Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 26
Di bawah sinar redup matahari sore yang tersaring oleh gedung-gedung runtuh di sekitar mereka, kelompok itu mulai sibuk dengan tugas masing-masing. Nizam, dengan mata yang tajam dan tangan cekatan, sibuk mengutak-atik barang-barang bekas yang berhasil ia kumpulkan. Potongan kaleng, kawat-kawat yang tergeletak, dan beberapa benda lain telah berubah menjadi alat sederhana di tangannya. Dia menatap karya terbarunya: alarm darurat yang siap memberi tanda jika zombie mendekat.
Nizam memamerkan alatnya kepada anggota lainnya. “Ini bisa bantu kita tahu kalau mereka mendekat," ucapnya, seraya memperlihatkan rangkaian kabel dan kaleng yang saling terhubung. "Mungkin ini nggak terlalu canggih, tapi setidaknya kita punya sesuatu yang bisa bikin kita nggak langsung mati."
Seno, yang memperhatikan dari samping, mengangkat alisnya dengan kagum. “Nizam, serius ini bisa bekerja?” tanyanya takjub.
Nizam mengangguk yakin. “Selama kawat ini masih terhubung, alarm ini bakal berbunyi keras kalau ada yang menyentuhnya.”
Sementara itu, Jasmine, yang sebelumnya lebih banyak diam, kini berdiri di sisi jendela gedung. Dari tempatnya, ia mengamati pergerakan zombie dengan hati-hati. Matanya yang tajam mengikuti setiap gerakan lambat dan acak para zombie, dan tanpa ia sadari, ia mulai memahami sesuatu.
"Aku rasa... mereka punya pola tertentu," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Seperti binatang yang mengitari wilayahnya… tapi apa ini benar?"
Arka, yang mendengar gumaman Jasmine, berjalan mendekat. "Apa yang kamu maksud, Jasmine?" tanyanya dengan alis terangkat, berusaha memahami apa yang ditemukan Jasmine.
Jasmine menghela napas pelan, mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan. “Aku perhatikan mereka, dan... zombie-zombie ini selalu bergerak dalam pola yang sama setiap kali datang ke sini. Seperti mengelilingi sesuatu.”
Arka terdiam sejenak, memandang Jasmine dengan penuh rasa kagum yang tak bisa ia sembunyikan. “Kamu yakin?” tanyanya, suaranya berbisik namun penuh makna.
Jasmine mengangguk tegas. “Ya, aku yakin. Kalau kita bisa memanfaatkan pola itu, kita bisa menghindar lebih baik.”
Di sisi lain ruangan, Gathan memperhatikan Arka dari kejauhan. Matanya menyipit saat melihat betapa cepatnya kelompok ini mempercayai Arka. Perasaan gelisah dan ambisi mulai tumbuh di dalam dadanya, dan ia meremas tangan dengan kuat. “Jadi sekarang kita semua bergantung sama keputusan Arka?” ucapnya dengan nada getir pada dirinya sendiri, namun cukup lantang hingga didengar oleh Queensha yang berdiri di sebelahnya.
Queensha menoleh dengan ekspresi kaget. "Gathan, kamu nggak seharusnya…"
Gathan memotong cepat. "Apa salahnya aku berpikir begitu, Queensha? Aku juga punya kemampuan untuk memimpin. Aku juga bisa membuat keputusan untuk kelompok ini."
Namun, ketika Queensha melihat wajah tegangnya, ia hanya bisa terdiam. Ada api di mata Gathan yang tak pernah ia lihat sebelumnya, dan itu membuatnya merasa cemas.
Sementara semua orang sibuk dengan tugas mereka, Abib berdiri di sudut ruangan, mengamati pergerakan zombie dari kejauhan. Ia mengerutkan kening, memperhatikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. "Zombie-zombie itu… bergerak dalam formasi?"
Zombie yang biasanya bergerak acak kini terlihat teratur, seakan ada seseorang atau sesuatu yang mengatur langkah-langkah mereka. Abib menelan ludah, tangannya sedikit gemetar.
"Ada yang nggak beres," bisiknya pelan, setengah takut setengah penasaran.
Gathan, yang berada di dekatnya, melirik dengan penasaran. "Apa maksudmu, Abib?"
Abib menunjuk ke arah zombie yang bergerak dengan pola yang tak biasa. “Lihat mereka. Mereka… bergerak seolah mengikuti perintah.”
Gathan menyipitkan mata, memperhatikan dengan serius untuk pertama kalinya. “Apa kamu pikir ada seseorang yang mengendalikan mereka?”
Arka, yang mendengar percakapan mereka, segera mendekat dengan ekspresi cemas. "Abib, Gathan, apa maksud kalian? Seseorang mengendalikan zombie?"
Abib mengangguk pelan, matanya tak lepas dari zombie-zombie itu. “Aku nggak tahu siapa atau apa, tapi… ada sesuatu yang nggak alami tentang gerakan mereka.”
Suasana semakin tegang, semua orang kini terdiam, merasakan aura bahaya yang semakin mendekat. Mereka saling pandang, tak ada yang tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
******
Matahari senja tenggelam di balik gedung-gedung yang runtuh, meninggalkan bayangan gelap yang semakin mencekam. Arka dan kelompoknya berada di dalam gedung tua yang remang, udara dingin merayap di antara mereka. Di tengah ruangan yang hanya diterangi cahaya lampu seadanya, suasana mulai memanas.
Gathan menatap Arka dengan tatapan tajam. “Arka, sampai kapan kita mau bersembunyi begini?” suaranya penuh ketegangan. “Mereka semakin banyak, dan kita nggak bisa terus-menerus pasif! Kita harus menyerang balik sebelum mereka menggiring kita sampai habis!”
Arka menggeleng, rahangnya mengeras. "Itu ide yang gegabah, Gathan. Kita bahkan nggak tahu berapa banyak zombie mutan yang ada di luar sana. Rencana itu sama saja dengan bunuh diri."
Gathan mendengus kesal, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. “Lebih baik mati berusaha daripada mati menunggu, Arka!” bentaknya, suara rendahnya menggema di ruangan. “Kamu pikir kita bakal bertahan lama kalau terus sembunyi? Zombie-zombie itu sudah berevolusi! Mereka nggak cuma bergerak asal lagi; mereka punya pola!”
Di sudut lain ruangan, Seno dan Masagena mengangguk setuju dengan pandangan penuh tekad di mata mereka. Seno menambahkan, “Aku setuju sama Gathan. Kalau kita terus bertahan tanpa melawan, lama-lama kita bakal terkepung. Mending kita ambil kesempatan dan hancurkan mereka sekarang.”
Namun, Jasmine dan Nizam berdiri mendekat ke sisi Arka, menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Jasmine berbicara dengan suara lembut tapi tegas, “Tapi kita bahkan belum tahu siapa atau apa yang mengendalikan mereka. Mengambil risiko menyerang sekarang itu terlalu berbahaya.”
Nizam mengangguk, matanya memandang Gathan tajam. “Kalau kita menyerang tanpa rencana matang, kita hanya akan memperburuk situasi. Aku percaya Arka lebih bijak dalam memilih langkah untuk keselamatan kita semua.”
Ketegangan semakin terasa, seperti tali yang siap putus. Suara debat yang sengit menggema di antara dinding-dinding ruangan kosong, sementara di luar sana, malam semakin larut dan dingin menusuk tulang. Kemudian, tiba-tiba, sebuah raungan keras menggetarkan udara, membuat semua orang terdiam, tubuh mereka menegang.
Queensha berlari ke jendela dan mengintip ke luar. “Ya Tuhan… semakin banyak zombie mutan berkumpul di luar,” suaranya hampir berbisik, tetapi dengan nada panik.
Mereka semua mendekat ke jendela, melihat ke luar dengan perasaan ngeri. Zombie-zombie mutan itu jauh lebih besar, kulit mereka tebal seperti perisai, dan mata mereka bersinar merah di kegelapan, menatap tajam ke arah gedung tempat mereka bersembunyi. Mereka bukan hanya sekadar bergerak tanpa tujuan; mereka tampak seakan dipandu oleh sesuatu, mungkin oleh naluri yang lebih kuat atau… entitas lain.
Abib menelan ludah, wajahnya pucat. "Kita nggak akan sanggup bertahan kalau mereka berhasil masuk."
Arka menghela napas panjang, menahan ketegangan di dadanya, lalu menatap kelompok itu satu per satu. “Dengar… aku tahu kita semua punya pandangan berbeda. Tapi sekarang, kita nggak punya waktu untuk berdebat lebih lama lagi. Kita harus bertahan bersama atau kita semua akan hancur.”
Gathan, yang masih menyimpan amarah, menatap Arka dengan mata yang penuh tantangan, tapi kali ini ia tidak membantah. Di dalam hatinya, ada ketakutan yang menggerogoti, meskipun ia tak ingin mengakuinya. "Sial. Arka mungkin benar, tapi aku benci perasaan tak berdaya ini."
Jasmine menghela napas lega, lalu menoleh ke arah yang lain dengan tatapan penuh harapan. “Kalau kita bisa menemukan cara untuk mengalihkan perhatian mereka, mungkin kita punya peluang untuk keluar dari sini.”
Nizam mengangguk cepat, matanya berbinar dengan ide yang baru muncul. “Aku bisa atur alarm darurat kita buat menarik perhatian mereka ke sisi lain gedung. Itu akan memberi kita sedikit waktu untuk lari.”
Arka kemudian berdiri tegak, menatap seluruh kelompok dengan pandangan penuh ketegasan. “Baik. Kita akan coba rencana ini. Tapi ingat, kita harus tetap bersama. Satu langkah salah, kita semua akan berada dalam bahaya.”
Semua orang mengangguk, baik dengan ragu atau dengan penuh tekad. Di tengah suara gemeretak gigi zombie yang semakin mendekat, perpecahan di antara mereka sejenak terlupakan. Mereka tahu, satu-satunya jalan adalah bertahan bersama atau menghadapi kehancuran total.