detik itu juga, Mira baru menyadari kesalahan yang dibuatnya karena terlalu panik.
"Oh ya, maaf. Saya lupa memperkenalkan diri. Saya atasan Pramana di kantor, Bu. Anda ibunda dari Pramana, kan? Wajahnya mirip banget."
"Masa? Dari kecil, semua orang bilang Pram mirip ayahnya."
Iya juga, sih...
Mira menggaruk kepalanya, meski tidak gatal.
"Beberapa hari lalu, kondisinya sempat drop. Tapi sekarang sudah membaik."
"Boleh saya tahu, dia sakit apa, Bu?"
"Kata dokter kecapekan. Sejak istrinya meninggal, Pram sering terlihat murung. Dia seperti kehilangan semangat hidup. Makan yang biasanya porsi kuli, sekarang jauh berkurang, katanya masakannya gak seenak masakan istri. Padahal kerja terus dari pagi buta sampai tengah malam. Saya sedih melihat dia seperti itu."
***
Ruangan itu terasa pengap. Setiap ranjang pasien hanya dipisahkan tirai yang kainnya sedikit lusuh. Jangankan AC, kipas angin saja hanya terdapat di ujung ruangan yang letaknya jauh dari tempat tidur Pram.
Di tengah suara kipas yang berdecit itu, Mira hanya terdiam menatap Pram yang masih terlelap. Matanya berkaca-kaca sambil terngiang ucapan Asih tadi.
Gimana mau nyari pengganti, hari-hari Pram cuma kerja, kerja dan kerja. Sekarang dia hanya memikirkan anak semata wayang mereka yang masih 9 tahun.
Mira menggigit bibir bawahnya. Rupanya hal yang sempat ia lihat di pelataran parkir tempo hari itu, hanyalah sebuah kesalahpahaman.
Pram tetaplah seorang pria yang setia dan bertanggungjawab. Kekurangannya hanya satu: uang.
Pram mulai membuka mata.
Buru-buru, Mira menghapus air matanya.
"Loh Nyonya Mira sejak kapan ada di sini?"
Pria itu tampak berusaha duduk ketika melihat keberadaan Mira.
Mira ingin membantu. Namun belum sempat berdiri, Asih mendahuluinya.
"Dia atasan kamu, Pram?"
"Bukan cuma atasan, Bu. Beliau ini yang punya perusahaan tempatku bekerja."
Mata Asih tampak terbelalak. Ia lantas berbisik, "Waduh, orang kaya dong, Pram? Ibu kira dia cuma kepala keamanan di kantormu tadi. Pantesan Ibu bisa cium aroma duit, Pram."
Pram memberi isyarat pada Asih untuk meninggalkan mereka.
Wanita tua itu pun menurut.
"Maafkan Ibu saya, Nyonya. Beliau sama kayak saya tempo hari, gak ngenalin Nyonya."
"Gak apa-apa. Oh ya, saya ke sini cuma mau memberikan ini. Santunan dari yayasan."
Mira menyodorkan amplop coklat berisi sejumlah uang.
"Wah, terima kasih banyak, Nyonya Mira. Nyonya gak harus repot-repot datang langsung kemari."
"Kebetulan aja ada acara di sekitar sini, jadi saya mampir..."
"Mas Pram! Tolongin aku!"
Suara seorang wanita yang muncul tiba-tiba itu sangat tidak asing di telinga Mira. Begitu menoleh, benar dugaannya. Itu Dian. Si adik ipar yang selalu menyusahkan.
"Dian, jangan berisik. Mas Pram lagi ada tamu," sergah Asih yang masuk menyusul Dian. "Ini Dian, adiknya Pramana. Perkenalkan diri kamu sama bosnya Mas Pram tuh."
"Halo, saya Mira."
"Wah, namanya kayak nama istrimu, Mas!"
Mira sedikit gugup mendengarnya.
Pram memberi isyarat pada Dian untuk berhenti bicara. Tapi tampaknya wanita itu tak peduli.
"Ah sudahlah! Aku tak punya banyak waktu untuk basa basi sekarang. Aku butuh bantuanmu sekarang, Mas!"
"Kamu gak lihat gimana kondisiku sekarang?"
"Tapi ini darurat--"
Belum juga Dian merampungkan kalimatnya, tirai kamar Pram terbuka dengan kasar. Dua pria bertubuh tegap dengan tato di beberapa bagian tubuhnya, tampak mendekat.
"Dicari-cari ternyata kamu sembunyi di sini!" Teriakan si kumis tebal, membuat semua orang di ruangan tersentak.
"Lepaskan!" Dian berontak ketika kedua pria itu memegang lengannya di kanan dan kiri.
"Siapa kalian? Lepaskan dia! Tolong jangan buat keributan di sini!"
"Kamu siapanya wanita ini?"
"Kakaknya."
"Dia punya tunggakan hutang, sudah tiga bulan! Jadi kami harus bawa dia ke Bos, karena dia berusaha kabur terus."
Disaat Pram dan Asih kaget, Mira tidak begitu. Selama ini, Dian diam-diam meminjam uang pada kakak iparnya itu untuk membayarkan tagihannya. Hanya pinjam, tak dibayar.
Sampai tiga bulan lalu, Mira menolak dengan tegas untuk memberinya pinjaman lagi. Jadi tak heran bila menunggak.
"Tunggu!" seru Pram dari atas ranjang pasien. "Kalian boleh bawa uang ini. Tapi jangan apa-apakan adik saya."
Pria berjaket kulit menarik kasar amplop coklat yang tadi diberikan Mira itu. Ia lantas membuka isinya dan mulai menghitung.
"Ini kami terima, tapi adikmu tetap kami bawa karena jumlahnya masih kurang banyak."
Suasana semakin ribut.
Yang satu, ingin menahan. Yang satu lagi, ingin membawa.
Asih berusaha menahan Dian dengan sisa kekuatan tubuh rentanya, dibantu seorang perawat yang baru tiba.
Beberapa penunggu pasien lain tampak mendekat hanya untuk menonton situasi yang chaos itu.
Pram sampai akan turun dari tempat tidur...
"Berapa total hutangnya? Saya lunasi semua!"
Suasana hening seketika, mendengar teriakan Mira.
***
"Saya gak tahu lagi gimana caranya berterima kasih. Nyonya sangat baik sama saya."
Suasana kamar kembali kondusif. Penagih hutang sudah pergi. Asih dan Dian tengah mengobrol dengan Ida di kursi tunggu di depan. Sementara Pram sudah terduduk tenang di atas ranjangnya.
"Balaslah dengan menjadi sehat, lebih peduli dengan diri sendiri. Kalau kecapekan, istirahat. Jangan menyiksa diri."
Pokoknya kamu harus panjang umur buat Lula, Mas...
Pram tersenyum.
"Maaf sekali kalau saya lancang, Nyonya. Tapi kata-kata Nyonya membuat saya teringat mendiang istri saya."
Deg.
Tak sanggup berlama-lama lagi, Mira bangkit berdiri. "Ya sudah, saya pulang dulu. Semoga bisa cepat pulang dan kembali bekerja ya?"
Pram mengangguk.
"Nyonya Mira..."
Mira yang sudah hendak pergi, berhenti dan menoleh.
"Saya pasti akan balas budi. Pasti. Pegang kata-kata saya."
Mira hanya menarik kedua sudut bibirnya, lalu segera berlalu tanpa sepatah kata lagi.
***
"Mbak Mira, terima kasih atas bantuannya," ucap Dian.
Saat akan pulang dari rumah sakit tadi, Asih meminta Mira untuk berbicara dengan Dian sebentar.
Awalnya Mira tak mau. Tapi kemudian, wanita itu berubah pikiran. Tampaknya bukan hal buruk mengobrol sebentar dengan adik iparnya itu.
Jadi di sinilah mereka berada sekarang. Duduk di kursi taman rumah sakit.
"Sebaiknya kamu berhenti berhutang," kata Mira tanpa tedeng aling-aling.
Dian tampak gelabakan. "S-saya gak pernah berhutang sebelumnya--"
"Berapapun penghasilan suami, aturlah dengan baik. Meski tidak banyak, tapi cukup untuk biaya hidup. Gak perlu gaya-gayaan demi gengsi, sampai harus nyusahin saudara sendiri. Hiduplah apa adanya. Kasihan ibumu sudah tua, kakakmu bekerja menghidupi anaknya dengan gaji tak seberapa."
Dian melongo.
Apa dia cenayang? Kenapa dia lebih tau tentang hidupku dibanding aku sendiri?
"Paham gak?!"
"P-paham, Mbak Mira."
"Panggil saya 'Nyonya'. Saya bukan 'Mbak Mira' mu yang bodoh dan selalu mengalah hanya karena sungkan dengan ibu dan suaminya itu!"
Mira bangkit dari kursi taman. Ia lantas berlalu sambil menghembuskan napas kuat-kuat. Uneg-unegnya selama 10 tahun itu akhirnya terlampiaskan juga.
Tubuh Mira terasa sangat ringan sekarang.
***