LUKA ITU PENYEBABNYA
"Kau yakin nak? Wanita seperti dia? Bukan maksud ayah merendahkannya, tetapi dia berasal dari strata sosial yang lebih rendah dari kita. Selama ini ayah dan ibu diam, karena mengira kau hanya sekedar berpacaran biasa saja, lalu putus seperti yang sebelumnya. Tetapi Valerie? Wanita itu anak yatim piatu, ia bahkan memiliki dua adik yang masih harus ia sekolahkan. Tidak nak, jangan dia!"
*****
Direndahkan! Itulah yang Valerie Maxwel rasakan atas penuturan orang tua calon suaminya. Sejak saat itu, ia berjuang untuk dirinya sendiri dan adik-adiknya. Hingga Valerie menjadi seorang Independent Woman, dan memiliki jabatan tinggi di sebuah perusahaan ternama. Valerie pun tak pernah lagi percaya dengan pria, maupun cinta. Namun, kemunculan CEO baru di perusahaannya membuat Valerie bimbang. Pria itu bernama, Devan Horwitz . Pria dengan usia tiga tahun lebih muda dari Valerie. Dan memiliki segudang daya tariknya untuk memikat Valerie.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Semesta Ayi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Ada Luka di Matamu, Valerie"
* * *
Devan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, memecah keramaian jalanan kota Tokyo di Jepang. Valerie tertegun atas pemandangan menjelang malam kota tersebut. Selama ini jika ke Jepang, tentu sore sudah pulang bekerja dan ia pun langsung menuju kamar hotelnya. Melihat keindahan kota Jepang pun hanya dari kejauhan balkon kamarnya.
Dan ini kali pertama Valerie memasuki kawasan ramai dan modern tersebut. Matanya takjub melihat sekitar, Devan meliriknya dan bisa menebak dari sinar mata wanita itu jika Valerie sedang antusias saat ini. Devan pun membuka kaca jendela mobil, Valerie sedikit tersentak dan menoleh menatap Devan.
"Nikmati angin sejuknya, dan nikmati keindahan sekitar. Bagaimana? Kau pasti menyukainya." ujar Devan.
Valerie tersenyum tipis, ia pun menoleh ke arah luar jendela. Angin sejuk menyapa wajah cantiknya, Valerie memejamkan matanya sejenak dan menghirup udaranya. Devan membiarkan saja Valerie menikmatinya, pria itu fokus menyetir menuju sebuah restoran mewah khas Jepang.
Beberapa saat mereka pun tiba, Devan menepikan mobilnya dan mematikan mesin mobil. Valerie melihat sekitar, jelas kota indah yang ramai berlalu-lalang manusia. Devan membukakan pintu mobil sang gadis, Valerie pun menatap pria itu dan keluar dari dalam mobil. Sungguh acts of service seorang Devan terlihat jelas sekali, walau hati kecil Valerie tersentuh namun dengan cepat wanita itu selalu menyangkalnya.
Devan berjalan menuju sebuah restoran mewah, Valerie mengikuti pria itu. "Disini kita akan makan malam?" tanya Valerie.
Devan tersenyum mengangguk, "Benar, aku pernah makan malam disini. Rasa makanan khas Jepangnya sangat lezat, dan tidak semua juga menghidangkan makanan khas Jepang. Aku yakin kau akan menyukainya."
Valerie mengangguk kecil, ia menurut dan mengikuti saja langkah pria tersebut. Seorang pelayan restoran menyapa mereka, nyatanya Devan sudah melakukan reservasi. Valerie cukup terkejut, namun ia tetap cuek saja. Dan pelayan kini menyuruh mereka untuk mengikuti. Lalu Valerie kembali dibuat bingung kala mereka menaiki sebuah lift dan menuju lantai teratas.
Begitu pintu lift terbuka, mereka berjalan dan sebuah pintu dibuka oleh sang pelayan. Mata Valerie membulat takjub menatap sebuah rooftop indah saat ini. Berhiaskan banyak lampu cantik disana, di tambah cantiknya gedung-gedung pencakar langit kota Tokyo Jepang.
Valerie berjalan menuju pagar pembatas, Devan mengikuti sang wanita dan pelayan pun meninggalkan mereka berdua. Valerie memegang pagar pembatas menatap ke segala arah. Devan tersenyum bersandar di pagar tersebut, "Indah bukan?"
Valerie masih merasa takjub, "Ya, sangat indah."
"Kau menyukainya?"
Valerie mengangguk pelan, "Hm."
"Tidak sia-sia jika begitu usahaku menarik hatimu." ujar Devan.
Valerie tertegun sejenak, ia lalu menatap Devan dengan alis yang bertaut. "Maksudmu?"
Devan menggeleng, "Lupakan kalimatku tadi. Aku kesini hanya untuk mengajakmu makan malam."
Valerie menatap rooftop tersebut, ada banyak meja makan disana namun yang terisi makanan hanya satu meja berbentuk oval. Meja lainnya terlihat kosong. Valerie pun kembali menatap Devan, "Kau menyewa seluruh rooftop ini?" tanya Valerie.
Mata Devan mengerjap, ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Ya, begitulah."
"Seluruhnya? Dan artinya hanya kita berdua yang makan di rooftop ini?"
Devan mengangguk, "Ya Vale, kau benar."
Alis Valerie kembali bertaut, "Untuk apa Dev?"
"Hanya sekedar makan malam. Sudahlah, mari kita nikmati makan malam ini." ajak Devan meraih satu tangan Valerie dan hendak menariknya menuju meja mereka.
Namun Valerie menahan dirinya, Devan pun kembali menatap sang wanita yang tetap berekspresi datar tersebut.
"Tindakanmu ini tidak biasa." ujar Valerie.
Devan menghela nafas pelan, "Ya, kau tahu jika aku menyukaimu. Ini hanya usaha kecil, aku memiliki banyak uang untuk menyewanya."
"Aku tidak mempermasalahkan soal uang disini. Aku juga memiliki banyak uang, bahkan sekarang aku berniat mengganti kerugianmu karena sudah menyewa tempat ini. Aku tidak mau makan disini!" jelas Valerie menepis tangan Devan dan hendak pergi.
Devan meraih satu lengan Valerie dan menahannya, sang wanita pun berhenti dan terdiam sejenak. Devan menatap Valerie dengan lekat, "Cukup makan saja jika begitu. Tidak perlu pikirkan yang lain."
Valerie menggeleng, namun ia tidak mau menatap Devan. "Aku benci nuansa ini Dev. Aku mengira tadi banyak pengunjung disini, tapi nyatanya hanya kita berdua saja. Tidak Dev, aku tidak bisa. Kita tak ada hubungan spesial apapun!"
Devan mengeratkan genggaman tangannya di lengan Valerie, ia menatap sang gadis dengan sendu. "Vale, maaf jika aku berlebihan padamu. Aku hanya mencoba menarik perhatianmu, sebab kebanyakan wanita pasti akan menyukai hal seperti ini bukan? Tapi jujur saja, ini kali pertama bagiku melakukan hal seperti ini. Dan artinya hanya padamu, Valerie Maxwel." jelas Devan dengan lembut.
Valerie kini menoleh menatap Devan, dan pria itu tersentak melihat mata wanita itu berkaca-kaca. "Aku tidak suka!" ujar Valerie.
Devan sedikit tersentak, namun ia masih menahan tangan sang wanita. "Kenapa?"
"Aku benci hal seperti ini. Hanya itu!" jawab Valerie.
"Kau marah padaku?"
Valerie mulai menatap Devan dengan berani dan lekat, "Ya, jangan begini Dev, ini berlebihan bagiku. Kita hanya rekan kerja, jangan sampai ada rasa sungkan nanti di antara kita. Aku tidak ingin menyangkut pautkan masalah perasaan dengan pekerjaan. Aku bisa menebak seperti apa dirimu, dan kau adalah CEO nanti. Kau pemimpin perusahaan itu Dev, jadi mari kita bekerjalah dengan profesional."
Devan menelan ludah kasar, namun sorotan matanya kini terlihat tegas dan mengintimidasi. "Kita pertama kali bertemu bukan sebagai CEO dan asistennya, tetapi karena aku menabrak mobilmu saat itu. Aku menyukaimu dari awal pertemuan itu Valerie. Mulai sejak itu, aku mencoba mendekatimu. Jelas kau pasti menyadarinya."
"Aku diam karena aku merasa itu tidak mungkin Dev! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimamu. Sejauh apa kau berusaha, sebaiknya hentikan saja karena aku tetap akan menolakmu. Jangan buang-buang uangmu untuk hal yang tidak bermanfaat seperti ini."
"Aku justru sedang mencoba, agar kau memanfaatkan hidupmu dengan sebaik mungkin Valerie."
"Aku memiliki segalanya, tidak ada yang kurang dariku. Aku seorang independent woman, yang sukses bahkan terkenal sekarang. Bisnisku berjalan lancar bahkan termasuk pekerjaanku sebagai asisten CEO. Tak ada yang tidak ku manfaatkan di dalam hidupku selama ini Devan Horwitz!" tekan Valerie dengan tegas.
Devan mendekat, menatap lekat mata wanita itu yang masih berkaca-kaca. "Kesepian! Kau kesepian Valerie. Matamu menunjukkan hal demikian, aku bisa merasakannya. Ada luka di matamu, luka yang dalam dan lebar. Jika kau memanfaatkan hidupmu dengan baik, seharusnya matamu berbinar dengan cerah dan senyummu mudah kau terbitkan. Kau terluka Valerie, hatimu pasti terluka parah. Aku benar bukan?"
Deg,
Seketika air mata Valerie jatuh dari salah satu sudut matanya, bibirnya bergetar. Ia pun berbalik tak mau menatap Devan.
"Aku mau kembali ke hotel, sekarang!" ujar Valerie.
* * *
semoga devan bisa tegas sm keluarganya dan ga ninggalin vale, kalo itu terjadi kedua kali pada vale fix dia akan mati rasa selamanya bahkan seumur hidup 😥