Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Joni meronta
Keira terus menangis di pelukan Kian, air matanya membasahi dada suaminya. Kian tak berkata apa-apa, hanya membelai lembut rambutnya, memberikan rasa aman. Beberapa menit berlalu, isakan Keira perlahan mulai mereda, hingga akhirnya hening, hanya terdengar suara napas mereka yang teratur.
"Udah tenang?" tanya Kian dengan lembut, memandang wajah Keira yang masih menempel di dadanya. Keira mengangguk pelan, tanpa melepaskan pelukannya.
"Kalau gitu, sana mandi, biar seger," ucap Kian, suaranya mencoba memberi semangat.
Keira, yang masih berada dalam pelukan Kian, menolak dengan suara pelan, "Nggak mau." Ia memejamkan mata, menikmati kenyamanan yang ia rasakan. Apalagi dengan Kian yang bertelanjang dada, kehangatan tubuhnya dan aroma yang begitu memabukkan membuat Keira enggan beranjak. Rasanya, berada di sini, dalam pelukan Kian, lebih dari cukup untuk meredakan segala kegundahannya.
"Mandi, sayang," titah Kian dengan nada lembut, tapi tegas, menunjukkan bahwa ia tak ingin dibantah.
Tiba-tiba, suara getar dari ponsel Kian terdengar di atas nakas. Drt... drt... drt... Kian melirik sejenak, lalu meraih ponselnya meskipun Keira masih enggan melepaskan pelukannya.
Nenek kesayangan❤️ calling
Kian mengangkat telepon, menatap Keira yang berjalan menuju kamar mandi. "Halo, Nek. Ada apa?" sapanya.
"Halo, Bang! Kamu udah sampai di Jepang? Kamu nginep di mana?" terdengar suara ceria dari Grace di ujung telepon.
"Udah, Nek. Lagi di rumah Tara," jawab Kian santai.
"Oh, baguslah. Kalau sama Tara, nenek nggak khawatir. Ngomong-ngomong, Keira mana?" tanya Grace, masih dengan nada lembut namun penasaran.
"Mandi, Nek," jawab Kian sambil melirik istrinya yang sudah hilang.
"Ya sudah kalau begitu..." Grace terdengar hendak mematikan telepon, tapi tiba-tiba ada suara lain dari seberang.
"Eh, jangan dulu, aku juga mau ngomong sama Kian," suara berat Devin, kakeknya, terdengar menyela.
"Halo, Ian," ucap Devin.
"Iya, Kek. Ada apa?" sahut Kian sambil menahan senyum.
"Jangan lupa bikin cicit!" ujar Devin dengan nada setengah bercanda, tapi serius.
Kian tertawa kecil, mencoba menahan tawa. "Santai aja, Kek. Kakek kan masih sehat, belum sakit-sakitan. Meskipun umur udah bau tanah, tapi tenang aja, masih bisa lama."
"Tai! Lu doain gua mati?" balas Devin dengan nada sebal tapi terdengar penuh cengengesan.
"Nggak lah, Kek! Tapi kalau kakek ikut-ikutan, aku makin banyak dapet duit santunan tuh. Udah yatim piatu, masa ditambah kakek juga?" Kian membalas dengan nada bercanda, tertawa kecil sambil mengedipkan mata ke arah Keira.
"Haha! Ada-ada aja lu. Tapi seriusan, jangan lupa bikin cicit! Gua nggak mau tau, pulang dari Jepang perut Keira harus ada isinya!" Devin menegaskan dengan gaya bercandanya yang khas.
Kian hanya bisa tertawa, geleng-geleng kepala sambil melirik Keira yang mendengar semuanya dengan wajah memerah. "Iya, Kek. Doain aja," jawab Kian, masih dengan nada bercanda, sebelum panggilan itu berakhir dengan tawa di kedua sisi.
Tak lama kemudian, Keira keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang melilit tubuhnya dengan sempurna. Handuk itu membentuk lekuk tubuhnya, memamerkan setiap detail yang membuat Keira terlihat begitu menggoda. Kian, yang duduk di tepi ranjang, langsung terdiam. Ia hanya bisa menelan saliva dengan berat, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai berkecamuk.
Keira, yang tidak menyadari keberadaan Kian di kamar, berjalan menuju lemari dengan santai. Ia membuka lemari dan mengambil pakaian yang akan dikenakannya, tanpa sadar bersiap untuk melepaskan handuknya.
"Keira! Ganti baju di kamar mandi!" seru Kian panik, langsung menutup matanya dengan kedua tangan. "Burung gua bangun nih gara-gara lu!"
Keira tersentak kaget, wajahnya langsung memerah. Dengan cepat, ia melilitkan kembali handuknya dan bergegas kembali ke kamar mandi sambil membawa pakaian. Di dalam hati, ia mengomel pada dirinya sendiri, "Bego banget lu, Keira. Kenapa nggak sadar sih kalau Kian ada di situ?"
Di sisi lain, Kian masih berusaha mengendalikan dirinya. Namun, berbeda dengan Keira yang merasa malu, Kian kini menghadapi masalah lain. Si Joni, yang sudah "terbangun", terselip celana pendeknya, menampakkan dirinya.
"Si Joni, baperan banget lu. Baru liat bentar udah ngaceng," gumamnya sambil mengusap wajah, kebingungan menghadapi reaksi tubuhnya yang terlalu cepat merespons.
Keira buru-buru mengenakan pakaiannya di dalam kamar mandi, masih merutuki kebodohannya karena situasi canggung tadi.
Tok... tok... tok
Pintu kamar mandi diketok. “Ra! Buruan, Ra!” teriak Kian dari luar.
“Iya-iya,” jawab Keira sambil membuka pintu. Matanya langsung tertuju pada Joni yang menonjol jelas di balik celana pendek Kian.
“Kamu mau ngapain?” tanyanya, sedikit terkejut.
“Nidurin si Joni,” jawab Kian santai sambil melangkah masuk ke kamar mandi.
Keira terdiam sejenak, kaget dengan jawaban Kian. Punya Kian gede banget, batinnya. Ia pun berjalan menuju meja rias dan mulai mengeringkan rambutnya, berusaha menepis pikiran nakal yang muncul. "Astaghfirullah, Keira, pikiranmu."
“Ah~ kak Keira, ah,” terdengar erangan Kian dari dalam kamar mandi, membuat wajah Keira memerah.
“Kian! Jangan nyebut nama aku!” serunya kesal.
Pintu kamar mandi terbuka, Kian keluar dengan wajah yang terlihat lega. “Napa sih?” tanyanya, menatap Keira yang tampak canggung.
Keira menoleh, dan secara kebetulan melihat bahwa burung Kian sudah tidak mengeras. “Udah tidur, toh,” lirihnya, namun cukup terdengar oleh Kian.
"Bangunin lagi dong,” ucap Kian, mendekat dan berbisik di telinga Keira.
“Dih, nggak mau aku! Lagian, aku nggak mau bangunin tadi. Burung kamu yang baperan,” balas Keira, merasa sedikit terhibur dengan situasi ini.
“Loh, kamu yang mancing,” Kian berargumen sambil membaringkan tubuhnya di ranjang, tampak santai.
“Dih, aku cuma pakai baju doang,” Keira menegaskan, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dengan tindakannya.
“Ya nggak didepan aku juga,” Kian menyanggah.
“Lah, salah kamu. Kenapa kamu di sini?” Keira membalas dengan nada menantang.
“Hah, iya deh, aku yang salah,” Kian mengalah, ia mengambil bantal dan mulai menutup matanya.
“Emang kamu yang salah,” ucap Keira dengan nada puas, merasa menang dalam perdebatan kecil ini.
......
Beralih ke rumah Devin, Deren dan Tasya sedang asyik menonton film bersama di ruang tamu.
“Bang Deren, bang Kian mana?” tanya Tasya pada pamannya, baru menyadari bahwa abangnya tidak ada.
“Lagi honeymoon sama Keira,” jawab Deren dengan santai, seolah itu hal yang biasa.
“Hah! Nggak mungkin! Bang Deren pasti bohong!” ucap Tasya, tidak percaya.
“Ngapain abang bohong, Tasya? Kayak untung aja abang bohong,” balas Deren dengan nada bercanda.
“Nggak! Aku mau mastiin, aku mau bang Kian!” Tasya bertekad, segera mengeluarkan ponselnya dari kantung rok dan menelpon Kian dengan loudspeaker.
“Halo,” suara Keira terdengar dari seberang sana. Begitu mendengar itu, Deren langsung mengambil ponsel Tasya dan melarikan diri.
“Halo Ra,” sapa Deren, mencoba menyamarkan identitasnya.
“Iya bang, kenapa?” Keira menjawab, suaranya terdengar lirih.
“Bang Deren! Balikin hp aku!” teriak Tasya, mengejar Deren yang berlari.
“Gak apa-apa, Ra. Si Kian mana, Ra?” tanya Deren, melanjutkan percakapan.
“Tidur dia, bang. Kecapean,” jawab Keira, suaranya semakin pelan.
“Oh, abis nyetak ya? Selamat mencetak! Nggak berasa, gua bakal punya cicit,” ucap Deren sambil tertawa, menggoda.
“Bang Deren! Tasya, jangan kejar-kejaran gitu dong, nanti jatuh gimana?” tegur Grace, yang duduk di sofa ruang tamu.
“Mereka kenapa sih, Bun?” tanya Devin sambil mendekati Grace, duduk di sampingnya. Mereka berdua memperhatikan aksi kejar-kejaran anak dan cucu mereka dengan senyum di wajah.
“Pa! Ma! Kian lagi proses pembuatan cicit!” teriak Deren dari dapur, penuh semangat.
“NGGAK! TASYA NGGAK MAU PUNYA PONAKAN!” Tasya balas teriak dengan kesal, berusaha meraih ponselnya.
Devin dan Grace saling bertukar pandang, kemudian berpelukan dengan penuh kebahagiaan. “Akhirnya kita punya cicit, Bun,” ucap Devin, wajahnya penuh kebanggaan.
“Iya, Pa. Akhirnya, ya,” jawab Grace, senyumnya tak pernah pudar.