[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 | Zeeya Ditangkap
Aku menghampiri seseorang yang memanggilku di depan kelas. “Ha? Kenapa aku dipanggil ke ruang guru?” tanyaku kebingungan.
“Tidak tahu. Semua guru menunggumu di sana,” jawabnya sambil mengangkat bahu.
“Baik, aku akan segera ke sana,” kataku, meski perasaanku semakin tidak enak.
Tiba-tiba, aku teringat perkataan Reega yang membuatku semakin cemas. Ada apa aku tiba-tiba disuruh ke ruang guru? Jika mereka ingin menanyakan tentang kejadian semalam, seharusnya Hana lah yang lebih tahu dibandingkan aku. Pikiran itu membuatku kembali ke bangkuku, berusaha menenangkan diri.
“Loh? Kamu nggak ke ruang guru, Zee?” tanya Nisa yang duduk di sampingku.
“Nanti saja lah. Aku lagi kurang enak badan, Nis,” kataku sambil menidurkan kepalaku di atas meja.
“Kamu jangan gitu! Guru-guru pasti sudah menunggu.” Nisa berusaha membujuk, menarik lenganku dan mengajakku ke ruang guru.
“Tu-tunggu ...” aku menolak, aku ingin berada di kelas, perasaanku benar-benar tidak enak.
“Biar aku temenin kamu, Zee.”
Aku tahu Nisa tidak akan membiarkanku pergi sendirian. Dengan sedikit rasa enggan, akhirnya aku setuju untuk pergi ke ruang guru. Namun, ucapan Reega yang menyuruhku untuk tetap di dalam kelas menghantui pikiranku. Biarlah, aku kan cuma ke ruang guru.
‘Zeeya, Kembali! Kamu harus tetap berada di kelas.’
Aku berbalik badan setelah mendengar suara itu. Reega, saudara kembarku dan aku dapat berbicara di dalam hati ketika kami merasa sangat khawatir dengan satu sama lain. Seperti telepati.
“Ada apa, Zee?” tanya Nisa saat aku membalikkan badan.
“Oh, nggak papa.” Aku lanjut berjalan ke ruang guru.
.........
Sesampainya di depan ruang guru, kami berdua terkejut melihat banyak orang dengan seragam polisi. Entah apa yang terjadi di sana. Aku kira sekolah berusaha menutupi kejadian semalam. Rupanya tidak.
“Kenapa ada banyak polisi di ruang guru?” tanyaku dengan nada khawatir.
“Entah,” Nisa menjawab sambil menggeleng, wajahnya menunjukkan ekspresi bingung yang sama denganku.
Kami berdua memberanikan diri untuk masuk. Begitu melangkah ke dalam, suasana mendadak hening. Pak Kurnia beserta para guru lainnya sedang berbincang serius dengan para polisi. Entah kenapa aku merasakan ketakutan yang tidak jelas.
“Zeeya, Anda ditangkap.” Salah satu dari polisi mendekatiku dengan suara datar dan penuh tekanan.
Nisa membelaku. “Tapi pak, Zeeya tidak bersalah …”
“Nisa, lebih baik kamu kembali ke kelas. Kamu tidak ada hubungannya dengan kami,” ucap pak Kurnia.
“Pak, saya tidak akan meninggalkan Zeeya sendirian!” Nisa bersikeras, dia meraih tanganku.
“Aku akan baik-baik saja, Nis. Kembali saja ke kelas,” kataku, berusaha memberikan senyuman yang meyakinkan, meskipun jantungku sekarang berdegup kencang.
Dengan berat hati, Nisa hanya bisa mengiyakan untuk meninggalkanku di ruang guru.
“Saya ditangkap? Apa saya adalah saksi atas kejadian kemarin?” tanyaku kebingungan, mencoba menahan suaraku yang bergetar.
“Tidak. Kamu adalah tersangka pada insiden kemarin. Kami memiliki bukti bahwa kamu terlibat dalam penikaman teman sekelasmu, Hansel Gerald,” jawab polisi itu.
“Apa?! Bukan saya yang menikamnya. Saya hanya membawanya ke rumah sakit …” aku ingat siapa orang yang bertanggung jawab atas hal ini, “... Sarah! Sarah yang telah menikam Hansel, Pak …”
Kedua polisi di hadapanku saling bertatapan. “Siapa Sarah? Lagi pula kami memiliki bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa kamu adalah tersangka.”
“CCTV di depan sekolah merekam dirimu keluar dalam keadaan penuh darah,” polisi yang lain melanjutkan, matanya menatapku tajam, “kami perlu membawamu ke kantor polisi untuk diinterogasi lebih lanjut.”
Tunggu! CCTV di depan sekolah berfungsi? Jadi selama ini masih ada CCTV yang menyala. Pasti benda itu merekam sopirku yang membawa Hansel ke dalam mobil. Juga Sarah yang keluar masuk ke sekolah beberapa kali.
“Apa Bapak sudah mengeceknya dengan benar? Seharusnya, sebelum saya dan sopir saya membawa Hansel ke rumah sakit, ada rekaman orang mencurigakan yang masuk ke sekolah.” Aku tetap mencoba untuk membela diri.
“Tidak ada rekaman lain yang mencurigakan,” jawab polisi itu, mengabaikan pembelaanku, “kami akan mendengarkan pernyataanmu di kantor polisi.”
“Benarkah? Tapi seharusnya teman saya yang mengejar Sarah juga terekam CCTV.”
Aku menatap pak Kurnia memelas, “Pak, tolong panggil Hana juga ke mari. Dia yang mengejar Sarah …”
Pak Kurnia tidak menjawab. Dia per paling dari tatapan melasku. Sudah jelas sekali, sekolah tidak ingin melibatkan Hana karena orang tuanya merupakan donatur utama di sekolah ini.
“Tidak mungkin! Orang yang menyerahkan rekaman ini sedang berada di sekitar sekolah saat insiden berlangsung. Dia mengatakan tidak ada siapa-siapa di sekolah kecuali dua orang, seorang siswa dan seorang siswi. Ayo, tidak usah berlama-lama!”
Mereka membawaku keluar dari ruang guru dan menuju ke mobil polisi. Pikiranku melayang kembali pada kejadian kemarin. Hansel, dia masih belum sadarkan diri. Polisi seharusnya menunggunya siuman dan meminta keterangannya sebelum menangkapku. Kenapa semuanya bisa berakhir seperti ini?
.........
Begitu kami tiba di depan gerbang sekolah, tiba-tiba seorang lelaki muncul dari dalam sebuah mobil mewah, papa! Aku tidak menyangka papa datang ke sekolahku. Dengan langkah cepat, ia melangkah mendekatiku, wajahnya menunjukkan ketegasan dan kemarahan.
“Zeeya!” teriaknya mendekat dengan penuh khawatir, “kamu tidak apa-apa, Nak?”
Papa memelukku dengan erat. Aku sedikit merasa lega, meski tidak sepenuhnya. Ada papa di sampingku sekarang. Aku aman.
“Papa ... Papa tau aku tidak melukai temanku, kan? Aku takut, Pa …” aku terisak, air mataku berjatuhan.
“Apa kalian memiliki surat penangkapan?” tanya papa dengan tegas kepada polisi yang menangkapku.
Semua polisi tampak ragu, salah satu dari mereka menjawab, “tidak. Tapi kami memiliki bukti yang cukup kuat untuk menyatakan anak Anda bersalah.”
“Anak saya tidak bersalah. Saya akan mengurus pengacara dan saya punya bukti lain untuk menyatakan bahwa tuduhan kalian itu tidak benar.”
Polisi itu terkejut. Keluarlah seseorang dari dalam mobil papa.
Papa melanjutkan, “seorang saksi, sopir yang mengantar Hansel ke rumah sakit. Dia juga tertangkap dalam CCTV saat menggotong Hansel ke dalam mobil. Bapak seharusnya memastikan lagi.”
“Anda yakin?” polisi itu meragukan ucapan papa dan memandang sopir pribadiku dengan remeh.
Sopir pribadiku lantas membuka mulut, “iya. Yakin sekali, Pak. Saya yang mengantar nona Zeeya ke rumah sakit kemarin sore bersama temannya yang terluka. Saya juga yang menggotongnya ke dalam mobil. Nona Zeeya tidak bersalah.”
Polisi itu mengalihkan pandangannya ke arah papa. “Kami tetap akan membawa anak Anda ke kantor polisi.”
“Siapa kalian yang berhak menangkap anak saya tanpa surat penangkapan?!” Papa meninggikan suara, membuatku semakin takut. “Saya tidak akan membiarkan kalian membawa anak saya sebagai tersangka!”
Kemudian papa membelai rambutku dengan lembut. “Zeeya … masuklah ke dalam mobil. Pak, tolong antar Zeeya pulang ke rumah sekarang juga.”
“Siap, Tuan!” sopir pribadiku menuntunku masuk ke dalam mobil lalu menancap gas dan kami meninggalkan papa di sana bersama para polisi.
.........
Papa mendekati salah satu polisi yang tampak pangkatnya paling tinggi di antara mereka semua. “Pak, saya tahu siapa orang yang memerintahkan Bapak untuk menangkap anak saya. Lebih baik Bapak tidak mempercayai orang tersebut. Kembalikan juga uang hasil suap Bapak.”
“Apa maksud Anda? Kami tidak mengerti.”
“Sang Mafia Narkoba, Pak Galih? Dia yang memerintahkan Bapak untuk menangkap anak saya, bukan? Dia diam-diam bergerak dengan memanfaatkan kejadian yang baru saja menimpa teman anak saya.”
Ucapan papa membuat para polisi tidak bergeming. “Kami tidak mengerti apa maksud ucapan Anda. Kami hanya menjalankan …”
“Sudah!” suara papa membentak. “Lebih baik Bapak kembali bekerja dengan benar. Saya akan melapor ke atasan Bapak atas penangkapan anak saya dan jangan coba-coba untuk mendatangi rumah kami.”
.........
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/