Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 19
...***...
...Katakan padaku bahwa kau masih mencintaiku......
...Katakan padaku bahwa rasa itu masih ada......
...Kembalilah, datang padaku......
...Aku tahu mungkin ini terlambat tapi aku ingin memualainya dari awal, bersamamu.......
...***...
Suara denting elevator mengirimkan Melody dalam raut muka lelah serta dua kancing kemeja paling atas yang telah terlepas pada lantai dasar kantor.
Langkah kakinya menapak, terkesan buru-buru, bahu gadis itu sesekali bersenggolan dengan bahu lain yang juga tengah menuju ke pintu utama.
"Ck..." Berdecak jemu, Melody memutuskan untuk lebih memperlambat langkah.
Tidak ada gunanya bersaing dengan orang-orang yang juga sedang dirundung kelelahan setelah beban kerja seharian.
Tangannya kemudian merogoh ke dalam saku untuk meraih ponsel. Ibu jari dengan cekatan bergulir pada layar selagi kakinya masih terus berjalan. Beberapa notifikasi segera muncul dalam penglihatan dan beberapa email terkait pekerjaan, pesan singkat dari Faisal yang berisi bahwa lelaki itu telah menunggu di mobil, serta satu pemberitahuan lain yang tidak biasa ia dapatkan.
3 Missed Calls
Langkah Melody berhenti mendadak.
Apa yang tertera di sana hanyalah deretan angka yang menandakan bahwa nomor si penelepon tidak tersimpan di daftar kontaknya. Kendati demikian, perihal tersebut mampu membuatnya mematung di tempat, menatap ke digit yang seharusnya tidak memiliki arti secara terus-menerus hanya untuk memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan halusinasi semata.
Menarik napas, Melody mencoba untuk kembali berjalan. Ia telah berhasil melewati hari-hari terakhir tanpa gangguan. Tanpa pikiran memancing ingatan akan seseorang yang meneleponnya tempo hari hanya untuk berakhir terdiam hingga ia mematikan sambungan. Memori itu menyematkan sekelumit perasaan tidak nyaman yang mengikat dadanya.
Akan tetapi, apa yang tadinya sebatas mengikat, kini berubah menjerat.
Matanya menatap sosok tinggi yang berada di dekat pintu utama. Seseorang yang merupakan subjek utama dari penyebab kegelisahannya.
Lelaki dengan postur stagnan, tanpa bergerak....
"Brengsek mau apalagi kau kesini Kaal? Belum puas hah kau menyakitinya? Apa itu hobimu? menyakiti orang yang jelas-jelas peduli padamu?
Kaal masih saja diam tanpa berniat membalas ucapan gadis itu...
"Jawab aku brengsek!" Mona sang sahabat tampak terang-terangan mengirimkan makian kasar serta serangan tinju keras ke tubuhnya.
Melody bergegas menghampiri.
Ia menarik tangan Mona cepat, membuat sahabatnya membelalak terkejut dalam isyarat bahwa ia tidak seharunya melihat kejadian ini—maupun seseorang yang tengah gadis itu pukuli.
Membaca kekhawatiran Mona, Melody langsung meyakinkan sahabatnya dengan kalimat menenangkan.
"Tidak apa-apa Mona, aku yang akan berbicara dengannya, mulai dari sini aku yang akan menyelesaikannya."
"Tapi, Melody—"
"Percaya padaku."
Mona tampak meneliti keseriusannya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk kalah, mengalah, dan dengan setengah hati beranjak pergi.
Melody memastikan sahabatnya itu telah berada dalam jarak yang cukup jauh saat pandangannya beralih.
"Apa yang kau lakukan di sini Kaal?"
Dua mata sendu memandangnya balik kala sang pemilik berujar
"Aku hanya ingin berbicara padamu."
"Sayangnya aku tidak mau. Jadi, pergilah."
Tepat ketika Melody hendak berbalik badan, satu genggaman kuat menarik lengannya sehingga ia tertarik mundur ke belakang. Genggaman yang sama lantas memutar tubuhnya, membuat mereka mau tidak mau harus saling berhadapan.
"Melody," napas lelaki yang lebih tinggi menerpa wajahnya.
"Aku mohon dengarkan aku sebentar—"
"Untuk apa? Aku sudah cukup mendengarmu, Kaal. Aku sudah cukup memahami bahwa kita tidak akan pernah bersatu. Kau telah berhasil membuktikan poinmu dan aku menerimanya. Jadi cukup, hentikan drama mu Kaal, aku sudah muak"
Pernyataan itu seakan menampar Kaal mentah-mentah. Namun lelaki di hadapannya masih berusaha untuk menahan agar Melody mendengarnya bicara, agar ia tetap memperhatikan ketika kata-kata selanjutnya dibisikkan dengan begitu rendahnya.
"Aku menyesal, Melody."
Detik terasa membeku pada momen itu.
Isi kepala Melody mengulang apa yang baru saja Kaal katakan karena itu seharusnya menjadi satu-satunya mantra pelepas amarah yang selama ini ingin ia dengar.
Maka dari itu, ia tidak mengerti mengapa harus sekarang. Mengapa ketika ia tengah membangun dirinya kembali Kaal harus datang dan mengungkapkan sesuatu yang meretakkannya kembali.
"Melody aku—" Kaal tiba-tiba melanjutkan setelah mengecap keheningan yang terlalu lama.
"Aku sangat menyesal. Aku benar-benara menyesal, aku merasa bersalah, aku tidak semestinya berbuat begitu, dan—" racauan Kaal terputus sesaat, tatapan lelaki itu berangsur mengguratkan pesimisme.
"A-aku ingin meminta maaf kepadamu atas semuanya."
"Oh, kau masih berpikir aku punya sesuatu yang tersisa untuk dipertahankan?"
Melody mendengus.
Baginya, saat ini, Kaal Vairav hanya ingin memastikan bahwa ia tidak akan pernah bisa bangkit lagi sebelum gadis itu puas dan benar-benar meninggalkannya sendiri.
"Cari mainan baru favoritmu, Kaal. Aku sama sekali tak pantas untukmu, kau pantas mendapatkan mainan yang sesuai dengan yang kau inginkan, sadarlah kau tak pernah menginginkanku, jadi jangan paksakan dirimu untuk mencintaimu, aku tak mau memaksa siapapun lagi untuk tetal tinggal lagi, kau bebas Kaal"
Kelopak Kaal membuka lebar mengetahui arti tersirat dari ungkapan tersebut.
"Aku tidak pernah mengganggapmu—"
"Lalu kenapa aku selalu merasa seperti itu?"
Kaal bergeming, sedangkan Melody menerjemahkan absennya balasan dari lelaki itu sebagai konfirmasi bahwa tuduhannya tepat.
Pada momen itu pula, ia tertawa sarkas. Ini—tanpa dipungkiri, adalah kenyataan yang sepatutnya ia tanamkan di otaknya sedari dulu.
"Pergilah, seperti yang kukatakan barusan, kau bebas, lakukan apapun yang kau ingin lakukan Kaal"
Setelah mengucapkan itu, Melody lantas berlalu pergi
...***...
Ketika Melody mengira semuanya akan berubah seperti semula, dugaannya segera terbukti salah. Sebab keesokan harinya, ia kembali menemukan Kaal menunggu di depan pintu utama gedung kantornya.
Demi menghindar, Melody berpura-pura tidak melihat keberadaan lelaki itu. Ia berjalan cepat, melewati kerumunan orang dengan langkah terburu-buru walaupun dari pandangan periperal ia tahu bahwa Kaal tetap menemukannya.
Akan tetapi, Kaal tidak mengejarnya. Lelaki itu tetap berdiri di tempatnya, kedua kaki terpaku seolah tidak diizinkan bergerak, selagi penglihatan mengekor hingga Melody menukik masuk ke area parkir.
Mengernyitkan kening, Melody sedikitnya heran. Ia mengira, Kaal akan menimbulkan drama lantas mengejarnya tanpa mempedulikan orang-orang sekitar.
Berpikir mengenai apa sekiranya alasan yang mendasari aksi tersebut, Kaal hanya mendapatkan satu; mungkin itu memang sifat Kaal.
Mungkin Kaal Vairav memang mudah menyerah seperti itu.
Atau mungkin sedari awal, ia memang tidak terlalu berarti.
Entah mengapa, kesimpulan itu membuat Melody marah. Ia masuk ke dalam mobil Faisal dengan raut berang serta terus menatap ke luar jendela di sepanjang perjalanan. Mendeteksi bahwa ada yang salah, Faisal mencoba untuk memecahkan tensi.
"Melody, ada sesuatu yang ingin kau ceritakan?"
"Tidak. Tidak ada."
Jawaban itu datang terlalu cepat dan kasar. Melody berdecak ketika menyadarinya. Ia tahu pikirannya tengah berantakan, akan tetapi Faisal tidak pantas menerima perlakuan seperti ini. Terlebih karena lelaki itu tidak memiliki andil dalam masalahnya.
"Aku minta maaf." Melody menoleh seraya memaksakan senyum.
"Pekerjaan hari ini melelahkan sekali."
Itu adalah sebuah kebohongan, ia berjanji hanya akan menggunakan kartu ini sekali dan akan berusaha menjelaskan apa yang menganggu pikirannya ketika dirinya sendiri sudah lebih tenang.
Sementara itu, lelaki yang mengemudi di sebelahnya hanya mengangguk-angguk paham. Untaian kata motivasi lantas terucap diikuti usapan menenangkan di punggung
...TBC...