Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Saat kamu tenggelam. Kamu pingsan dan aku membuka cadarmu."
"Waktu kecebur kolam itu?"
"Ya. Dan aku juga sudah memberikan pertolongan pertama padamu."
"Ya, nggak apa-apa. Rum nggak marah kok." Arumi malah tersenyum menanggapi pengakuan Aris.
"Beneran nggak marah?" Aris memastikan.
"Hu'um. Toh, sekarang sudah lihat. Lagian, aku kan sudah halal waktu itu."
"Meskipun ... aku juga menciummu?"
Kali ini Arumi mengernyit lebih tajam.
"
Menciumku? Maksudnya?"
"Pertolongan pertama yang kumaksud adalah memberikan nafas buatan padamu." Aris menegakkan punggung karena punggungnya sedikit pegal berbincang terlalu membungkuk.
"Mas memberiku nafas buatan waktu pingsan itu?" Arumi mengulang
pernyataan Aris karena tidak percaya.
Aris mengangguk seraya menjawab, "Ya. Nggak pa-pa kan, Sayang? Kan sudah halal."
"Ish, bukan halalnya yang kumaksud." Arumi melepas paksa genggaman tangan Aris.
Bibirnya mengerucut.
"Marah? Nggak ikhlas?" tuntut Aris.
"Bukan nggak ikhlas, Mas, tapi masalah kejujuran itu loh. Aku sudah percaya diri banget mempertahankan cadar tapi ternyata Mas sudah tau lebih dulu. Nggak lucu kan!"
Arumi masih memperlihatkan wajah yang masam.
"Nggak pa-pa. Justru aku semakin penasaran karena lihatnya pun cuma sebentar, cuma beberapa detik itupun nggak fokus karena khawatir banget kamu nggak sadar-sadar. Dan soal ciuman itu, ya namanya dalam kondisi tertekan, aku nggak terpikir mesum, nafsu atau segala macamnya. Nggak terasa apa-apa. Kan niatnya cuma mau menolong?"
"Nggak terasa apa-apa? Bohong banget!" ketus Arumi bernada kesal.
"Beneran. Beda dengan sekarang. Lihat saja sudah kepengen lagi." Aris mengakhiri ucapan dengan tawaan panjang, membuat Arumi menatapnya. Lalu karena kesal, Aris pun mendapatkan pukulan di lengannya. Arumi marah.
"Sudah, jangan ngambek. Kalau bibirnya mengerucut begitu, jadi makin kepengen loh
"Ck, udah deh, Mas. Jangan bercanda."
"Nggak bercanda kok." Aris melepas tangannya. Ia berdiri, lalu meraih lengan istrinya."
Ayo!" Ajaknya sambil menarik pelan.
"Ke mana?"tanya Arumi sambil mendongak.
"Ke kamar. Kamu nggak ngantuk?"
"Kita kan belum selesai membahas ini? Kebiasaan deh, apa-apa nggak dibikin tuntas."
"Kita tuntaskan dengan cara lain. Ayolah, mumpung belum keburu pagi." Aris menarik lengan Arumi lebih keras lagi.
"Eh, Mas mau ngapain?"
Arumi beranjak juga mengikuti langkah pria berkaos oblong itu.
"Lembur. Sekalian semalam suntuk kita nggak usah tidur."
"Eh!"
Arumi mengomel dengan bahasa yang tidak jelas. Aris tak menggubris. Ia terus menarik lengan istrinya hingga ke dalam kamar.
Blom!
Pintu ia tutup menggunakan hentakan kaki. Arumi pasrah saja, tak ingin menolak, karena ia pun menginginkannya.
**
Dua buah kemeja ada di
tangan Arumi. Dibawanya ke luar kamar untuk memastikan kemeja mana yang diinginkan suaminya.
Aris yang tengah memasukkan beberapa lembar kertas ke dalam map, terkejut ketika pintu ruang kerjanya terbuka.
"Mas mau pakai yang mana? Ini, atau ini?" Istrinya menunjukkan dua kemeja dengan warna yang berbeda, biru dan hitam .
"Yang biru saja," jawab Aris. Kemudian, ia sibuk lagi dengan barang-barang yang akan dibawa ke kantor.
"Mas nggak mengantuk?"
Terdengar pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Tidak mungkin ia tidak mengantuk. Semalaman mata tak terpejam sama sekali. Ia mengulang pergulatan yang benar-benar menguras tenaga. Setelah itu, Arumi mengajaknya bercerita banyak hal sampai matahari menyapa.
"Jelas mengantuk, Rum. Tapi harus tetap ngantor. Pak Wijaya menelepon tadi. Beliau ingin bertemu denganku."
"Pak Wijaya pemilik Wijaya Group itu?"
"Ya."
"Oke. Kalau begitu, Rum siapkan sarapan."
Aris tidak memperhatikan lagi istrinya kembali membawa kemeja-kemejanya. Ia lebih disibukkan oleh persiapan di pagi itu.
**
Aris terburu-buru memasuki ruang kerjanya setelah keluar dari ruangan Wijaya, pria pemilik Wijaya Group, tempat Aris dan teman-temannya bekerja. Ia mencari sesuatu yang diminta bos besarnya. Terlihat sibuk sekali di bantu oleh Dini, seorang bawahannya.
Saat masih mencari-cari sesuatu di laci meja kerjanya, Nijar masuk dan langsung menanyainya.
"Cari apa?" tanya Nijar. Aris mendongak karena terkejut.
"Laporan keuangan hasil audit bulan kemarin yang sudah di print. Pak Anwar mintanya sekarang juga."
"Ada di mejaku."
"Ah, kenapa nggak bilang dari tadi? Mana-mana! Sudah ditunggu pak Bos." Aris mendekati Nijar. Bersiap ke ruang kerja sahabatnya.
"Tunggu dulu!" Cegah Nijar.
"Ada apa? Kenapa?" tanya Aris beruntun.
"Ada seseorang yang sedang menunggumu. Dia di ruang kerjaku. Sekalian saja ambil laporannya di laci."
"Seseorang siapa?"
"Mantan lo. Aku tunggu di sini. Kalian ngobrol saja di sana ."
"T-tunggu-tunggu! Mantanku? Salma?" Aris langsung menebak.
"Ya. Dia dari pagi tadi nungguin kamu keluar dari ruangan pak Anwar."
"Mau apa dia? Ngapain juga menungguku."
"Tanya sendiri deh. Rumit urusannya."
"Ck, masalah baru lagi ...." Aris menggumam sambil berjalan meninggalkan Nijar. Berjalan ke ruangan sahabatnya yang dipisahkan dua ruangan lain.
"Mau apa dia? Bukannya mengurusi suaminya malah mencari-cari aku."
**
"Aris!"
"Kita sudah tidak ada urusan lagi, Salma."
Aris memejamkan mata, menahan agar emosi yang sudah berada di ubun-ubun tidak meledak saat itu juga.
"Aku meninggalkan dia, meninggalkan tunanganku. Aku sudah menyerahkan cincin pertunangan kami sebagai tanda mengakhiri hubungan kami. Itu semua demi kamu, Ris. Aku sadar, tiga bulan bertunangan dengannya tak cukup waktu untuk melupakan kamu. Aku memberanikan diri jujur padanya, bahwa aku masih mencintai kamu, Ris. Hanya kamu."