Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 TENTANG LARISSA
Pandangannya tak luput dari punggung tangannya yang baru saja dicium oleh Vania.
"Selama lima tahun aku menikah dengan Karina, ia tak pernah mencium tanganku. Aku lah yang sering mencium tangannya. Jika ia mau, ia biasa mencium bibirku."
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan wajah terheran-heran. Reno yang sedang menyetir pun dibuat heran.
"Apalagi yang terjadi kali ini?" tanyanya dalam hati.
"Apa? Mau tanya apa?" David memergoki Reno yang sedari tadi mencuri pandang ke arahnya. Ia sudah bisa menebak dengan gelagat asistennya itu.
"Hehe. Ada masalah apa, Tuan? Sepertinya sedang frustasi." Ia cengengesan dengan wajah tak berdosa padahal David sudah menatapnya dengan tajam sedari tadi.
"Seperti yang aku katakan waktu itu, aku ingin membatalkan pernikahan aku dengannya. Bagaimana caranya?"
Mobil berhenti di tengah jalan, mematuhi peraturan lalu lintas akan lampu yang berwarna merah sedang menyala. Beberapa pejalan kaki berbondong-bondong menyebrang di area zebra cross.
"Anda sungguh ingin membatalkan pernikahan dengan nyonya Vania?" tanya Reno memastikan. Ia melihat wajah bosnya yang seketika bingung. "Saya bisa membantu Anda, Tuan. Tapi asal Anda sudah yakin ingin mengakhiri hubungan dengan nyonya Vania. Dan Anda terima konsekuensinya dengan nyonya Larissa. Bahkan saya yakin tanpa Anda membatalkan, nyonya Vania mungkin yang akan meninggalkan Anda saat tahu dia menjadi istri yang ke dua. Dia pasti merasa dibohongi, dikhianati dan disakiti. Nyonya Vania masih muda, cantik dan ting-ting lagi, kalau suruh milih kenapa harus dengan pria beristri? Sayangnya dia tidak tahu, malang sekali," ujarnya panjang lebar.
"Apa kau bilang? Malang? Kau pikir wanita itu tidak beruntung menikah denganku? Seluruh wanita di kota ini mungkin akan menerima dengan lapang dada jika harus menikah denganku walaupun jadi istri ke 100 sekali pun. Kesempatan yang langka!" David berkata dengan angkuh.
"Baiklah, Tuan. Tinggalkan saja nyonya Vania. Dan menikah lah dengan wanita di seluruh kota ini kecuali dengan nyonya Vania," jawab Reno dengan berani.
"Hey. Kurang ajar!"
"Tuan, tolong lepas. Aku sedang menyetir." Reno kesulitan menyetir karna tiba-tiba kerah baju belakangnya ditarik keras oleh David. Bahkan ia sampai terbatuk-batuk karna lehernya sesak.
"Jangan bicara sembarangan lagi, Reno!" serunya memeringati Reno.
Reno hanya mengangguk sembari merapikan kemejanya. Ia kini fokus menyetir melihat jalanan yang mulai lengah, karna ia memilih jalanan yang sepi.
***
Ketukan jari kuku di meja menandakan ia sedang berpikir keras. Tangan satunya meraih secangkir teh hijau dan menyesapnya perlahan. Beberapa camilan ringan tersaji di atas meja. Tak ia sentuh sedikitpun karna lebih menghabiskan waktu untuk berpikir.
"Sampai detik ini, putraku tak menemuiku. Itu artinya ia belum melakukan apa yang aku mau. Aku harus bagaimana?"
"Bagaimana apanya?" Marshel keluar dari kamar mandi, telinganya mendengar semua yang diucapkan lirih oleh istrinya.
Larissa hanya menatap acuh suaminya dan memalingkan wajahnya. Menghabiskan air teh dalam sekali teguk. Wajahnya berubah merah menahan kesal.
"Tidak usah ikut campur! Jika aku dan kamu tidak pernah satu pikiran. Kita berbeda! Kita tidak pernah satu tujuan!" lantangnya membuat Marshel seketika mengepalkan tangannya.
"Larissa Caroline," panggilnya pada nama istrinya yang selalu dibanggakan. Istrinya memang dari keluarga yang kaya raya. Lebih kaya dari keluarga Marshel. Dulu istrinya menentang orang tuanya yang tak menyetujui hubungan mereka berdua, tapi karna kegilaannya dalam mencintai Marshel, ia pergi dari rumah. Hingga sekarang, hubungan keluarga Larissa terputus dengan mereka.
Terkadang kalau mengingatnya ada perasaan bersalah pada Larissa. Hingga detik ini hubungan pernikahan mereka tidak terputus. Padahal waktu itu, Marshel hampir saja menggugat cerai istrinya.
FLASHBACK ON
"Kenapa perusahaan kamu gak ada perkembangan? Bagaimana aku bisa hidup tenang kalau keuangan kita tiap bulan naik turun. Aku tidak bisa hidup seperti ini!" Larissa menangis, dia begitu frustasi karna melihat perusahaan suaminya yang gak ada perkembangan pesat. Padahal semua uang yang ia miliki sudah habis untuk modal.
"Apa kamu bisanya marah-marah saja? Apa kamu bisanya memaki aku saja? Kamu pikir aku selama ini tidak kerja? Aku tidur? Hah? Aku sudah berusaha, aku sudah bekerja sekeras mungkin. Tapi sepertinya memang jangkauan luas ku sengaja ditutup oleh perusahaan yang keluarga kamu miliki. Mereka seperti menutup akses untuk aku bekerja sama dengan pengusaha lain."
"Jangan bawa-bawa keluarga aku! Aku sudah memilih kamu dan meninggalkan mereka. Aku—"
"Aku tidak memintamu untuk meninggalkan mereka, Rissa! Aku bilang, sudahi hubungan ini. Aku bilang selesai! Aku dan kamu berbeda, kita seharusnya tidak bersama!" seru Marshel membuat Larissa semakin menangis kencang.
Dia terisak-isak seraya meraung-raung, hatinya begitu sakit saat mendengar perkataan suaminya. Dadanya bagai dihujam batu besar yang kokoh. Air matanya turun deras seperti air terjun.
Melihat istrinya yang menangis seperti itu, ia jadi tidak tega. Ia menghampiri istrinya dan memeluknya dalam dekapan. Larissa hanya terdiam, dia tak menghentikan tangisannya.
"A-aku mencintaimu," kata Larissa sembari terisak. "Aku sedang ha-hamil."
Waktu itu ia sedang mengandung tapi harus keguguran karna kandungannya lemah. Hingga beberapa tahun kemudian, barulah mengandung David.
Setelah kejadian itu, Marshel menyadari akan pengorbanan Larissa.
"Hanya aku yang ia punya saat ini."
FLASHBACK OFF
Marshel tak melanjutkan perkataannya setelah memanggil nama istrinya dengan lengkap. Ia mengurungkan niatnya untuk memarahinya dan memilih untuk segera berangkat ke kantor.
"Apa? Apa yang ingin kamu katakan?" Larissa menuntut suaminya untuk mengatakan apa yang tadi ingin diucapkan.
"Tidak. Lakukan apa saja yang kamu mau dan inginkan. Aku tidak akan melarang."
BRUGH ....
"MA ......" Larissa tiba-tiba pingsan, Marshel sangat panik dan langsung membawa istrinya keluar. Ia akan membawa istrinya ke rumah sakit. Takut jika penyakitnya kambuh lagi.
Wajahnya sangat cemas, ia begitu mengkhawatirkan keadaan istrinya. Walaupun sering berdebat, tapi ia begitu menyayanginya.
"Pa, Mama kenapa?" David langsung datang, ia membatalkan meetingnya dan langsung menuju rumah sakit.
"Pingsan," jawabnya.
"Papa dan mama berdebat lagi?" tebaknya.
"Belum sempat berdebat," jawab Marshel.
"Aisshhh... Pa, sampai kapan kalian bisa bersikap dewasa. Kenapa sudah berumur gini masih saja suka berdebat. Papa gak bisa ngalah sama mama? Mama lagi sakit, Pa." David malah memarahi Marshel, membuat Papanya semakin frustasi.
"Iya, Papa salah. Laki-laki memang serba salah."
Seorang wanita dengan pakaian berwarna cerah, tiba-tiba datang dihadapan mereka.
"Vania ...." Marshel terkejut karna menantunya datang. Karna saat David datang ia menanyakan soal Vania yang diberitahu atau tidak dan David hanya menggelengkan kepalanya.
"Kamu ...." David yang baru kembali dari toilet pun sama terkejutnya dengan Marshel. "Siapa yang memberitahumu soal mama?" bisiknya saat David menariknya menjauh dari Marshel.
"Jadi, kamu sengaja menyembunyikan keadaan mama Rissa? Tega kamu! Aku bisa-bisa jadi menantu yang durhaka, saat mertua sakit malah gak dateng! Kamu merusak reputasi ku!" teriaknya dan langsung pergi begitu saja.