When I Married With You

Dua hari berlalu dan alana mulai merasakan keanehan di sekolah. Dia merasa seperti di musuhi, bahkan yang biasanya menyapa kini seolah menatapnya penuh mangsa.

Alana tak tahu apa salahnya, tetapi dia benar benar tak nyaman di sekolah. Bahkan yeri pun ikut memberi jarak padanya. Seolah dirinya melakukan dosa besar pada mereka.

Saat bel berbunyi pun alana memilih diam di kelas dan bermain ponsel. Yeri tadi mengajaknya ke kantin, tetapi nadanya bicara nya yang seolah enggan membuatnya urung mengiyakan.

Karena rasa lapar terpaksa alana berjalan sendiri menuju kantin sekolah yang cukup jauh dari kelasnya. Sepanjang perjalanan alana merasa seperti di tatap sniper.

Bahkan bisik bisik tak berhati dia dengar sepanjang perjalanan.

“Dia selingkuhan nya?”

“Cantik sih lumayan, tapi kalau selingkuh tetap kayak sampah gak sih?”

“Iya bener. Muka nya polos tapi kelakuannya kotor”

“Munafik sih. Pura pura alim padahal mau jadi selingkuhan”

“Kasihan vira di selingkuhin”

Alana menahan tangisnya, niatnya ingin mengisi perut kini dia berbelok. Dia segera menuju belakang sekolah area tersepi. Dia tak tahan untuk tak menangis.

Alana duduk di belakang sekolah, dengan tergugu dan bahu bergetar. Dia menangis, tak tahan dengan omongan tajam orang orangnya.

Perutnya yang tadi berkeroncongan kini diam. Dia sudah kenyang, meski tanpa memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.

Alana terus menangis sendiri, penuh dengan kesepian. Dirinya sangat menyedihkan, menangis sendiri di tengah kesepian.

Suara langkah mendekat, alana menoleh begitu melihat seseorang duduk di samping nya. Itu naufal, dia di sana.

“Kenapa nangis?” Cowok itu bertanya pada alana.

Alana tak menjawab, segera menghapus air matanya dan mengelap wajahnya dengan lengan baju. “Gak papa” Jawab alana pelan.

“Kalau gak papa kenapa nangis? Lo lagi ada masalah?” Naufal bertanya lagi.

Alana tetap menggeleng. Dia hendak berdiri tapi tangannya di tarik sampai dia duduk kembali. Alana menoleh tajam hendak protes.

“Duduk. Gue tahu lo lagi gak baik baik aja, tenangin diri lo disini” Ucap cowok itu tanpa menoleh padanya.

Alana tak menjawab, dia menahan kembali tangisnya yang ingin kembali pecah. Kenapa ucapan seperti itu begitu sensitif padanya, itu hanya kalimat penenang.

“Kalau lo mau nangis silahkan gue pergi dari sini. Tenangin diri lo sampai lo baik baik aja” Setelah berkata demikian cowok itu pergi meninggalkan alana.

Tentu tangis alana kembali pecah, tak bisa dia tahan. Dia menangis sesegukan, seorang diri dengan menyedihkan. Bahkan saat bel masuk berbunyi pun alana tak peduli, tetap di sana terdiam.

Tatapannya kosong, alana tak tahu apa yang terjadi sekarang. Dia hanya bisa menghela napas sambil mengusap rambutnya kasar.

Dua puluh menit setelah bel berbunyi, alana memutuskan kembali ke kelas. Tiga jam pelajaran dia lewatkan, tak peduli yang penting hatinya sedikit lega.

Kelas sudah sepi, dan hanya tertinggal yeri yang tengah membereskan kelas. Ini piketnya, jadi dia pulang lambat.

“Mau aku bantuin?” Alana menawarkan, masih tersenyum manis.

Bukannya di sambut baik yeri justru malah berdecak padanya.

“Lo kenapa sih al? Lo suka sama ihsan sampe rela jadi selingkuhan?” Yeri menodongnya, berpangku tangan dan menatap Alana tajam.

Kepala alana menggeleng, membantah ucapan temannya. “Maksud kamu apa? Aku gak suka sama ihsan apalagi sampai jadi selingkuhan” Alana membantah.

“Gak usah munafik Alana, satu sekolah juga udah tahu lo rebut ihsan dari vira. Bukti nya juga ada, lo berdua sama dia. Pantes waktu lo pingsan dia yang bawa lo ke uks sampe di tungguin, toh ternyata kalian ada main di belakang” Yeri semakin memojokkan Alana.

Air mata alana lolos, jatuh membasahi pipinya. “Kok omongan kamu jahat banget? Aku pikir kamu gak kayak gitu. Aku gak pernah selingkuh sama ihsan apalagi rebut dia dari vira. Aku juga gak tahu kalau ternyata yang bawa aku ke uks ihsan sampe dia nungguin aku” Alana berkata, sedikit terpekik dan terbata bata. Mulutnya di penuhi oleh cairan dan air matanya yang terus mengalir.

Yeri berdecih, melempar dengusan nya pada alana. “Gak usah banyak omong alana, buktinya juga ada. Kalian pegangan tangan bahkan ihsan jemput lo. Vira sendiri yang ngomong dan semuanya udah beredar, gak nyangka gue lo begitu. Kecewa!” Yeri melempar tatapan tajam.

Lalu mengambil tasnya kasar dan keluar dari kelas. Seolah dia tak mau satu ruangan dengan alana. Alana terduduk kaku, air matanya sudah jatuh dengan deras. Ucapan yeri terasa menyakitkan, bahkan lebih sakit dari omongan orang orang tadi.

Alana kembali berdiam di kelas, dia menangis. Cukup lama, sekitar hampir setengah jam. Sembari mengelap jejak air matanya alana meraih tas miliknya yang masih teronggok di kursi, dia berjalan perlahan keluar kelas.