Aina Cecilia
Seorang gadis yatim piatu yang terpaksa menjual keperawanannya untuk membiayai pengobatan sang nenek yang tengah terbaring di rumah sakit. Tidak ada pilihan lain, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh saat ini. Gajinya sebagai penyanyi kafe tidak akan cukup meskipun mengumpulkannya selama bertahun-tahun.
Arhan Airlangga
Duda keren yang ditinggal istrinya karena sebuah penghianatan. Hal itu membuatnya kecanduan bermain perempuan untuk membalaskan sakit hatinya.
Apakah yang terjadi setelahnya.
Jangan lupa mampir ya.
Mohon dukungannya untuk novel receh ini.
Harap maklum jika ada yang salah karena ini novel pertama bagi author.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GBTD BAB 34.
Pagi hari, Aina terbangun saat merasakan hembusan nafas yang begitu hangat menerpa wajahnya. Tubuhnya terasa berat, bahkan untuk bergerak pun rasanya begitu sulit.
Aina membuka matanya perlahan, lalu mendongakkan kepalanya. Seketika, netra nya membulat melihat wajah Arhan yang sangat dekat dengan dirinya.
Tangan Arhan melingkar erat di pinggangnya, sementara kaki Arhan membelit di pahanya. Aina yang hendak bangkit kesusahan melepaskan diri dari kungkungan suaminya.
Saat pelukan Arhan merenggang, Aina pun meringsut melepaskan diri. Dia mengangkat tangan Arhan pelan, lalu memindahkannya ke tempat lain. Begitupun dengan kakinya, Aina mendorongnya pelan agar Arhan tak terbangun.
Setelah berhasil membebaskan diri, Aina menghela nafas lega. Kemudian duduk di sisi ranjang sembari menatap wajah suaminya dengan intim.
Tanpa sadar, Aina menyentuh wajah Arhan yang terlihat sangat tampan. Dia menyusuri rahang suaminya yang terpahat dengan sempurna, alis yang melengkung indah, bulu mata yang tebal dan lentik, juga bibir merahnya yang membuat jantung Aina berdebar-debar.
Saat tangan Aina bergerak menyentuh bibir merah suaminya yang begitu lembut, Arhan membuka matanya lebar. Hal itu membuat Aina terkejut dan menarik tangannya dengan cepat, wajahnya memerah menahan malu.
"Kenapa menyentuh Abang diam-diam?" tanya Arhan dengan senyumnya yang menawan.
"Ti, tidak. Jangan kegeeran dulu! Tadi ada nyamuk di pipi Abang," jawab Aina gugup, lalu bergeser dari duduknya.
"Nyamuk?" Arhan menautkan alisnya.
"Sejak kapan di kamar ini ada nyamuk?" tanya Arhan sembari mengulum senyumannya.
Aina tampak semakin gugup, dia bingung harus menjawab apa. Dia benar-benar malu tertangkap basah seperti tadi.
"Ada tadi. Ya sudahlah, aku mandi dulu!" Aina mengalihkan pembicaraan dan bergegas bangkit dari duduknya, lalu melenggang menuju kamar mandi.
Melihat ekspresi Aina yang begitu, Arhan pun tersenyum sumringah sembari menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat.
Setengah jam sudah berlalu, Aina keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terasa segar, rasa lelahnya hilang begitu saja.
Aina duduk di depan cermin sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. Arhan hanya bisa menelan ludahnya kasar melihat rambut basah istrinya yang terurai.
Arhan bangkit dari tidurnya, kemudian berjalan menghampiri Aina dan berdiri di belakangnya. Entah kenapa, dadanya tiba-tiba bergetar memandangi wajah cantik istrinya dari pantulan cermin.
Arhan menekuk kakinya, punggungnya sedikit membungkuk. Dia mengambil handuk dari tangan Aina, kemudian membantu Aina mengeringkan rambutnya.
Perlahan, wajah Arhan semakin turun. Dia menyibakkan rambut Aina hingga tengkuk istrinya terpampang nyata di depan matanya. Aroma shampo dan body wash yang dipakai Aina membuat Arhan tak kuat menahan keinginannya.
Arhan menenggelamkan wajahnya di tengkuk Aina, hembusan nafasnya yang hangat membuat dada Aina berdenyut ngilu. Jantungnya berdegup kencang tak menentu. Aina membatu sembari menutup matanya perlahan.
Melihat Aina yang sudah terbawa, Arhan mengecup leher jenjang istrinya dengan lembut. Tangannya bergerak menyentuh permukaan leher Aina, lalu turun dan menyalip masuk ke dalam baju yang dikenakan istrinya.
Lembutnya sentuhan Arhan membuat tubuh Aina bergetar menahan ngilu, apalagi saat tangan Arhan merayap di dalam bra yang dia kenakan. Membuat jantungnya berdegup kencang dengan nafas kian memburu.
Tak kuat menahan hasrat yang bergejolak di dirinya, Arhan pun berpindah ke hadapan Aina. Lalu mengangkat tubuh istrinya hingga bangkit dari duduknya.
Arhan mengikis jarak diantara mereka. Dia menyentuh pipi Aina lembut, mengecup bibir Aina, lalu melu*matnya penuh kelembutan.
Puas mengesap bibir ranum istrinya, Arhan pun melepaskan pagutannya. Deru nafas keduanya saling bertumbur hingga merasakan hangat di wajah masing-masing.
"Abang menginginkan Aina, sangat." Suara Arhan terdengar serak menahan keinginannya yang sudah memuncak.
"Apa Aina tidak menginginkan Abang?" tanya Arhan dengan tatapan menuntut, dia tak bisa lagi membendung hasrat yang kian menggebu di jiwanya. Sudah hampir satu tahun dia berpuasa menahan li*bi*do nya.
Aina menganggukkan kepalanya, menandakan kalau dia juga menginginkan suaminya. Sentuhan Arhan tadi membuatnya lupa kalau tujuannya menikah hanya demi Aksa.
"Ya, Aina juga menginginkan Abang." Pipi Aina memerah mengatakan itu, dia menekuk wajahnya malu. Membuat Arhan melebarkan senyuman di wajah tampannya.
Arhan tak sanggup menunggu lagi, dia mengangkat tubuh Aina dan membopongnya ke atas kasur. Lalu mengukung tubuh Aina di bawah kendalinya.
Keduanya saling melu*mat di atas ranjang empuk itu. Menikmati lembutnya penyatuan bibir mereka yang semakin lama semakin bergerak dengan lincah. Kini mereka pun saling membelit lidah. Deru nafas keduanya membuat hening di kamar itu hilang seketika.
Arhan semakin menggila karena tak kuasa lagi menahan syah*watnya. Benda lunak di bawah sana mengeras dan semakin menegang, membuat dada Arhan terasa sesak.
Saat Arhan membuka pengaman dada Aina, jantungnya berdegup kencang. Benda kenyal itu begitu menggoda pandangannya, tidak hanya besar dan montok, tapi juga bersih dan mulus, tidak ada cacat sedikitpun.
Arhan menenggelamkan wajahnya di tengah-tengah sana, lalu mengecupnya pelan. Tangannya tak berhenti meremas benda itu, lalu menjilati dan menggigitnya dengan rakus.
Aina menggeliat geli menikmati permainan suaminya, sesekali bibirnya mengeluarkan desa*han yang membuat Arhan tergoda. Li*bi*do nya semakin memuncak, kemudian menggerayangi benda sensitif itu tanpa ampun.
Tubuh Arhan semakin panas, dia sudah tak sabar ingin menjelajahi inti istrinya. Saat melucuti celananya, tiba-tiba tangisan Aksa bergema memenuhi seisi ruangan.
Arhan dan Aina terperanjat kaget, tatapan mereka saling bertemu dengan mata membulat besar. Tiba-tiba saja Aina terkekeh melihat nyali suaminya yang menciut, wajah Arhan berubah aneh.
Aina mencoba bangkit dari kungkungan suaminya, Arhan dengan cepat menahannya. Mana mungkin dia sanggup menahan has*ratnya yang sudah di ujung tanduk.
"Jangan pergi! Kita selesaikan dulu, nanggung nih!" pinta Arhan memelas sebab batang rudalnya sudah OTW.
"Nanti saja kita lanjutkan! Kasihan Aksa, dia pasti haus." jawab Aina, kemudian membekap mulutnya menahan tawa.
"Jangan tertawa sayang! Senang ya menyiksa Abang seperti ini?" Arhan bangkit dari tubuh Aina, kemudian menarik celananya kembali. Ekspresi wajahnya benar-benar terlihat lucu hingga Aina tak bisa menahan tawanya.
Aina mengambil Aksa dari dalam box, kemudian duduk di sisi ranjang menyusui putranya. Sementara Arhan duduk di sampingnya dengan wajah gusar menahan keinginannya.
Aina mengulum senyumannya, memandang lekat wajah suaminya yang tiba-tiba terlihat datar.
"Kenapa harus bangun disaat seperti ini sih Nak?" gumam Arhan sembari mengapit tangannya diantara kedua pahanya. Di dalam sana rudalnya masih berdiri tegak.
"Mungkin Aksa tidak mau berbagi dengan Papanya. Hahahaha," Aina kembali terkekeh menertawakan suaminya.
"Kenapa tidak mau berbagi? Bukankah Papa yang lebih dulu memilikinya?" jawab Arhan seakan cemburu dengan putranya sendiri.
"Sudah, jangan begitu! Masa' cemburu pada putra Abang sendiri?" ucap Aina, kemudian menyentuh wajah Arhan dengan lembut.
"Bukan cemburu sayang, tapi waktunya saja yang tidak tepat. Aina pikir menahan begini rasanya enak?" geram Arhan dengan wajah memerah.
"Sabar! Namanya juga punya bayi, harus mengerti dengan keadaan!"
"Jika Abang ingin bebas, kenapa tidak menikah dengan wanita yang masih gadis saja?" tanya Aina.
"Husst, pertanyaan macam apa itu?" ketus Arhan kesal.
"Ya, kali aja. Mana Aina tau isi hati Abang yang sebenarnya?" ucap Aina.
"Cukup Aina, jangan memancing emosi Abang pagi-pagi begini!"
"Abang tau Aina belum sepenuhnya menerima Abang, tidak perlu mencari-cari kesalahan Abang!"
Arhan merungut kesal, kemudian bangkit dari duduknya. Dia masuk ke kamar mandi dan memilih menenangkan rudalnya di dalam sana.