Setelah terbangun dari mimpi buruk di mana ia dibunuh oleh pria yang diam-diam ia kagumi, Ellison, Queen merasa dunianya berubah selamanya.
Sejak hari itu, Queen memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Ellison. Dia berhenti mengejar cintanya, bahkan saat Ellison dikelilingi oleh gadis-gadis lain. Setiap kali bertemu Queen akan menghindar- rasa takutnya pada Ellison yang dingin dan kejam masih segar dalam ingatan.
Namun, segalanya berubah saat ketika keluarganya memaksa mereka. Kini, Queen harus menghadapi ketakutannya, hidup dalam bayang-bayang pria yang pernah menghancurkannya dalam mimpinya.
Bisakah Queen menemukan keberanian untuk melawan takdirnya? Mampukah dia membatalkan pertunangan ini atau takdir memiliki rencana lain untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Queen menempati sudut meja terpencil di kafe kecil yang dimiliki Renata. Dari sudut itu, dia tak henti memandangi pengasuhnya yang sedang lincah melayani pelanggan.
Sesekali, sambil tersenyum lebar, Queen memberikan semangat dengan sorakan kecil ke arah Renata.
"Nona, nggak bosan apa terus memandang saya?" goda Renata dengan tatapan menggoda.
Sementara Queen hanya menggeleng lembut sambil tersenyum. "Aku tidak akan pernah bosan melihat kamu bekerja," ucapnya dengan penuh kekaguman.
Renata menghela nafas lega. Pengasuhan yang pernah diberikannya pada Queen di masa lalu tidak sia-sia; buah hati majikannya itu kini melihatnya lebih dari sekedar pengasuh, melainkan seorang saudara.
"Awas loh, jangan sampai nonjatuh cinta sama saya. Saya masih normal," candanya ringan, membuat suasana menjadi riang.
"Ih, Rena... Siapa juga yang jatuh cinta sama kamu, hatiku tetap untuk Kak Ell kok. Lagian, akujuga masih normal," sahut Queen, menangkis gurauan Renata sambil tertawa kecil.
"Bercanda, Non! Saya tahu hati Non hanya untuk Kak Ell-nya saja, yang lain mah lewat," kata Renata, ikut terbahak mendengar jawaban Queen.
Kedua perempuan itu tertawa bersama, menikmati kehangatan di sudut kafe kecil itu. Suara pintu terbuka mendadak membuat mereka sama-sama menoleh.
"Selamat sore!" sapa Gio saat memasuki ruangan.
Queen dengan tatapan yang mulai takut melihat kedatangan mereka, meremas kuat dress yang sedang di pakainya. Dia berusaha untuk tidak takut kepada mereka.
"Tenang Uin,selama lo enggak ngusik kak Rhea, lo akan aman," katanya pada diri sendiri.
"kalian datang lagi?" ucap Queen kaku. Emang beberapa hari ini para inti the devil berkumpul di kafe milik Renata, membuat Queen lebih bisa mengontrol hatinya untuk tidak takut kepada mereka.
Queen membalas dengan senyum manisnya sambil mengamati sekeliling, mencari sosok yang telah dua minggu ini absen dari pandangannya. Walaupun dia selalu kabur saat berpapasan dengan Ellison, dia selalu memerhatikan pemuda itu dari jauh karena dengan itu dia tidak bergetar takut.
Dion, yang memahami rasa cemas di hati Queen, dengan lembut berkata, "Dia belum kembali."
Seakan tersadar, pipi Queen memerah, seraya Renata menimpali, "Merindukan pujaan hatinya, ya? Sudah dua minggu tak bertemu, wajar kok."
Queen mencoba menyembunyikan rasa malunya dengan cara melotot kearah Renata yang sudah kabur kedapur.
Sambil memegangi kedua pipinya yang membara, Queen bergumam dengan suara berbisik, "Apa terlihat jelas ya?"
Gio, yang tak ingin ketinggalan, ikut berseloroh, "Apa lo tak bisa nahan diri sedikit?"
Dengan cepat Queen menggeleng, "Gak bisa," sambil memberi tatapan yang membuat semua orang di ruangan itu tertawa ringan, melupakan bahwa Queen sempat membuat mereka benci kepadanya.
Sean melambaikan tangan, memanggil dengan suara yang menggema, "Ranata!"
Renata menoleh, kaget namun segera tersenyum lebar mendengar Sean. "kenapa tuan-tuan muda sekalian?"
"Kami ingin membuat tempat ini sebagai tempat nongkrong kami, boleh? Lain kali kami akan membawa semua anak-anak 'the devil'," lanjut Sean dengan semangat.
Renata menanggapi dengan rasa bangga yang meluap, "Wah, terasa sangat terhormat tempat kami disukai oleh cowok-cowok tampan seperti kalian." Sopannya terjaga, meski hatinya berbunga. "Padahal kami baru mulai bisnis ini, tapi sudah punya pelanggan tetap!"
Sean tertawa, menambahkan, "Siapa yang enggak suka kafe ini? Tempat kalian pasti diminati remaja. Kami yakin tahun depan kafe ini bakal punya cabang di kota lain."
"Amin," seru mereka serempak, tawa lepas mengisi ruangan.
Renata berbalik pada Queen,"Hari ini kita layani mereka dengan baik ya, Non. Sajikan yang terenak!"
Queen mengangguk cepat, senyumnya memperlihatkan deretan gigi putih. Dengan nada riang ia berkata, "Ayo tuan-tuan, silakan duduk dan pesan makanannya!"
Layaknya pelayan kafe, Queen menuntun mereka ke meja mereka.
Beberapa saat kemudian, pesanan mereka muncul dan dihamparkan di atas meja, Gio tiba-tiba merogoh HP dari sakunya lalu mulai memotret pemandangan di atas meja tersebut.
"Gue akan viralkan kafe ini," deklarasinya dengan antusias.
Senyum manis terlukis di wajah Queen, kebahagiaan dalam dirinya bermekaran, tahu bahwa tindakan Gio yang populer itu pasti akan membuat kafe ini menjadi sorotan.
"Terima kasih, Kak," ucap Queen.
"Sama-sama," balas Gio hangat.
Dion, yang telah tak sabar, berkomentar, "Wah, makanan ini juga menggugah selera banget, gak sabar gue."
"Ayo kita mulai," ajak Gio yang telah memperhatikan mereka.
Suara Dion melemah, "Andai ada boss di sini, kita juga kangen sama boss."
"Kalau ada Kak Ell pasti dia enggak bisa makan seafood, dia kan alergi," tambah Queen, yang dalam hatinya terus merindukan pujaan hatinya meski hanya bisa memandang dari kejauhan karena takut.
Dalam hati mereka berempat tidak menyangka bahwa Queen yang sangat tahu tentang Ellison. Mereka saja yang sahabatnya hanya tahu sebatas alergi Ellison, tidak dengan jenis macam apa itu.
Setelah menikmati makanan, Gio dan Queen tampak memegang perut, tanda kenyang, sambil saling berbagi senyum. Queen di minta oleh mereka untuk bergabung bersama mereka, awalnya Queen menolak tapi atas paksaan mereka akhirnya Queen mengiyakan,walaupun duduknya agak jauh dari mereka.
"Lama tidak bertemu, Xaviera Valerie Adelio!" Queen menoleh, terkejut.
Di belakangnya, seorang pemuda berhoodie hitam dan topi senada berdiri, menatapnya dengan ekspresi akrab.
Queen mengerutkan kening, matanya menyipit mencoba mengingat.
"Jangan bilang lo gak ingat sama gue?" sang pemuda berkata, raut wajahnya penuh harap.
Queen menggeleng, kebingungan jelas tergambar di wajahnya. "Tidak," jawabnya singkat.
Pemuda itu kemudian menggenggam bahu Queen yang masih duduk, mendekatkan diri. "Vale... ini gue, sepupu lo, Nathaniel Alex Harkoxi."
Kata-kata itu membuat Xera semakin bingung. "Harkoxi?" Katanya, suaranya penuh tanya.
Queen menatap Nathan dengan mata yang berbinar-binar, mencoba mengingat setiap momen yang mungkin terlewat dari ingatannya. Kedua alisnya bertaut, dan bibirnya mengatup rapat dalam kebingungan. Jantungnya berdegup kencang, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Nathan, yang menyadari kegelisahan Queen, melangkah mendekat dengan senyuman yang terukir di wajahnya. "Kita pernah tumbuh bersama saat kecil, ingat?" lanjutnya, mencoba menggali memori lama.
Queen menggigit bibir bawahnya, matanya terpejam sejenak mencoba keras mengingat. Namun, semakin dia berusaha, semakin sulit baginya untuk mengingat sosok Nathan di masa lalunya.
"Maaf, Nathan, aku... aku benar-benar tidak ingat," ucap Queen dengan suara yang bergetar, menandakan rasa frustrasinya.
Nathan menghela nafas, lalu menepuk lembut bahu Queen,"Tak apa, mungkin itu sudah terlalu lama. Tapi, percayalah, aku sepupumu, dan aku di sini bukan untuk mengawasi atau apa pun. Aku hanya ingin kembali dekat dengan keluarga," jelasnya, mencoba meredakan ketegangan.
"Kamu yakin bukan karena suruhan kakek kan?" tanya Queen ragu.
seru cerita nya🙏
GK jd mewek UIN🤭
ko ada aja yg GK suka