Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Tangan mungil itu menengadah. "Ya Allah... Adel ingin Ate Lumi menjadi Mama aku" Adel meraup wajahnya seperti orang dewasa.
"Aamiin..." ucap anak-anak mendengar doa Adeline.
Daaarr...
Wajah Arumi seketika merah, rasanya ingin bersembunyi tetapi sudah terlanjur menjadi tontonan. Jika hanya anak-anak kecil itu yang mendengar, Rumi tidak terlalu risau. Namun, Rose, Xanders, Davin, dan keluarga besar Xanders entah seperti apa wajah-wajah konglomerat itu. Mungkin saja bibirnya mencibir lantaran Arumi hanya pekerja rendahan yang tidak ada pantas-pantasnya berdekatan dengan mereka apa lagi sampai menjadi istri Davin. Rumi tidak berani untuk menatap mereka.
"Ya ampun... Adeline, kenapa kamu membuat malu Tante sayang..." batin Arumi, melirik Adel yang masih dalam gendongan Derman. Anak itu bukan berpikir justru tersenyum kepada Rumi.
Sementara di deretan kursi keluarga besar Xanders, kuping seorang wanita panas mendengar doa Adeline. "Kok Adel berdoa begitu sih Kak, pasti Adel sudah dipengaruhi pesuruh itu supaya bisa ikut mencicipi harta keluarga Xanders" cerocos Malika menggoyang-goyang lengan Davin yang tidak memberi tanggapan saudara sepupunya itu.
"Opa... Oma, tadi dengel Adel nyanyi nggak" celoteh Adeline tiba-tiba saja sudah berada di hadapan keluarga Xanders duduk di pangkuan Rose.
"Bagus dong, cucu Oma gitu loh" Rose tertawa mencium pipi cucunya lembut. Mendengar langkah kaki, nenek mengangkat kepala rupanya Rumi mengikuti Adel.
"Permisi Tante" Rumi memberanikan diri mengikuti Adel, sebenarnya malu untuk berhadapan dengan keluarga Xanders tetapi Adeline memaksa.
"Duduk Nak" Rose menunjuk tempat duduk di sebelahnya.
Sementara Malika melengos sebal melihat wanita di belakang Adel. "Mau apa dia ikut kesini" ketus Malika tetapi hanya di dengar Davin seorang.
"Sekarang acaranya sudah selesai, Adel ganti baju sama bibi dulu" titah Rose ketika merangkul bahu Adeline baju yang dia kenakan basah dengan keringat.
"Iya Oma" Adel dituntun wanita berseragam pelayanan rumah itu masuk ke dalam.
"Om... Tante... kalau gitu kami pulang dulu" Arumi akhirnya izin pulang, tidak mau lama-lama di tempat itu karena sudah terlalu risi.
"Nggak nunggu Adel dulu Rum" Rose khawatir cucunya ngambek lagi.
"Salam saja untuk Adel Tante..." Rumi menjabat tangan kedua orang tua Davin. Menatap Davin sekilas yang tengah asik dengan hape di tangan, kemudian berpaling kepada Malika yang bergelayut manja di lengan Davin..
Arumi menarik tangan Anjani kemudian menjalankan motornya tidak mau menoleh lagi. Sebenarnya ia tidak tega pulang tanpa sepengetahuan Adel, tetapi jika izin Adel bisa-bisa tidak bisa pulang.
"Hahaha... Nyonya Davin..." sepanjang perjalanan Anjani menggoda Arumi, hingga tiba di dalam kost.
"Apa sih kamu An? Nggak jelas" Arumi mendengus setelah menyangkutkan helm di atas motor, kemudian merogoh kunci kamar memasukkan ke lubang kunci.
"Gue tadi ikut aminkan doa Adeline Rum, semoga loe bisa menjadi Nyonya Davin" tulus Anjani, ia merasa cocok sekali jika sahabatnya itu menjadi istri bos.
"Kata-kata anak kecil kamu dengerin, An" Arumi ngeloyor masuk setelah pintu terbuka. Walaupun sebenarnya Arumi pun kadang dibuat bingung dengan kata-kata Adel yang seperti orang dewasa.
"Yah, anak kecil yang bagaimana dulu dong Rumi, Adel itu Ketu" Anjani mengikuti Rumi.
"Apa itu Ketu?" Arumi berhenti menatap sahabatnya.
"Ketu: Kecil-kecil tua" Anjani tertawa, diikuti Rumi.
Arumi melempar tas slempang di tempat tidur lalu ke kamar mandi. Dalam perjalanan Arumi masih bingung mengapa Adel itu bisa berpikir sejauh itu. Padahal biasanya anak umur tiga sampai empat tahun belum bisa memahami apa itu rumah tangga. Bisa saja Adel menginginkan dirinya menjada Ibu, besok entah menginginkan siapa lagi.
**************
"Ateee... Adel mau ikut Ate... kenapa pelgi nggak bilang-bilang"
Di kediaman Xanders semua kebingungan menenangkan Adel yang menjerit-jerit di gendongan Davin karena Arumi pergi tidak memberi tahu dirinya.
"Sekarang Adel bobo siang sama Papa, besok di kantor bisa ketemu Aunty" ucap Davin yang menjaga keseimbangan agar tidak jatuh karena Adeline meronta-ronta dalam gendongan.
"Nggak mau besyok... mau sekalang. Hu aaa..." Adeline menangis lebih keras lagi tidak mau mendengar saran siapapun.
"Sama Aunty saja yuk... kita buka kado" Malika yang selama ini tidak pernah dekat dengan Adel pun sok akrab karena tidak ingin Davin jatuh ke pelukan Arumi.
"Nggak mauuu... Ate Lika suka galak" jujur Adeline. Adel sudah cukup mengerti bahwa Malika selalu tidak sabar jika Adel ingin sesuatu. Namun, Malika selalu berpura-pura baik jika di depan Davin. Itulah alasannya mengapa Adel memilih ikut Davin ke kantor ketika di rumah ada Malika.
"Nggak bisa kamu telepon apa Dav" saran Rose tidak tega melihat cucunya menangis seperti itu.
"Aku tidak tahu nomor handphone wanita itu Ma" Davin kesal sekali kepada Rumi, sengaja pergi saat Adel sedang ganti pakaian.
"Sebaiknya Adel kamu ajak ke luar dulu Dav" Xanders yang sejak tadi diam pun angkat bicara.
"Sekarang Adel diam dulu kita cari Aunty" Davin terpaksa menemui Derman agar memanaskan mobil. "Kita ke kantor Der" perintah Davin ketika sudah berada di dalam mobil mengusap-usap kepala Adel.
"Ke kantor Bos?" Dirman menoleh sekilas, pasalnya hari minggu di kantor sudah pasti sepi.
"Ikuti saja apa kata saya" sentak Davin.
"Baik Bos" Derman tidak mau membantah lagi melanjutkan perjalanan dengan mobil mewah itu ke kantor, tentu saja tidak ingin kena damprat bos untuk yang kedua kali.
Tiba di kantor, Davin menyuruh Derman mencari data karyawan. Sebenarnya bisa saja ia melakukan di ruang kerja rumah, tetapi mengajak Adel keluar adalah jalan satu-satunya agar putrinya itu berhenti menangis.
"Kantol libul Pa, tidak ada Ate disini" protes Adel, ketika tidak ada siapapun selain satpam yang jaga. Anak itu memang kemampuan berpikirnya di atas rata-rata.
"Kita cari alamat Ate dulu" Davin menurunkan Adel di kamar ruang kerja kantor.
"Cali alamat bukan di kantol Papa" Adel menangis lagi walaupun pelan. Menurutnya sang papa aneh.
"Om Derman lagi cari data karyawan dulu sayang..." Davin selalu sabar menghadapi putrinya yang kadang pikirannya melebihi pikiran orang dewasa. Adel pun akhirnya diam, tangannya menarik boneka yang tertata di tempat tidur.
"Saya sudah menemukan alamat Arumi Bos" Derman masuk sambil membawa kertas.
"Di mana?" Davin segera beranjak dari tempat tidur mini itu.
Derman menunjukkan data Arumi Meidina. Lahir: Kota Semarang, domisili Jakarta dan serentetan alamat lengkap rt rw dan lain sebagainya.
"Kita datangi alamat ini sekarang" tegas Davin.
"Baik Bos" Derman menuju alamat tersebut hingga tiba di depan kos tetapi berpagar tinggi.
"Ateee...
...~Bersambung~...