novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Cahaya dalam kegelapan
Setelah kehancuran desa mereka, Aric, Lyria, Kael, dan Erevan bersembunyi dalam hutan. Ketika malam tiba, mereka duduk di sekitar api kecil yang hampir padam, tidak banyak berbicara. Rasa duka dan kehilangan menggantung berat di udara. Sementara suara malam yang biasa menenangkan, kini terasa mengancam, seakan mengingatkan mereka akan bahaya yang terus mengintai.
"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" Kael akhirnya memecah keheningan, suaranya rendah, hampir berbisik.
Erevan, yang biasanya penuh dengan rencana, hanya menggelengkan kepala. "Aku… aku tidak tahu. Dengan desa kita yang hancur dan para prajurit yang masih memburu kita, kita hampir tidak punya tempat untuk kembali."
Aric terdiam, menatap tangan-tangannya yang terasa bergetar. Rasanya kekuatan naganya tak berarti apa-apa ketika desa mereka diserang. Rasa bersalah dan marah saling bertarung di dalam dirinya. Dia merasa gagal, tak mampu melindungi semua yang mereka cintai.
Namun, Lyria menggenggam tangan Aric, membuatnya menoleh. "Kita tidak bisa menyerah sekarang, Aric. Mungkin benar desa kita sudah hancur, tapi masih ada orang-orang yang selamat. Mereka membutuhkan kita. Dan kita tidak akan membiarkan para prajurit itu menang."
Aric menatap Lyria dalam-dalam, matanya mulai menyala dengan semangat baru. Kata-kata Lyria membawa kekuatan baginya, mengingatkannya bahwa meskipun mereka telah kalah dalam satu pertempuran, perjuangan mereka masih jauh dari selesai.
"Lyria benar," Aric akhirnya berkata. "Aku tidak akan membiarkan ini menjadi akhir. Kita harus mencari cara untuk bangkit kembali, menemukan kekuatan yang cukup untuk mengalahkan mereka."
Kael mengangguk, meski matanya menunjukkan kelelahan. "Aku bersamamu, Aric. Apa pun yang terjadi, kita akan berjuang bersama."
Mereka menghabiskan malam dengan memikirkan rencana berikutnya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari sekutu di desa-desa terdekat. Mungkin di antara mereka ada yang juga menderita di bawah kekuasaan para prajurit yang menindas. Mereka yakin, jika dapat mengumpulkan kekuatan bersama, mereka bisa melawan dan merebut kembali tanah mereka.
---
Keesokan harinya, perjalanan mereka dimulai. Hutan terasa lebih suram dan sunyi dari sebelumnya, seolah merespons kehancuran desa. Namun, mereka melangkah dengan tekad yang membara di dalam hati. Satu per satu, mereka melewati bukit, lembah, hingga sampai di sebuah desa kecil yang terlihat damai, tetapi tampak sepi.
Saat mereka masuk, penduduk setempat menatap mereka dengan penuh curiga. Seorang pria tua, yang tampaknya kepala desa, mendekati mereka dengan sikap waspada.
"Apa yang kalian inginkan di sini?" tanyanya tajam, matanya menelisik setiap gerakan mereka.
Aric maju, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. "Kami bukan musuh, hanya pelarian dari desa yang telah dihancurkan. Kami mencari sekutu untuk melawan para prajurit yang telah menindas kami semua."
Pria tua itu mendengus, meski tampak ada keraguan di wajahnya. "Banyak yang sudah mencoba melawan, anak muda. Dan banyak yang gagal. Kami di sini hanya berusaha bertahan hidup."
Lyria melangkah maju, suaranya lembut namun penuh keyakinan. "Kami mengerti ketakutan kalian. Kami juga merasakan hal yang sama. Namun, jika kita terus menyerah, maka mereka akan terus menindas. Bukankah kita harus berjuang demi masa depan yang lebih baik?"
Beberapa penduduk mulai berbisik di antara mereka, terlihat mulai terpengaruh oleh kata-kata Lyria. Sementara itu, Kael dan Erevan menjaga kewaspadaan, mengawasi setiap sudut desa untuk memastikan mereka aman.
Seorang pemuda dari kerumunan akhirnya maju. "Aku kehilangan ayahku dalam pertempuran melawan prajurit-prajurit itu. Mereka menganggap kita tak lebih dari sekadar hamba. Aku tidak ingin hidup seperti ini selamanya."
Pria tua itu menatap pemuda itu dan menghela napas berat. "Kalian benar," katanya akhirnya. "Jika kita tidak bangkit sekarang, maka kita tidak akan pernah merasakan kedamaian lagi."
Dengan kesepakatan yang dicapai, penduduk desa mulai berkumpul untuk merencanakan perlawanan. Aric dan kawan-kawannya mengajari mereka teknik bertahan dan menyerang. Mereka membentuk barisan kecil yang terlatih, menggabungkan keterampilan bertarung Kael, taktik Erevan, dan sihir Lyria.
Setiap hari, mereka berlatih dengan keras. Aric juga belajar lebih banyak tentang kekuatan naganya. Kini, ia dapat mengendalikan api yang mengalir dalam tubuhnya dengan lebih baik, menggunakan kekuatan itu untuk melindungi teman-temannya.
Pada suatu malam, saat mereka sedang duduk beristirahat, Kael melihat Aric sedang berlatih sendiri, mengendalikan api kecil di tangannya.
"Kau mulai bisa mengendalikannya dengan baik, Aric," Kael berkomentar, menghampirinya.
Aric tersenyum tipis. "Aku merasa ada sesuatu yang masih terkunci di dalam diriku. Semakin aku berlatih, semakin kuat rasanya panggilan kekuatan itu. Aku hanya berharap aku tidak akan kehilangan kendali saat waktu penting tiba."
Kael menepuk pundaknya. "Kami percaya padamu, Aric. Kau adalah pemimpin kami, bukan hanya karena kekuatanmu, tapi karena hatimu."
Aric merasa terharu mendengar dukungan dari sahabatnya. Meskipun mereka mengalami banyak kehilangan dan kesulitan, ikatan persahabatan mereka menjadi semakin kuat. Ia bersumpah pada dirinya sendiri untuk melindungi mereka semua, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawanya.
---
Hari-hari berlalu, dan kabar tentang kelompok perlawanan kecil mereka mulai tersebar. Satu per satu, orang-orang dari desa lain bergabung, membawa persenjataan seadanya dan semangat yang menyala-nyala. Mereka semua memiliki satu tujuan yang sama: membebaskan tanah mereka dari tirani para prajurit.
Suatu malam, saat sedang berpatroli, Aric melihat Lyria duduk sendirian di tepi sungai, memandang ke air dengan mata yang redup.
"Kau baik-baik saja?" tanya Aric, duduk di sampingnya.
Lyria tersenyum lemah. "Aku hanya berpikir… semua ini terasa seperti mimpi buruk yang panjang. Aku takut kehilangan kalian semua. Aku takut suatu hari kita harus menghadapi pertempuran yang tidak bisa kita menangkan."
Aric menggenggam tangannya, memberinya kekuatan. "Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi selama kita bersama, kita bisa menghadapi apapun. Aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu."
Mereka berdua terdiam, menikmati momen tenang di tengah kekacauan. Dalam kebisuan itu, ikatan antara mereka semakin dalam, dan Aric merasakan ada kekuatan baru yang bangkit dalam dirinya, bukan hanya dari darah naga, tetapi dari cinta dan kepercayaan yang ia rasakan untuk teman-temannya.
Pagi berikutnya, mereka semua berkumpul untuk mendiskusikan rencana besar mereka. Saat Aric berdiri di depan kerumunan yang semakin besar, ia merasakan tanggung jawab yang besar di pundaknya. Ini bukan hanya tentang dendam atau kekuatan. Ini adalah tentang membebaskan semua orang dari ketakutan dan menuntut keadilan.
Dengan suara lantang, ia berkata, "Hari ini kita tidak lagi bersembunyi. Kita adalah kebangkitan dari kegelapan yang telah mereka ciptakan. Bersiaplah, karena saatnya telah tiba untuk merebut kembali apa yang menjadi milik kita!"
Sorakan penuh semangat menggema di antara mereka, dan Aric tahu, inilah awal dari pertempuran yang akan menentukan nasib mereka.