NovelToon NovelToon
Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Status: sedang berlangsung
Genre:TimeTravel / Sistem / Epik Petualangan / Dendam Kesumat / Pulau Terpencil
Popularitas:389
Nilai: 5
Nama Author: Deni S

Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.

Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.

Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Teror Kutukan V3

Melihat warga telah berkumpul dengan tenang, Pak Kades berdiri di hadapan mereka, suaranya bergetar dengan penuh rasa terima kasih. "Saudara-saudaraku, terima kasih atas kesediaan kalian membawa hasil bumi ini. Saya tahu, ini bukan keputusan yang mudah, terutama saat kita semua sedang kesulitan. Tapi saya yakin, tidak ada yang lebih berharga saat ini selain kedamaian yang telah lama kita rindukan."

Pak Kades berhenti sejenak, mengamati wajah-wajah warga yang mendengarkan dengan khidmat. Ia tahu betapa berartinya apa yang mereka lakukan, dan itu membuat hatinya semakin teguh.

Setelah Pak Kades selesai, Ekot melangkah maju untuk mengambil alih pidato. Suaranya tegas namun lembut. "Untuk warga yang merasa kurang sehat. Saya minta agar tetap berdiam di desa. Jalan menuju Gua Leluhur sangat sulit, terutama bagi wanita dan anak-anak. Kami tidak ingin kalian terjebak dalam perjalanan yang berbahaya. Jangan khawatir, saya sudah meminta beberapa pria untuk berjaga di desa, melindungi kalian semua selama kami pergi."

Ekot berhenti sejenak, menatap para warga yang mulai mengangguk setuju. "Kepergian kami tidak akan lama. Kalian bisa tenang, karena desa ini tidak akan kosong. Kami akan kembali dengan harapan baru, untuk mengembalikan kedamaian yang hilang."

Warga yang mendengar itu merasa bangga pada Ekot. Mereka melihatnya bukan hanya sebagai seorang pemimpin, tapi sebagai sosok yang benar-benar peduli pada keselamatan dan kesejahteraan mereka. Pak Kades pun menepuk punggung Ekot, bangga melihat jiwa kepemimpinan anaknya yang terus berkembang.

Suasana di sekitar rumah Pak Kades terasa hangat, penuh harapan. Ekot tersenyum kecil, meski di dalam hatinya ia tahu tugas besar masih menanti. Namun dengan dukungan warga, ia merasa lebih siap dari sebelumnya.

Pak Kades, Ekot, dan rombongan warga mulai bergerak meninggalkan desa, membawa harapan baru untuk mengakhiri kutukan yang telah lama menghantui mereka. Langkah-langkah mereka terdengar teratur di tanah yang lembab, menembus hutan belantara yang tampak semakin gelap seiring matahari yang berangsur tenggelam.

Lereng terjal di hadapan mereka menjadi tantangan pertama. Beberapa warga terlihat berjuang keras agar tidak terpeleset, namun Ekot sigap membantu, menarik tangan mereka satu per satu. "Hati-hati. Jalan Kita maaih panjang," kata Ekot dengan suara tegas, sembari memastikan tidak ada yang tertinggal.

Di sepanjang jalan, mereka terus dihadang oleh pohon-pohon tumbang dan akar-akar yang menjalar di tanah. Salah satu warga tersandung, tapi Pak Kades segera membantunya berdiri. "Kita akan melewati semua ini bersama," ujar Pak Kades, suaranya penuh kepercayaan.

Semakin dalam mereka memasuki hutan, semakin terasa betapa sunyi dan dinginnya malam. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mengeluh. Semua mata tertuju pada tujuan mereka: Gua Leluhur, tempat di mana harapan desa mereka bersandar.

Ekot, yang memimpin di depan, merasakan tanggung jawab besar di pundaknya. Meski jalur yang mereka lewati begitu sulit, ia terus memberi semangat. "Kita sudah dekat. Bertahan sedikit lagi," ujarnya setiap kali melihat warga mulai lelah. Tekad mereka yang kuat membuat setiap hambatan terasa lebih ringan.

Di kejauhan, mereka mulai melihat bayangan gua yang tampak suram di balik pepohonan. Gua Leluhur itu semakin mendekat, membawa perasaan campur aduk antara harapan dan ketegangan dalam diri setiap orang yang berjalan menuju harapan terakhir mereka.

Saat mereka tiba di depan Gua Leluhur, suasana hening menyelimuti rombongan. Dengan hanya diterangi cahaya obor yang temaram, mereka dapat melihat sisa-sisa ritual lama yang sudah mulai usang: beberapa batu persembahan tertata acak, kain-kain tua yang tersisa, dan ukiran-ukiran kuno yang hampir hilang ditelan lumut. Suasana di bibir gua terasa magis, seolah-olah waktu berhenti di tempat itu.

Pak Kades berdiri di depan, memandang gua dengan penuh rasa hormat dan kesadaran akan pentingnya momen ini. Ia berbalik menghadap warga, yang terlihat tegang namun penuh harapan, dan berkata dengan suara rendah namun tegas, “Sekarang. Letakan semua persembahan kita. Ini sebagai bentuk rasa syukur dan permintaan maaf kita.”

Satu per satu, warga mulai meletakkan hasil bumi yang mereka bawa di bibir gua. Ada yang membawa buah-buahan, hasil panen, hingga barang-barang berharga yang mereka miliki. Semua dilakukan dengan khidmat dan penuh keyakinan bahwa ini adalah langkah terakhir untuk menghentikan kutukan yang telah lama menyelimuti desa mereka.

Setelah semua persembahan tersusun rapi, Pak Kades berdiri di tengah, mengangkat kedua tangannya, dan memimpin doa dalam diam. Hanya suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan, dan suara langkah kecil dari hewan liar di kejauhan. Warga yang berdiri di sekitarnya mengikuti dengan menundukkan kepala, merasakan kedamaian dan kepasrahan dalam hati mereka.

Doa Pak Kades dipanjatkan dengan sungguh-sungguh, meminta maaf atas kesalahan leluhur yang terlupakan, dan memohon agar desa mereka diberkahi kembali dengan kedamaian dan keselamatan. Warga merasakan getaran di hati mereka, keyakinan bahwa leluhur mendengarkan doa mereka.

Setelah doa usai, Pak Kades membuka mata dan menatap warga dengan lembut. “Kita sudah melakukan bagian kita. Kini kita pulang dengan harapan baru, dan kehidupan baru,” katanya dengan nada optimis.

Dengan langkah yang sedikit lebih ringan dan hati yang lebih tenang, mereka pun memulai perjalanan pulang. Meninggalkan Gua Leluhur di belakang, mereka membawa serta harapan bahwa desa Mola-Mola akan kembali damai, dan kutukan yang menghantui mereka akan segera berakhir.

Setelah berjam-jam menembus hutan yang gelap dan lelah, akhirnya sinar lampu dari desa mulai tampak di kejauhan. Desa Mola-Mola terlihat bagaikan permata yang bersinar di tengah malam, dengan suara-suara riang warga yang bersorak-sorai menyambut mereka. Aroma masakan dan suara tawa anak-anak yang bermain menambah suasana hangat yang terasa menyentuh hati.

Ketika rombongan mereka tiba di tengah keramaian, warga desa segera menyambut dengan antusias. Beberapa orang berlari menghampiri, memeluk mereka yang baru pulang. Suasana kembali hidup, seolah-olah beban kutukan yang menggelayuti desa selama ini perlahan mulai terangkat.

“Selamat datang kembali! Kami sangat khawatir!” teriak seorang warga, yang diikuti oleh seruan-seruan gembira lainnya. Ekot merasakan semangat warga dan tak bisa menahan senyumnya. Ia merasa terharu melihat kebahagiaan di wajah-wajah mereka.

Pak Kades dan Ekot saling bertukar pandang, merasakan kebanggaan yang mendalam. Misi mereka untuk membawa harapan baru bagi desa telah berhasil.

Setelah sejenak menikmati sambutan hangat, Pak Kades berbalik kepada warga. “Terima kasih atas dukungan kalian. Selalu ingat kebersamaan ini, agar kita tak lagi melupakan tradisi yang membuat kita terpuruk,” katanya, dan disambut dengan tepuk tangan meriah.

Setelah semua kembali ke rumah masing-masing, Pak Kades dan Ekot melangkah perlahan menuju rumah mereka. Keletihan mulai terasa di tubuh mereka, namun hati mereka dipenuhi rasa lega dan harapan baru.

“Aku senang bisa melewati semua ini bersamamu, Ayah,” ujar Ekot, dengan suara pelan.

“Begitu juga aku Nak. Tanpa semangatmu, kita tidak akan sampai di sini. Desa ini membutuhkan jiwa muda sepertimu,” jawab Pak Kades sambil tersenyum, merasa bangga memiliki Ekot sebagai pemimpin muda yang penuh dedikasi.

Malam itu, saat mereka tiba di depan rumah, mereka merasakan kedamaian yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Setelah saling berpamitan, keduanya pergi ke kamar masing-masing, bersiap untuk beristirahat setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Malam yang gelap, kini terasa lebih cerah dengan harapan yang menghangatkan hati.

Di dalam rumah milik Pak Purrok, suasana hangat dan nyaman terasa saat mereka duduk bersama di meja makan. Lentera kecil yang tergantung di dinding memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan bergetar di sudut-sudut ruangan. Di atas meja, hidangan sederhana namun lezat tersaji, aroma sayuran dan rempah-rempah menambah kehangatan malam itu.

Daiva, dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu, mendengarkan cerita ayahnya dengan seksama. “Ayah, bagaimana perjalanan menuju gua leluhur? Apakah ada rintangan yang sulit dihadapi?” tanyanya, wajahnya dipenuhi antusiasme.

Pak Purrok tersenyum, mengenang kembali petualangan yang baru saja dilaluinya. “Oh, Daiva, perjalanannya sangat menantang. Kami harus melewati lereng yang curam dan banyak pohon tumbang. Beberapa tempat bahkan dipenuhi semak belukar yang menghalangi jalan,” ceritanya, sambil mengingat betapa sulitnya melewati rintangan-rintangan tersebut.

Daiva tertegun, membayangkan perjalanan tersebut dalam imajinasinya. “Sepertinya itu sangat mengasyikkan! Tapi itu pasti sangat melalahkan,” tanyanya lagi.

“Iya, aku merasa lelah, tapi semangat kami tidak akan padam. Saat melihat semangat teman-teman warga, semua rasa lelah itu sirna,” jawab Pak Purrok dengan bangga. “Kami saling membantu dan menjaga satu sama lain. Itu membuat perjalanan menjadi lebih ringan.”

Istrinya, Adistri, menambahkan sambil tersenyum, “Ayahmu bahkan membantu seorang teman yang terjatuh. Dia benar-benar berani dan baik hati.”

Daiva tertawa, “Ayah kau seperti pahlawan!” Namun, rasa ingin tahunya masih membara. “Bagaimana dengan guanya? Apa guanya besar? Apakah ada gambar-gambar di dalamnya?”

Pak Purrok mengangguk, wajahnya berseri. “Gua itu tidak begitu besar Daiva. Tapi di dalamnya terdapat sisa-sisa ritual yang sudah lama ditinggalkan. Ada goresan-goresan di dindingnya. Seolah-olah gua itu menyimpan banyak cerita dari zaman dahulu,” jelasnya, dengan semangat yang semakin membara.

“Benarkah?” Daiva semakin bersemangat. “Aku ingin sekali melihat gua itu! Mungkin suatu hari nanti kita bisa pergi ke sana bersama?”

Adistri tersenyum mendengar antusiasme putri mereka. “Tentu sayang. Setelah semua ini usai. Kita bisa merencanakan perjalanan keluarga ke sana.”

Pak Purrok menatap Daiva dengan penuh kasih. “Selama kita menjaga adat dan tradisi, kita bisa kembali ke tempat-tempat bersejarah ini. Setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk melestarikan apa yang telah diajarkan oleh leluhur kita.”

Dengan semangat yang menggebu, Daiva mengangguk setuju. “Aku berjanji, aku akan belajar tentang adat dan tradisi kita. Aku ingin membantu desa kita agar tidak lagi dilanda kutukan.”

Malam itu, di tengah kehangatan keluarga, harapan baru terbentuk. Pak Purrok dan Adistri saling berpandangan, senyuman di wajah mereka menandakan keyakinan akan masa depan yang lebih baik untuk anak gadis mereka.

1
Muslimah 123
1😇
Delita bae
salam kenal jika berkenan mampir juga👋👍🙏
Delita bae: iya , mksh semangat ya 😇💪👍🙏
Msdella: salam kenal kak.. wih banyak karyanya kak.. nnti aku baca juga kak
total 2 replies
miilieaa
haloo kak ..sampai sini ceritanya bagus kak
lanjut nanti yah
Msdella: Hallo.. Terima kasih kak.. Siap, kak. nanti saya update sampe tamat
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!