Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Ada apa?
Bang Rama membuka pintu rumah, keringatnya masih bercucuran. Ia pun mengibaskan kaosnya berniat mencari angin di depan rumah. Cukup lelah juga meladeni inginnya bumil.
"The real hukuman bumil plus beban pelanggarannya, mantaap..!! Untung saja berat badanmu ringan, dek. Di peluk juga 'ilang' di badan Abang." Gerutu Bang Rama.
Tak sengaja saat itu Bang Panggih lewat di depan rumahnya dan melihat dirinya sedang berkeringat. Niat usilnya pun muncul.
"Buat apa saja kau, Ram." Tanya Bang Panggih.
"Biasalah Bang, manten anyar. Bini ngajak push up." Jawab Bang Rama yang sebenarnya sudah jujur tapi sengaja membuat situasi menjadi ambigu.
Terlihat jelas raut wajah Bang Panggih mendadak berubah pias. "Kau tau aturan kan, Ram?? Di dalam rahim Dilan itu bukan benihmu."
"Apa sekarang kau mau bilang kalau kau ini bapaknya?" Seringai senyum gemas Bang Rama sungguh menyiratkan kepuasan, jelas sekali Abang tirinya itu tidak menyukai apa yang sudah di lihatnya saat ini.
"Tapi itu kenyataannya anak itu adalah anak ku..!!" Jawab Bang Panggih.
Bang Rama tersenyum gemas. Bagaimana bisa pria di hadapannya itu mengatakan hal demikian setelah dirinya mencampakan seorang gadis.
"Aku titip Dilan sampai dia melahirkan, setelah itu aku akan mengambil anak ku, tidak akan merepotkannya lagi..!!" Ujar Bang Panggih terdengar penuh rasa tanggung jawab di waktu yang salah.
"Pulanglah kau untuk mengadu dan menyusu pada ibumu..!!"
Mendengar hinaan tersebut Bang Panggih menjadi begitu geram. Sungguh ucap Bang Rama begitu menyinggung perasaannya. Ia tak paham mengapa adik tirinya bisa membenci ibunya padahal ibunya sangat menyayangi adiknya itu setulus hati.
Bang Panggih memilih pulang membawa rasa kesalnya sendiri.
...
Bang Rama menghabiskan semangkok soto ayam dan bubur kacang hijau seakan melupakan permintaannya tadi padahal Dilan pun juga sedang memasak bubur ketan hitam, tempe mendoan dan sayur lodeh. Bahannya juga meminta tolong anggota dari Bang Rama, itu pun masih banyak yang salah.
"Kalau ternyata tidak alergi, kenapa minta Dilan memasak sebanyak ini?????" Protes Dilan tak bisa menyembunyikan geramnya.
"Karena kamu belum sadar posisi dan mata 'anak-anak' menatapmu dengan pandangan tidak hormat, Abang tidak suka." Jawab Bang Rama santai kemudian sedikit mendorong mangkok bekas sotonya. "Abang mau coba lodehnya, donk..!!" Pinta Bang Rama.
Meskipun raut wajah Dilan masih cemberut, bibirnya pun maju menggerutu tapi dirinya tetap melayani Bang Rama dengan baik.
"Besok siang kita ke kantor Batalyon ya, kamu harus bertemu dengan Danyon agar pernikahan kita tidak terlalu timpang." Ajak Bang Rama.
Mendengar kata Batalyon, Dilan pun menjadi takut. Dirinya belum terbiasa berinteraksi dengan para tentara. Kedekatan dirinya dengan para tentara tadi pagi pun karena ada Bang Rama yang mendampingi dan memintanya untuk belajar berani meskipun akhirnya Bang Rama sendiri yang ingkar dan tidak suka akan interaksi yang terbilang ringan tersebut.
"Apa itu wajib?" Tanya Dilan.
"Jelas wajib. Pertemuan pengajuan nikah adalah salah satu hal untuk menyelamatkan kamu. Kamu akan di akui sebagai istri sah saya di mata hukum, agama dan utamanya militer." Jawab Bang Rama.
Dilan meletakan mangkok berisi sayur lodeh kemudian duduk di kursi makan, tepat di hadapan Bang Rama.
"Sebenarnya Dilan tidak ingin sampai seperti ini. Semua salah Dilan sendiri. Dilan tidak ingin menyusahkan Abang ataupun Bang Ge. Itu sebabnya Dilan tidak menuntut apapun."
"Abang tau kamu bisa dan mampu, tapi anak itu butuh status. Biarlah kesalahan orang tuanya menjadi tanggungan orang tuanya sendiri, tapi anak yang tidak berdosa itu juga butuh bahagia. Selama kamu hidup, selama kamu mampu, kamu harus bisa membahagiakan serta mendidik anak-anakmu dengan baik. Hingga nanti tiba saatnya kamu melepaskan mereka untuk mencari kebahagiaan mereka sendiri." Jawab Bang Rama.
"Tapi Bang, Dilan ini hanya beban untuk semua orang..........."
"Abang ikhlas, tidak ada beban di dalam hati. Istri dan anak adalah segalanya bagi Abang." Sambar Bang Rama karena tidak ingin Dilan terlampau banyak pikiran menjalani kehamilannya.
Bang Rama melanjutkan acara makannya sebab dirinya nyaris tidak sanggup membalas tatap mata Dilan yang terus mengarah padanya sampai akhirnya terdengar suara ketukan pintu.
tok.. tok.. tok..
Dilan pun beranjak karena Bang Rama masih menikmati makan malamnya.
Tak ada pikiran apapun hingga dirinya membuka pintu rumah dan saat pintu terbuka lebar. Dilan melihat ada seorang wanita yang masuk ke dalam rumahnya tanpa pamit dan langsung menampar pipinya begitu keras.
plaaaaaakk...
Suara tamparan tersebut terdengar hingga ke ruang makan. Bang Rama yang mendengarnya segera menghampiri.
"Stress kamu Ran??????" Bentak Bang Rama melihat adik perempuannya datang dan menampar Dilan. Bang Rama langsung mengarahkan Dilan ke belakang punggungnya.
"Bela saja terus..!!!!! Perempuan ini kan yang membuat Abang dan Bang Ge ribut??? Sekarang Bang Ge ada di rumah dan memohon pada Papa agar membatalkan pernikahan kalian karena Bang Ge mengatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan Dilan adalah anaknya. Apa kau tau Hima yang mendengarnya sampai syok dan nyaris bunuh diri." Teriak Muran begitu jengkel menatap Dilan yang menunduk di hadapannya. "Dasar pe**cur..!!!!!"
Bang Rama mengangkat tangannya tinggi dan hendak balik menampar pipi Muran tapi Dilan langsung beralih dan memeluk suaminya itu.
"Jangan, Bang..!! Jangan sakiti adik Abang sendiri..!!" Pinta Dilan.
Senyum sinis Muran semakin nampak puas. "Kalau Abang tidak ceraikan dia, Abang akan mendapatkan sampah. Apakah Abang tau kalau dia.............."
"Abang sudah tau, tau semua..!! Pulanglah dan jangan ikut campur lagi..!! Abang yang sudah memilihnya. Semua sudah menjadi tanggung jawab Abang. Biarkan Abang yang mendidiknya, Abang yang akan menuntunnya..!!" Ucap tegas Bang Rama kemudian melepas pelukan Dilan yang begitu kuat.
Langkah Bang Rama pun menghampiri adik bungsunya.
"Muran tidak ikhlas, kenapa dia?? Kenapa perempuan seperti dia. Abang menolak temanku demi dia." Omel Muran dalam tangisnya.
"Jalan hidup Abang memang seperti ini. Abangmu ini baik-baik saja. Abang bisa mengatasinya. Pulang ya, dek..!! Percaya sama Abang..!!" Bang Rama mengucap puncak kepala adik perempuannya dengan lembut.
Muran tidak bisa berkata apapun dan segera meninggalkan rumah sedangkan Dilan terus menunduk tanpa kata, tubuhnya gemetar.
Bang Rama balik menatap wajah Dilan kemudian mengacak rambut istrinya itu. "Sudahlah, tidak apa-apa. Ayo lanjut makan..!! Kamu belum makan, kan????"
Dilan meraih jemari Bang Rama. "Adakah yang Abang tau tentang Dilan?"
Bang Rama hanya tersenyum penuh arti, ia menarik jemari Dilan dan mengajaknya ke ruang makan.
.
.
.
.