Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Aldian Marah Lagi
Acara Persit itu sudah selesai dilaksanakan. Haliza sejak kehadirannya pertama kali di acara ini, sama sekali tidak ikut aktif dalam kegiatannya. Bahkan saat namanya tadi disebut sebagai istri dari seorang Danton, Haliza hanya maju ke depan untuk memperkenalkan diri saja, setelah itu dia segera menuruni podium dan duduk kembali di tempatnya berjejer dengan istri-istri Perwira lainnya.
Padahal sejak tadi, ia lebih menginginkan duduk bersama istri Bintara yang berada di belakangnya. Sepertinya menyenangkan, terlebih ketika melihat keberadaan Halwa yang sempat ia lihat bersama seorang anak kecil. Rasanya ia ingin kenal dan dekat. Tapi sayang, keberadaannya dibatasi jejeran kursi, jadi Haliza susah jika ingin pindah.
"Kamu ini, bersikaplah lebih santai dan luwes. Aku malu jika nanti di belakang jadi bahan pembicaraan anggota lain bahwa istri Danton Aldian orangnya jutekan dan tidak mau kenal dengan yang lain. Apa susahnya ngobrol sesama istri Perwira yang berada di sisi kanan dan kiri kamu." Aldian protes dengan sikap Haliza tadi saat berada dalam aula Kencana ketika acara Persit sedang berlangsung.
"Aku malu, Mas. Aku juga masih baru dan tidak biasa untuk ngajak ngobrol duluan. Lagian istri perwira sisi kanan dan kiriku juga nggak ada yang mau ngajak aku ngomong, ya, sudah, sebaiknya aku diam saja," tukasnya menyahut.
"Ya ampun Haliza, basa-basi doang apa salahnya. Harusnya kamu orang baru banyak bermurah senyum dan menyapa ramah, gitu lho. Mentang-mentang kamu ini jenis manusia introvert, lantas kamu cuek saja dengan teman sisi kanan dan kirimu. Lagian istri-istri perwira yang di samping kamu itu, mereka sudah lama jadi istri Persit, harusnya kamu yang muda menyapa lebih dulu. Bisa-bisanya kamu mengklaim introvert, padahal pendidikan S1," dumel Aldian diakhiri kalimat cibiran.
"Lagian aku memang kurang suka ngumpul-ngumpul dalam keramaian seperti itu, Mas. Kamu tolong mengerti," pinta Haliza.
"Acara Persit ini hanya sekali-sekali, apa salahnya sekali-kali kamu beramah tamah dan tidak memperlihatkan wajah yang jutek begitu? Kamu itu kesannya sombong. Nanti aku pula yang kena. Kamu tahu omongan di luaran sana yang sering kali terdengar, aku dan kamu diomongi. Mentang-mentang Perwira dan suaminya Danton, istrinya belagu. Apakah Danton Aldian tidak ngajari istrinya sopan santun? Pastinya tidak jauh seperti itu omongan di luaran sana." Aldian menjeda omelannya yang sebagian isinya sebuah unek-unek dalam hatinya tentang sikap Haliza tadi.
Haliza mendongak wajahnya memerah karena merasa sedih sudah disalahkan Aldian. Dia tidak bermaksud sombong atau jutek, tapi keadaan dirinya yang tidak terbiasa berada dalam satu perkumpulan, membuat dia hanya berdiam diri dan sibuk sediri.
"Aku minta maaf kalau hati ini mengecewakan kamu, Mas."
"Lain kali bersikaplah biasa, ramah gitu lho. Bahasa dan keramahan itu tidak kita beli, kita gratis mengungkapkannya pada siapa saja asal sesuai pada tempatnya. Kamu ini pendidikan tinggi, paras juga lumayan cantik, harus malu dong sama pendidikan dan paras. Masa iya, pendidikan dan paras yang menunjang, tidak sinkron dengan sikap," pungkasnya mengakhiri omelannya pada Haliza. Lagipula mobil Aldian sudah tiba di depan gerbang rumah.
Dari dalam gerbang, Bi Kenoh sudah menyambut, membuka gerbang itu dengan lebar. Aldian segera memasukkan mobilnya ke dalam. Setelah itu, mereka menuruni mobil dengan sikap yang saling dingin.
Aldian kini benar-benar merasa sangat kecewa dengan Haliza. Istri Persit lainnya saja tidak seperti itu, tapi Haliza jauh dari kata ramah dan nol basa-basi. Hal ini membuat Aldian sangat malu.
Mereka kini saling beriringan menaiki tangga, Haliza sudah lebih dulu sementara Aldian di belakang. Perasaan geram sejak tadi masih tetap ada meskipun ia sudah ngomel sampai berbusa istilahnya.
Saat sudah di dalam kamarpun, Aldian tidak lagi menyapa Haliza. Dia sudah lelah harus ngomel terus, percuma ngomel dan memberi tahu jika Haliza tidak mau mendengar.
Aldian segera menuju kamar mandi, ia membersihkan diri, sebab hari ini ia masih harus ke kantor untuk melakukan apel sore.
Tanpa pamit dan basa-basi, Aldian pergi dari kamar. Kekesalannya pada Haliza masih jelas terlihat, hal ini membuatnya sangat sedih.
Deru mobil Aldian terdengar, lalu menjauh. Semakin lama semakin samar suara mobil itu, sampai Haliza baru bisa menangis setelah kepergian Aldian.
Haliza begitu sedih dengan omelan Aldian, yang sejak menaiki mobil sampai tiba di rumah tidak henti bercuap. Haliza sadar mungkin ini salahnya, tapi maunya Aldian tidak terus mengomelinya sepanjang jalan sehingga membuat Haliza bersedih dan merasa down.
"Sudah aku bilang, aku tidak suka tentara dan semua yang berhubungan dengannya. Aku sungguh tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan tentara, harusnya Mas Aldian mengerti perasaanku." Haliza bicara sambil terisak. Ia sungguh merasa sedih keputusannya menerima perjodohan ini, justru membuatnya tersiksa.
"Kamu harus coba masuk ke dalam lingkungan itu, Za. Tidak ada salahnya kamu harus terjun ke dalamnya. Terjun bukan berarti kamu sehari-hari bergaul atau ngobrol duduk bareng seharian dengan istri-istri tentara. Buang ego kamu tidak suka tentara, toh pada kenyataannya orang terdekat kamu adalah tentara. Tolong lakukan apa yang mbak sarankan. Kamu harus lebih santai saat berhadapan dengan orang-orang dari lingkungan tentara. Itu semua tidak buruk kok," saran Hanin ketika Haliza mencoba menceritakan unek-uneknya sambil menangis.
"Jangan bangun perasaan tidak suka atau tidak biasa. Sebab mau tidak mau kamu tetap akan bertemu lagi dengan lingkungan tentara. Acara Persit atau kegiatan di kantor suami kamu itu sewaktu-waktu pasti ada. Cobalah beradaptasi dan kamu harus tetap bersemangat. Ubah pola pikir kamu tentang tentara. Tentara itu menyenangkan kok," bujuk Hanin sekali lagi.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Mbak?"
"Kamu minta maaf sama suami kamu dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dan jangan lupa, nanti saat acara di kantor suami kamu, kamu jalankan saran Mbak. Tidak sulit kok," pungkas Hanin untu yang terakhir kali.
Haliza meletakkan Hp nya di atas meja rias, ia duduk termenung di sofa kamar itu sembari memikirkan kembali semua perkataan mbaknya tadi.
"Ternyata tidak mudah jadi istri tentara, harus jaga sikap ini itu. Rasanya aku tidak sanggup, apalagi kalau Mas Aldian sudah marah dan ngomel. Ternyata mulutnya itu persisi bibir perempuan, pandainya ngomel dan bawel," gerutu Haliza seraya berdiri menuju meja rias.
Tangannya meraih laci meja rias, Haliza bermaksud mengambil kotak perhiasan yang diberikan Aldian beberapa hari yang lalu setelah pulang dari dinas keluar kota.
Kotak itu perlahan dibuka, saat sudah terbuka, ternyata di dalamnya terdapat sebuah kalung emas yang indah.
"Bagus banget, berapa gram beratnya ini, ya? Kenapa Mas Aldian memberikan aku oleh-oleh kalung emas ini, padahal saat pergi, dia dalam keadaan marah?"
Haliza segera meletakkan kembali kalung emas itu saat pintu kamar sudah dibuka seseorang.