Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 - Tidak Adil
"Zalina demam panggung, mertuanya datang malah meriang ... tuh masih panas badannya."
Jika Sean dibuat malu lantaran Zean mendahului imam, kali ini Zalina merasakan hal yang sama. Entah kenapa pasangan pengantin ini selalu menjadi korban saudara masing-masing. Zalina menunduk dengan senyum tertahan seakan ucapan Mahdania itu memang benar.
"Oh iya? Demam panggung? Atau jangan-jangan Sean yang buat demam."
Zalina lebih malu lagi kala Mikhayla kini ikut menimpali. Bawang bombay yang kini hendak dia cincang mendadak lebih keras. Tidak, atau tenaganya yang telanjur terkuras hingga hal pekerjaan seringan itu terasa berat.
"Ke rumah sakit saja, Kak ... takutnya ada apa-apa, pengantin baru memang biasa begitu."
Belum tuntas Mikhayla, adik iparnya turut bersuara. Zalina semakin bingung saja, salah satu kebiasaan Zalina sejak lama ialah dia terdiam di kala gugupnya. Kini, dia terjebak di situasi itu hingga membuat yang lain berpikir jika sakitnya Zalina disebabkan karena hal itu.
"Bener kata Meera, khawatirnya, Zalina."
"Tidak perlu, Kak ... aku baik-baik saja, hanya flu biasa karena kemarin kehujanan dikit sama mas Sean," jawab Zalina berusaha tenang dan meneruskan memotong bawang bombay itu, sementara Syila hanya menjadi saksi bagaimana Zalina di-ospek kakak beradik ini.
"Aku sudah merasakannya, Zalina ... semangat."
Syila tahu betul bagaimana rasanya jika sudah dikerumuni para saudara iparnya. Hendak marah tidak bisa, hanya bisa pasrah dan menunggu mereka berhenti dengan sendirinya.
"Baik-baik saja gimana? Panas begini loh, hidung sama matanya merah seperti bukan flu biasa ... jujur saja tidak masalah, jangan malu. Atau mau Kakak yang periksa sendiri? Kakak dokter loh," tutur Mikhayla yang kemudian membuat Syila susah payah menahan tawa.
Mikhayla adalah pilihan terakhir andai di rumah sakit tidak ada lagi dokter yang lain. Syila tidak asal menyimpulkan, Zean sendiri yang mengatakan hal itu dan Syila sangat percaya pasca mengenal Mikhayla lebih dalam.
"Hm bener, Na, Mbak juga bisa bantuin ... atau kalau mau sama Mas Bayu juga boleh."
Zalina sontak menggeleng cepat, sama sekali tidak habis pikir kenapa mereka justru seserius ini. Padahal, dia sudah jelaskan sejak awal jika dirinya hanya flu dan itu diakibatkan oleh pergi berdua bersama Sean kemarin.
Namun, otak mereka tetap percaya pada pendirian masing-masing dan menduga jika penyebab Zalina demam adalah Sean. "Aku cuma flu, Mbak, semalam kami tidak berhubungan jadi tenang saja."
"Imposible, suami Kakak itu Sean loh, bukan kucing persia."
Usaha mereka tidak berhenti sebelum kemudian Sean memintanya ke kamar. Sudah tentu sang suami kesal lantaran dia yang sedikit pembangkang.
Tatapan tajam Sean berhasil membuat kaum hawa yang ada di dapur itu bungkam. Ya, memang tatapannya sedikit menakutkan jika sudah serius, bahkan Mikhayla dia buat tidak berkutik.
Istirnya mendekat perlahan, selain karena kepalanya sedikit pusing, dia juga sedikit cemas begitu melihat Sean yang menatapnya datar. Sontak wanita itu berpikir keras dimana letak kesalahannya.
"Sudah kukatakan jangan banyak gerak dulu ... apa salahnya nurut, Na?"
"Cuma flu, Mas. Kalau aku tidak keluar nanti makin parah," jawab Zalina yang kini kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Ilmu dari mana begitu?"
Meski sempat memperlihatkan wajah garangnya, pria itu tetap melemah di saat berdua. Dia memijat pelipis Zalina dengan lembut, memberikan kenyamanan karena biasanya flu di hari pertama memang sedikit menyiksa.
"Saudara kamu baik-baik semua ya, Mas ... aku malu, maaf ya," tutur Zalina tiba-tiba, sebuah kalimat yang berhasil membuat Sean terpaku sejenak.
" Malu? Malu kenapa, Na?"
Sean mengerutkan dahi kala mendengar istrinya tiba-tiba meminta maaf. Tatapannya benar-benar tulus dan menunjukkan rasa bersalah. Padahal, di mata Sean tidak ada yang salah dengan diri Zalina pada saudaranya sampai harus minta maaf.
"Kamu tidak diperlakukan sebaliknya, mas Abrizam belum berubah dan aku merasa ini sangat tidak adil ... maafkan aku, Mas."
Atas nama Abrizam dia meminta maaf, sejak awal pernikahan Zalina tahu bagaimana buruknya Abrizam memandang Sean. Bukan sekadar ucapan, tapi juga tindakan yang sama gilanya.
"Soal itu? Tidak perlu minta maaf, Na. Bukan salahmu, tapi memang aku yang kurang dalam segala hal ... dia hanya terkejut, harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. Aku merusak impian kakakmu yang menginginkan adiknya memiliki pendamping seperti Irham," tuturnya lembut sekali seraya mengusap wajah ayu Zalina.
Dia bukan tengah merayu seperti pada Ameera, bukan pula mencuri hati Zalina agar takluk padanya. Semua yang Sean lakukan murni dari dalam hatinya, kelembutan semata-mata hanya untuk wanitanya, itu saja.
"Aku tidak berjanji menjadi adik ipar yang lebih baik dari Irham untuk Abrizam, tapi menjadi suami untukmu aku tidak main-main, Zalina."
Sean menatap istrinya lekat-lekat, seperti biasa Zalina tidak memiliki keberanian menatapnya lebih lama. Terlalu menggemaskan jika Sean hanya diam, pria itu mengecup keningnya beberapa kali. Baru terhenti kala pintunya di ketuk berkali-kali.
.
.
"Tunggu sebentar, diam di sini."
Sedikit malas sesungguhnya, kemungkinan besar yang mengetuk pintu itu adalah saudara-saudaranya. Perlahan dia buka, khawatir jika nanti terkejut andai dibuka terlalu lebar.
"Mau apa?"
Benar saja dugaan Sean, tim medis ugal-ugalan di rumah ini telah berdiri di depan pintu dengan membawa teh hangat dan sebagainya.
"Istrimu sakit, Sean ... Kakak khawatir semua itu karena kamu berlebihan, izinkan aku masuk."
"Mikhayla, istriku hanya flu biasa." Sudah begitu lelah dia mengutarakan bahwa sang istri hanya flu, tapi Mikhayla menerobos masuk ke kamarnya.
Tidak sendiri, tapi juga bersama Mahdania dan juga kedua adiknya. Beruntung Bayu tidak ikut campur, jika iya mungkin Sean bingung yang gila siapa sesungguhnya.
"Dasar gila, untung kamarnya rapi."
Sean menatap mereka yang kini menguasai kamarnya. Dokter paling meragukan itu tengah memeriksa istrinya, tidak main-main tapi dia juga membawa serta alat-alat yang juga Sean ragukan fungsinya.
"Kalian berdua, jangan sentuh apapun di kamar ini, paham?!" tegas Sean menatap kedua adiknya yang kini berdiri di depan meja rias Zalina.
"Iya, cuma lihat ... siapa juga yang mau nyolong."
.
.
- To Be Continue -