Bagi seorang anak baik buruknya orang tua, mereka adalah dunianya. Mereka tumpuan hidup mereka. Sumber kasih sayang dan cinta. Akan, tetapi sengaja atau tidak, terkadang banyak orang tua yang tidak mampu berlaku adil kepada putra-putri mereka. Seperti halnya Allisya. Si bungsu yang kerap kali merasa tersisih. Anak yang selalu merasa dirinya diabaikan, dan anak yang selalu merasa tidak mendapatkan kasih sayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1_Baju untukku mana Bu?
"kak nanti kalau ibu pulang dari pasar bawa apa ya?" tanya Mira kepada kakaknya 'Lia' yang duduk di sampingnya
"Seperti biasa kek nya dek, paling bawa gorengan sama belanja mingguan," sahut Lia.
Mereka berdua adalah kakak beradik, yang sulung namanya Lia Pancawati, dan yang bungsu namanya Mira Cahyati. Mira orangnya pendiam, pemalu, dan cerdas, namun jika di dalam rumah ia tetaplah seperti anak pada umumnya, ceria dan suka bercanda. Mira saat ini masih duduk di bangku kelas 3 SMP, sedangkan Lia orang lebih terbuka, banyak cerita, dan lebih banyak teman-temannya, saat ini Lia duduk di bangku kelas 3 SMA.
Usia mereka terpaut beda 3 tahun, akan tetapi meski begitu, perbedaan usia pada mereka tidak membuat hubungan mereka sebagai kakak beradik renggang, mereka tetap akrab dan saling mengasihi. Mereka berdua sudah seperti prangko yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Hari ini adalah hari pekan, tepatnya hari Sabtu, sudah dua jam yang lalu ibunya pamit ingin pergi berbelanja ke pasar untuk membeli keperluan mingguan rumah, sedangkan ayahnya sedang pergi ke rumah tetangga untuk cerita-cerita, bertukar fikiran katanya. Sudah 10 menit berlalu, mereka berdua duduk di bangku kayu yang ada di teras rumah mereka, sambil memandangi ke arah jalan raya, menunggu kedatangan ibunya dari pasar. Satu persatu angkot mereka perhatikan, tak jarang angkot kelewatan yang seharusnya turun di depan rumah tetangga malah turun di depan rumah mereka. Sehingga mereka mengira itu adalah ibu mereka, namun ternyata salah, itu adalah ibu tetangga.
Meskipun mereka tahu bahwa ibunya pulang biasanya hanya membawa kebutuhan dapur, dan gorengan ala kadarnya saja, tetapi hati mereka rasanya sangat senang, sebab mereka jarang makan enak. Setiap hari mereka hanya makan ikan asin, dan sayur hasil panen dari kebun. Jadi wajar saja jika mereka tak sabar menunggu kepulangan ibunya dari pasar.
Sebuah angkot dengan trayek 83 berhenti tepat di depan rumah mereka. Seorang wanita paruh baya memakai jilbab instan berwarna hitam turun dari angkot.
"Itu ibu kak" teriak Mira kegirangan
"Iya, yok dek kita bantu ibu membawa barang bawaannya"
Mereka pun mengejari ibunya, yang masih berdiri di bibir jalan siap-siap untuk meyebrang.
"Wahhh, ibu belanja banyak, apa ini Bu?" tanya Mira mengangkat satu kantong kresek hitam.
"Sudah bawa saja"
"Ini baju ya Bu?" tanya Mira lagi.
"Iya, itu baju, tadi harga sayuran yang ibu jual naik, jadi uangnya ada sisa jadi ibu belikan baju" ucap Wati sambil berjalan menuju rumah mereka.
"Yeeee, baju baru" sorak Mira senang, sambil berlari membukakan pintu.
"Tadi di pasar ramai tidak Bu?" tanya Lia sambil menenteng keranjang Wati, ibunya.
"Iya, sangat ramai, tadi aja ibu sampai desak-desakan di pasar lia. Begitulah kalau harga jualan para petani lagi naik, pasar pun ramai. Tapi kalau nanti pada turun, pasar pun ikut sepi meski hari pekan." Ucap Wati.
"Hehhehe, iya ya Bu"
"Makanya kamu sekolah yang bagus, biar nggak kayak ibu, yang hanya mengandalkan hasil dari kebun yang tidak pasti."
"Siap ibu"
"Capeknya" keluh Wati sambil merebahkan tubuhnya di kursi dalam rumah.
"Bu, kantongannya aku buka ya Bu" ucap Mira bergegas membuka kantongan yang tadi di bawanya.
"Sini biar ibu saja yang buka, kamu buatkan ibu minuman, ibu haus"
"baik Bu"
Mira berlari menuju dapur, buru-buru membuatkan air minum untuk Wati ibunya. Ia tak sabar ingin melihat dan mencoba baju yang di beli oleh ibunya dari pasar.
"pasti cantik" gumamnya dalam hati. Wajah senang berseri-seri terpancar nyata di wajah Mira.
Keadaan ekonomi Wati dan Rudi suaminya memang terbilang tidak mewah, tetapi sedang ke bawah, sehingga membeli baju baru adalah hal yang mewah dan menyenangkan bagi Mira dan Lia. Mereka dapat dikatakan jarang dbelikan baju baru oleh Wati, kadang beli baju hanya sekali setahun pas saat lebaran idul Fitri atau sekali enam bulan saja saat pergantian semester, itu pun hanya tersatu pasang, tidak lebih. Beruntung ukuran badan Mira dan Lia hampir sama, jadi mereka bisa ganti-gantian dalam hal pakaian.
"Ini teh ya Bu" Mira menyodorkan teh manis kesukaan ibunya.
Mira melihat kakaknya Lia sudah lebih dahulu mencoba baju barunya, sambil miring kiri dan miring kanan melihat bajunya di lekukan tubuhnya di depan cermin lemari yang ada di ruang tengah.
"Wahhhh, cantiknya, bajunya cocok sama kakak, ibu memang paling the best kalau masalah pilih baju" puji Mira, kepada Lia yang mencoba baju baru tunik berwarna maroon dan rok plisket dengan warna senada yang dibeli oleh ibunya.
"Iya dek, cantik, kakak suka"
'emmm, aku coba yang mana ya' ucap Mira lirih sambil menampakkan ekspresi wajah bingung untuk memilih baju yang mana yang ingin dia coba, mengingat di meja masih ada 3 pasang baju lagi yang tersisa, ada warna hitam, warna lilac, dan warna navi.
"Akhhh, aku coba warna lilac saja, tampaknya cantik" ucap Mira sambil meraih baju tunik dan rok plisket warna lilac di atas meja. Namun belum sempat tangannya menyentuh baju tersebut, Wati sudah lebih dahulu menepis tangannya.
"Kamu tak perlu coba, ini baju untuk kakakmu semua," ucap Wati santai, sambil menyeruput teh buatan Mira.
Mendengar perkataan ibunya, Mira hanya diam, rasanya seperti ada belati tajam yang menyayat hatinya. Di tambah lagi ia merasa malu kepada kakaknya. Padahal, dirinya tadi sangat senang saat tahu ibunya membeli baju baru, ia mengira di dalam kantongan kresek hitam yang tadi di bawanya itu, ada baju untuknya meski hanya sepotong kain saja. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi ia mencoba untuk mengendalikan emosinya untuk tidak menangis. Meski ini bukan pertama kalinya Wati bersikap tak adil kepadanya, tetapi rasanya tetap saja sama. Di perlakukan tidak adil oleh orang tua itu rasanya sangat menyakitkan.
'Sabar Mira, mungkin saat ini ibu belikan untuk kakak dulu, dan Minggu depan baru giliranmu yang dibelikan baju baru oleh ibu,' batin Mira. Ia berucap dalam hatinya untuk dirinya sendiri, dengan kalimat itu setidaknya hatinya sedikit tenang, dan ia mampu menahan rasa kecewanya.