Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 : Mereka tidak suka
Ara berkali-kali membuang nafas seperti orang yang dihadapkan pada setumpuk PR setinggi tiga meter. PR yang isinya tentang dirinya sendiri dan Saka. Belum dikerjakan sudah capek duluan.
Mahesa mengusap dahinya sambil mencari-cari alasan di awang-awang. Alasan kenapa tiba-tiba Ara menyeruduk dahinya. Mahesa memandang Ara yang lesu seperti habis kehilangan undian berhadiah satu milyar.
"Ra, kamu kenapa sih? Habis ketemu sama laki-laki yang dijodohin sama kamu itu? Dia nggak macem-macem sama kamu, kan?"
"Nggak."
Ara terpaksa berbohong demi kedamaian di muka bumi, daripada Mahesa tahu, malah bisa jadi cerita Mahesa Baja Hitam bertarung melawan Uchiha SaSaka.
"Mungkin karena kebanyakan makan es krim." Ara mengelus perutnya yang terasa kaku.
"Kamu kan biasanya pagi-pagi makan omelet, kenapa ganti menu jadi es krim?"
"Suasana hatiku memang lagi buruk. Tapi...nggak usah dibahas lagi ya. Aku sudah mewujudkan permintaanmu."
"Apanya yang mewujudkan?" protes Mahesa.
Mata Ara menyipit sambil menyiratkan kilat menyambar-nyambar. "Aku sudah jalan-jalan sambil gandengan tangan serta nyium jidatmu. Bukankah itu yang biasanya dilakukan orang-orang kalau lagi nge-date?"
Mahesa melongo. Tidak menyangka kesempatan satu permintaannya terpakai begitu saja.
"Tapi...itu...bukan..."
"Aku mau pulang. Perutku sakit." Ara meringis sambil memijit pinggangnya.
"Hadeeh...sini aku gendong belakang aja."
"Hidih, nggak mau. Yang sakit tuh perutku, bukan kakiku."
"Nggak usah bawel. Cepetan."
Mahesa menarik tangan Ara sampai badannya melengkung di punggung Mahesa.
"Mahesa! Turunin! Aku nggak mau ada yang liat trus ngerekam kayak kejadian bunga mawar itu."
"Biarin aja heboh." jawab Mahesa cuek.
"Kak Hesaaa!!"
Dari jauh terlihat seorang gadis usia dua puluhan menaiki sepeda dengan kecepatan tinggi. Dia menghentikan laju sepedanya dengan mengerem mendadak tepat di hadapan Mahesa dan Ara.
"Wo, wo, wo...santaiii, Bocah!" Mahesa mundur dua langkah menjauhi gadis itu.
"Pulang, Kak!"
"Laras? Kamu Laras, kan?" Ara berseru melihat gadis itu.
Gadis berbibir tipis yang memakai celana ketat dan kaos lengan pendek ber-merk centang satu. Sepatunya berlogo sama. Rambut gadis itu dikuncir tinggi ke belakang. Jam tangan digital terlilit di pergelangan kirinya.
Gadis yang dipanggil Laras itu memiringkan kepala melihat namanya disebut perempuan di gendongan Mahesa.
"Siapa ya?" tanya Laras ragu.
"Lupa ya sama aku? Dulu aku sering main ke rumahmu, kamu memang masih kecil sih waktu itu, masih ngompol."
Alis dan bibir Laras langsung mengkerut diingatkan masa lalunya yang memalukan itu. Dia mengangkat dagunya sambil mencoba mengingat siapa perempuan itu
"Ara! Aku Ara! Nggak inget? Kamu pernah minta aku gambarin karakter princess Disney. Belle. Beauty and The Beast."
"Oooh! Yang itu. Kak Ara yang itu."
"Iyaa...kamu cantik banget. Udah tinggi banget kamu sekarang. Mirip sama kakak kamu nih." Ara menunjuk kepala Mahesa sambil tertawa.
"Mas Hesa disuruh pulang sama Tante Nia. Tadi pamitnya cuma jogging kok lama nggak pulang-pulang, ternyata nyangkut di sini."
Laras melirik Mahesa tanpa memperdulikan pujian Ara.
"Ngapain aku disuruh pulang? Kayak anak kecil aja, baru pergi sebentar udah dicariin. Ini belum Maghrib."
"Kak Alice mau datang."
Mahesa berdecak.
"Aku mau nganter Ara pulang dulu."
"Dia kenapa sampai harus digendong segala? Kalian nggak pacaran, kan?"
Ara merasa canggung. Dia mendorong punggung Mahesa sambil minta turun.
"Tuh kan, adikmu aja nggak suka kamu gendong aku, apalagi penggemarmu. Turunin aku sekarang." bisik Ara di telinga Mahesa.
"Nggak. Aku antar kamu dulu baru balik ke rumah."
"Aku bisa jalan sendiri, Hes. Cepetan turunin." Ara menggelitik pinggang dan belakang telinga Mahesa.
"Geli!"
"Makanya turunin."
"Mas Hesa! Cepetan lah! Manja banget! Kayak orang lumpuh aja." kata Laras sambil melirik Ara.
Mendengar kata-kata adiknya, Mahesa menurunkan Ara lalu menggamit lengan Laras.
"Anak cantiik, kamu dikuliahin biar bisa pinter yaa...kalau ngomong ditata dulu, okee? Inget sopan santun ya, Dek."
Laras merengut. Dia melirik pada Ara lalu memutar sepedanya.
"Eh, tunggu dulu. Minta maaf dulu sebelum pergi."
"Ih, ngapain? Aku nggak salah kok!"
Mahesa merengkuh kepala adiknya lalu memaksanya menunduk ke arah Ara.
"Kakak apa-apaan sih?!"
Laras menepis tangan kakaknya sambil marah-marah. Mahesa malah merangkul pundak adiknya sambil tersenyum lebar dan manis.
"Jangan galak-galak lah, kamu makin mirip ibu-ibu."
Laras ingin membalas perkataan kakaknya itu tapi yang keluar hanya dengus sebal. Laras menyingkirkan tangan Mahesa lalu menggenjot sepedanya sambil berteriak, "Buruan! Jangan bikin Kak Alice nunggu lama!"
Ara memandang Laras yang pergi menjauh. Jauh di dalam hatinya dia merasa sedih. Anak kecil yang dulu cute, polos, sekarang sudah berubah dan melupakannya. Ara penasaran apakah gambar Belle yang dia buat untuknya dulu masih disimpan atau tidak.
Sepertinya Laras pun tidak menyukai kedekatannya dengan Mahesa. Lagi-lagi Ara mendesah panjang. Saka dan Mahesa memiliki orang-orang yang mungkin tidak menyukai keberadaan Ara di dekat mereka.
"Yok." Mahesa menggandeng tangan Ara tapi Ara menolaknya.
"Kamu cepetan pulang aja, aku bisa pulang sendiri kok. Bener kata Laras, nanti tamumu kasian kalau nunggu kamu lama."
Mahesa tertawa sambil berkacak pinggang.
"Omongan anak kecil itu nggak usah kamu pikirin, Ra. Dia jadi galak begitu sejak Mamaku meninggal. Mungkin dia insecure dengan siapapun yang dekat dengan kakaknya. Takut ditinggalin. Padahal nggak."
"Dia udah nggak kecil lagi, Hes. Omongan dia ada benernya juga."
"Ara..."
"Udahlah...masalah kecil begini nggak perlu repotin kamu. Sana pulang. Aku duluan ya."
Ara berlari kecil sambil melambaikan tangannya. Mahesa masih belum beranjak sampai Ara benar-benar menjauh. Mahesa menghela nafas sambil memandang langit yang sebagian tertutup mendung. Semburat biru di antara kelabu.
...* * * * *...
Sebelum naik ke atas, Ara mampir ke meja makan. Nasi goreng teri telah tersaji di meja. Mbok Siran sedang tidak di dapur. Demi menghilangkan angin yang tersesat di belahan usus mana, Ara mengambil sepiring nasi goreng itu lalu naik ke atas.
Dia berbelok ke kamar Alan lalu mengetuk pintunya.
"Alan, aku mau masuk!"
"Tunggu bentar..."
Terlambat. Ara masuk ke kamar ketika Alan baru menaikkan sebagian celananya sampai lutut.
"Hey! Privasi! Ingat?! Dasar mbak lampir! Kamu bukan mbak Kunti yang bisa tembus tembok seenaknya saja masuk kamar orang."
Alan menaikkan pinggang celananya sambil ngomel-ngomel. Sembarang kaos dia ambil dari lemari demi menutupi badannya.
"Aku dah pernah liat kamu telanjang."
"Itu pas aku umur berapa, semprul!"
"Iya. Maap. Buru-buru."
"Jalanmu santai kayak God of Gambler menang judi gitu kok santai! Bawa nasi goreng pulak! Bentar lagi aku udah milik Dista, Mbak. Aku tidak mau tubuhku yang indah ini dilihat orang lain selain dia..."
Ara menyuapkan satu sendok nasi goreng ke mulut Alan. Yang disuapin langsung diam sambil merem melek menikmati lezatnya nasi goreng teri ala Mbok Siran.
"Hmm...sumpah ini enak banget! Besok kalau aku nikah, Mbok Siran mau aku culik."
"Enak aja! Langkahi dulu mayat kecebong di selokan kalau kamu berani!"
Ara duduk di kursi depan meja belajar Alan. Alan duduk di tepi kasur sambil garuk-garuk punggung.
"Kaos jaman kapan sih ini kok gatel dipakai."
"Kamu pakeknya kebalik, dodol!" Ara geleng-geleng kepala melihat adiknya yang sudah sok jantan tapi pakai kaos aja masih perlu kuliah empat semester. Hadeeh...
Alan ngakak sambil memutar balik kaosnya.
"Ini tandanya mau dapet rezeki."
"Kalau gitu kamu pakai kebalik aja tiap hari. Coba dapet apa."
"Napa ke sini, Mbak?"
"Liat video yang kamu bilang tadi."
"Cari aja di HPmu sendiri. Nama chanelnya mastergosippalingsip."
"Males. Ayolah, tunjukkin bentar."
Alan berdecak kemudian mencari histori dalam penelusurannya.
"Nih. Mau liat apa sih?"
Mata Ara terbuka lebar ketika narasi-narasi liar menjadi bumbu penyedap dalam video itu. Apalagi di kolom komentar.
Mahesa TRR punya pacar? Siapa orang itu?
Dia beruntung sih, tapi entah ya, rasanya kok nggak rela...
Ikut seneng sih kalau itu beneran pacarnya, tapi lebih seneng lagi kalau single. Ha ha ha...
Kenapa Kak Mahesa buru-buru banget sih punya pacar, aku kan belum sempet meluk pas fan meeting kemarin. Sedih...
Mbak, tolong minggir dulu ya kalau kualifikasinya belum terpenuhi. Sadar diri dong Mahesa itu siapa!
Ara memukulkan sendok ke meja saking jengkelnya dengan komentar netizen. Alan kaget sampai hampir mengeluarkan jurus Kungfu Panda.
Ara menyendokkan nasi goreng sampai dua suap ke mulutnya. Mengunyahnya dengan cepat lalu menelannya dengan mantap seolah dia sedang melumat kalimat tanpa rem di video itu.
"Mereka emang los dol gitu kalau komen. Nggak usah dimasukin hati lah. Kalau kamu beneran suka sama Mas Mahesa, ya bilang aja suka, buktikan kalau kalian beneran..."
"Aku nggak pacaran sama Mahesa, Lan. Tapi walaupun begitu kok mereka gitu amat sih jempolnya."
Ara kembali teringat Laras. Adiknya saja tidak suka, apalagi para penggemarnya. Ara mulai merasa mungkin kata-kata orang-orang itu ada benernya juga. Mahesa adalah kesayangan mereka, sedangkan Ara siapa? Bisa dilihat dari apanya? Nggak punya apa-apa. Cuma punya nasi goreng sepiring.
"Pasti kamu minder lagi, kan? Rasa itu bakalan bunuh kamu pelan-pelan, Mbak. Semua potensimu bakalan tertutup. Gimana bisa maju?"
Ara mengucek rambut adiknya dengan tangan bekas nyomot kerupuk.
"Iih, minyaknya dong! Jangan ditempelin ke rambutku! Benar-benar yak mbak satu ini."
Ara bukannya berhenti malah kini mengelapkan tangannya ke kaos Alan. Semakin sibuk Alan menghindar, semakin gencar Ara mengejarnya.
"Udah! Udah! Sana, Mbak!"
"Thanks, Bro!"
Ara pergi begitu saja dari kamar Alan sambil membawa nasi gorengnya.
"Nasi gorengnya ditinggal woi!"
Brak! Suara pintu kamar ditutup.
Ara kembali ke kamarnya sambil mengelilingi isi kamarnya. Berantakan sekali. Untuk sementara Ara merasa beruntung sudah menutup semua akun media sosialnya. Kalau tidak, mungkin orang-orang akan mulai mencari-cari siapa dirinya. Semua hal yang berhubungan dengan The Dreamer, dia serahkan pada Pamungkas.
Ara mungkin akan menyanggupi rencana Pamungkas jika ingin maju seperti kata Alan tadi.
Ketakutan hanya akan membawamu jatuh lebih dalam, buktikan kalau kamu mampu dan masih bisa bertahan, Ara.
Ara mengambil ponselnya yang dari semalam belum dia aktifkan kembali. Beberapa pesan masuk bertumpuk-tumpuk. Salah satunya dari nomor tak dikenal.
Ara melihat sebuah foto profil seorang perempuan cantik berambut pendek.
"Ara, lama nggak ketemu, kok kamu ngilang sih? Aku dapat nomor kamu dari grup SMA. Tapi aku juga barusan gabung si. Aku ada acara juga di kota ini. Ketemuan yuk. Aku tunggu kabar kamu ya."
Ara mencoba mengingat-ingat nama dan wajah cantik itu.
"Risty? Risty yang itu, kah?"