Pak Woto, petani sederhana di Banjarnegara, menjalani hari-harinya penuh tawa bersama keluarganya. Mulai dari traktor yang 'joget' hingga usaha konyol menenangkan cucu, kisah keluarga ini dipenuhi humor ringan yang menghangatkan hati. Temukan bagaimana kebahagiaan bisa hadir di tengah kesibukan sehari-hari melalui cerita lucu dan menghibur ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan yang Mengejutkan - Istana di Tengah Desa
Pagi yang cerah di desa Masaran, angin berembus sejuk membawa aroma pepohonan dan bunga-bunga di sepanjang jalan setapak. Hari itu, seorang tetangga lama, Mas Narto, baru saja kembali dari perantauan. Dua tahun sudah ia meninggalkan desa untuk bekerja di kota besar, dan pagi ini ia memutuskan untuk memulai harinya dengan joging, mengelilingi kampung halaman yang sudah lama ia rindukan.
Dengan langkah ringan dan semangat yang membara, Mas Narto berlari menyusuri jalan desa yang penuh kenangan. Ia melewati rumah-rumah yang sebagian besar masih tampak sama seperti saat ia tinggalkan dulu. Namun, ketika ia berlari mendekati area yang dulu dihuni oleh keluarga Pak Woto, kakinya tiba-tiba melambat, dan matanya terbelalak.
"Buset!" teriaknya dalam hati, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di hadapannya berdiri sebuah bangunan megah, sebuah rumah yang mirip istana dengan pilar-pilar besar dan halaman yang luas, lengkap dengan kolam renang dan taman yang tertata rapi.
Mas Narto berhenti berlari dan mengucek-ngucek matanya, memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi atau salah lihat. “Astaga, ini istana siapa? Kok tiba-tiba ada istana di desa ini?” gumamnya sambil menggaruk kepala. "Ini perasaan dulu cuma rumah kayu kecil. Apa aku nyasar ke desa lain?"
Sambil mengintip dari gerbang yang terbuka sedikit, ia melihat beberapa pekerja yang masih sibuk menyelesaikan beberapa perbaikan kecil di taman. Mas Narto menggeleng-gelengkan kepala. “Waduh, kayaknya aku udah terlalu lama di kota, sampai-sampai nggak sadar kalau ada istana begini di kampung.”
Saat itu, tiba-tiba Pak Woto muncul dari dalam rumah, mengenakan pakaian santai dan sandal jepit, siap untuk menyirami tanaman di taman. Mas Narto hampir tidak mengenalinya, karena penampilan Pak Woto sekarang tampak lebih rapi dan sejahtera daripada yang ia ingat. "Lho, Pak Woto?!" seru Mas Narto tanpa sadar.
Pak Woto yang mendengar suara itu segera menoleh, dan ketika melihat siapa yang memanggilnya, wajahnya berubah cerah. “Lho, Mas Narto! Kamu pulang juga akhirnya! Udah lama nggak kelihatan di desa.”
Mas Narto masih terkejut, namun ia segera tersenyum dan mendekati gerbang. "Iya, Pak. Saya baru pulang semalam. Tapi... ini... rumah Pak Woto sekarang? Kok kayak istana?”
Pak Woto tertawa lepas. “Hehehe, iya, ini rumah kami yang baru, Mas. Alhamdulillah, berkat rezeki dari ladang dan YouTube, bisa direnovasi besar-besaran.”
Mas Narto masih belum bisa menutup mulutnya. “Lho, kok bisa sampai sebesar ini? Saya kira ini rumah pejabat atau orang kaya dari kota. Eh, nggak tahunya ini rumahnya Pak Woto yang dulu cuma sawahnya segede lapangan bola!”
Pak Woto tertawa lebih keras lagi. “Yah, Mas, rezeki nggak kemana. Dulu sawah itu emang gede, tapi sekarang hasilnya jauh lebih besar lagi. Apalagi ditambah YouTube. Channel kami sekarang udah viral, subscribernya tembus ratusan ribu.”
Mas Narto menggeleng-gelengkan kepala, takjub dengan perubahan yang dialami tetangganya itu. “Aduh, saya benar-benar ketinggalan berita! Jadi YouTube bisa bikin kaya sampai begini ya? Saya dulu pikir cuma hiburan aja.”
Pak Woto mengajak Mas Narto masuk ke halaman. “Ayo masuk, Mas. Lihat-lihat rumah. Jangan cuma di depan aja bengong. Ntar dikira turis dari kota lagi.”
Mas Narto yang masih setengah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, mengikuti Pak Woto masuk ke halaman istana kecil itu. Ia melihat kolam renang di sudut taman, airnya jernih berkilauan terkena sinar matahari pagi.
"Kok ada kolam renang, Pak?" tanya Mas Narto heran. "Ini buat apa? Emang suka berenang?"
Pak Woto nyengir. “Kolam renang ini buat keluarga. Kanza, cucu saya, suka berenang. Kadang-kadang saya sama Puthut juga ikut nyebur. Tapi, jujur aja Mas, airnya dingin banget! Tiap kali masuk, rasanya kayak mandi es.”
Mas Narto tertawa terbahak-bahak. “Waduh, kolam renang tapi airnya dingin? Pakai mesin pemanas nggak sih?”
“Nggak, Mas! Saya malah nggak kepikiran waktu bangun kolamnya. Makanya, kadang-kadang kalau nyemplung, langsung kayak ikan kedinginan!” jawab Pak Woto sambil menirukan gaya orang yang menggigil.
Mereka berdua tertawa bersama, dan Mas Narto mulai merasa lebih nyaman meski masih takjub dengan apa yang dilihatnya. Mereka melanjutkan obrolan sambil berkeliling rumah, menunjukkan ruangan-ruangan yang kini tampak megah dan penuh dengan perabotan mewah.
“Wah, Pak Woto, saya bener-bener nggak nyangka. Dari petani biasa, sekarang rumahnya kayak istana gini. Saya sampai bingung, ini desa atau kompleks perumahan elit!” kata Mas Narto, masih terkagum-kagum.
Pak Woto tersenyum bangga. “Iya, Mas. Rezeki itu kalau datang ya harus disyukuri. Saya juga nggak pernah nyangka bisa punya rumah sebesar ini. Tapi ini semua karena kerja keras keluarga dan tentu saja, ladang-ladang yang luas itu.”
Mas Narto menepuk pundak Pak Woto. “Hebat, Pak. Saya salut banget sama Pak Woto sekeluarga. Jadi inspirasi buat kita semua yang masih merantau. Ternyata sukses itu bisa dimulai dari desa kecil seperti ini.”
Mereka berdua kemudian duduk di teras, menikmati minuman dingin yang disajikan oleh Marni. Puthut dan Kanza ikut bergabung, mendengarkan cerita Mas Narto tentang pengalamannya merantau di kota.
“Jadi, Mas Narto, setelah melihat rumah ini, masih kepikiran mau pindah ke kota lagi?” tanya Puthut sambil bercanda.
Mas Narto tertawa. “Hahaha, kayaknya saya lebih baik menetap di desa aja deh. Kota udah kalah sama istana kalian ini!”
Semua orang tertawa mendengar jawabannya, dan suasana penuh dengan keceriaan serta kebahagiaan. Sore itu, mereka semua merasa bersyukur atas apa yang mereka miliki, termasuk kehangatan dan kebersamaan yang terus ada meskipun waktu telah mengubah banyak hal di sekitar mereka.
Kepulangan Mas Narto yang dikejutkan oleh istana baru keluarga Pak Woto. Semoga kisah ini bisa menghibur dan memberikan tawa yang menyegarkan!
Pagi itu, setelah puas melihat istana mereka yang baru selesai direnovasi, Pak Woto dan Puthut memutuskan untuk pergi ke ladang. “Ayo, Thut, kita cek ladang. Kita kan harus tetap jaga benih-benih padi yang kemarin kita tanam,” kata Pak Woto dengan semangat.
Puthut mengangguk sambil tersenyum. “Siap, Pak. Lagian di rumah terus bosen juga. Kita lihat ladang sambil olahraga kecil-kecilan.”
Mereka berdua berjalan santai menuju ladang, dengan suasana pedesaan yang sejuk dan tenang. Sesampainya di sana, ladang mereka yang luas terlihat subur, hijau, dan siap untuk terus dirawat. Pak Woto dan Puthut segera memeriksa tanaman padi, memastikan semuanya dalam kondisi baik.
Namun, di tengah-tengah kegiatan merawat tanaman, pikiran jahil Pak Woto mulai muncul. Ia melihat seekor belut licin berenang di dalam selokan kecil di dekat ladang. Mata Pak Woto langsung berkilat penuh dengan ide jahil.
Sambil tersenyum licik, ia mendekati Puthut yang sedang fokus merapikan tanaman. “Thut, coba sini dulu, bantuin Bapak cek tanah di sebelah sana. Kayaknya ada yang nggak beres,” ujar Pak Woto dengan nada serius, berusaha menutupi niat jahilnya.
Puthut yang tak curiga, segera menghampiri. “Mana, Pak? Di sebelah mana yang nggak beres?”
Saat Puthut membungkuk untuk melihat tanah yang dimaksud, Pak Woto dengan cepat menangkap belut yang licin itu dan diam-diam menyelipkannya ke dalam kaos Puthut dari belakang!
Seketika, Puthut merasakan sesuatu yang dingin dan licin menyusuri punggungnya. “Eh... eh... apa ini?!” Puthut berteriak sambil melompat-lompat panik. Ia merasa ada yang bergerak di dalam kaosnya, tapi belum menyadari bahwa itu adalah belut!
“Wah, ada apa, Thut?” tanya Pak Woto dengan wajah pura-pura bingung, sambil menahan tawa.
Puthut, yang sekarang sudah benar-benar panik, mulai berusaha menggoyangkan badannya, menggaruk-garuk punggungnya, bahkan mencoba menarik kaosnya. "Aaaah! Licin, dingin! Ini apaan, Pak?!"
Pak Woto tidak tahan lagi. Ia tertawa terbahak-bahak sampai hampir terjungkal ke tanah. “Hahahaha! Itu belut, Thut! Bapak masukin belut ke dalam kaosmu! Hahahaha!”
“Belut?!” Puthut semakin panik, melompat-lompat seperti orang kebakaran jenggot, sambil mencoba mengeluarkan belut itu dari kaosnya. Ia berlari-lari keliling ladang, mencoba melepaskan makhluk licin itu dari tubuhnya, sementara Pak Woto semakin keras tertawa.
"Aaaah, Pak! Bantuin dong, jangan ketawa aja!" Puthut berteriak sambil terus berlarian. Namun, bukannya membantu, Pak Woto malah duduk di tanah, memegangi perutnya karena tawa yang tak tertahankan.
Akhirnya, Puthut berhasil mengeluarkan belut itu dari kaosnya dan melemparkannya kembali ke selokan. Ia masih terengah-engah sambil menatap tajam ke arah Pak Woto yang masih terbahak-bahak.
"Pak! Ini nggak lucu! Licin banget, tadi tuh! Saya kira ada ular!" keluh Puthut, meski di sudut bibirnya sudah mulai muncul senyum kecil.
Pak Woto mencoba menahan tawanya, tetapi gagal. "Hahaha, maaf, Thut. Bapak cuma iseng. Tapi seru kan, jadinya? Pagi-pagi udah ada hiburan di ladang."
Puthut mendengus, tapi kali ini ia juga ikut tertawa kecil. “Iya, Pak. Seru sih, tapi kalau kena saya lagi, saya nggak bakal tinggal diam! Bisa-bisa Bapak yang saya lempar ke selokan!”
Mereka berdua tertawa bersama, dan suasana ladang yang sebelumnya sepi kini dipenuhi oleh canda tawa mereka. Setelah kejadian jahil itu, mereka melanjutkan pekerjaan di ladang dengan lebih ringan, sambil sesekali menggoda satu sama lain.
Puthut, meski masih sedikit kesal, tidak bisa berhenti tertawa mengingat bagaimana dirinya melompat-lompat panik tadi. "Pak, bener-bener deh. Saya tadi kayak orang gila, lari-lari keliling ladang. Untung nggak ada tetangga yang lihat, bisa-bisa kita jadi bahan gosip."
Pak Woto tersenyum puas. "Yah, kadang hidup itu perlu hiburan, Thut. Kalau serius terus, malah capek sendiri."
Puthut mengangguk setuju. "Iya, sih. Tapi lain kali jangan belut lagi, Pak. Cari yang lain aja, yang nggak bikin saya loncat-loncat panik gitu."
“Siap, siap! Lain kali pakai kodok aja kali ya? Hahaha,” balas Pak Woto sambil tertawa lagi.
“Waduh, jangan! Yang penting jangan sampai saya masuk ke selokan aja deh, Pak,” kata Puthut sambil menggeleng-gelengkan kepala, ikut tertawa.
Hari itu, meski diselingi dengan kejadian konyol, Pak Woto dan Puthut berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka di ladang dengan hati yang riang. Belut nakal yang sempat membuat kekacauan kecil, ternyata malah membawa tawa dan kehangatan di antara mereka.
Sore harinya, ketika mereka pulang ke rumah, Puthut sudah tidak bisa berhenti menceritakan kejadian itu kepada Bu Sisur dan Marni. "Ibu, Mbak Marni, tadi Bapak jahilin saya! Dia masukin belut ke kaos saya!" cerita Puthut sambil tertawa.
Bu Sisur dan Marni yang mendengar cerita itu pun tak kuasa menahan tawa. “Waduh, Pak Woto, kok bisa-bisanya jahil begitu sama anak sendiri?” tanya Bu Sisur sambil tertawa kecil.
“Ah, sekali-sekali, Bu. Biar nggak tegang terus di ladang. Lagian, lucu kan?” balas Pak Woto sambil tersenyum lebar.
Marni yang sedang menyiapkan teh hangat untuk mereka, ikut tertawa. “Wah, Puthut, kamu tadi kayak gimana? Pasti heboh banget, ya?”
Puthut mengangguk sambil tertawa. “Saya lari-lari, Mbak! Pokoknya saya panik banget. Kirain ular atau apa, eh taunya belut!”
Semua orang di rumah tertawa mendengar cerita itu, dan suasana penuh dengan keceriaan. Momen jahil di ladang itu bukan hanya menjadi kenangan lucu, tapi juga menjadi bahan obrolan yang terus diulang-ulang dengan tawa di keluarga Pak Woto.