Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Percayalah
Dilara merebahkan tubuhnya yang letih ke atas kasur. Entah kenapa, akhir-akhir ini tubuhnya gampang letih. Aktifitas yang dikatakan ringan saja sudah bisa membuat tubuhnya seperti habis dipukuli dengan balok kayu. Terkadang, jika dia memaksa beraktifitas, kepalanya langsung pusing dan suhu tubuhnya tiba-tiba meningkat, menyebabkan dia demam.
" Sshh.. " Ringis Dilara sambil meremas perutnya yang terasa nyeri.
Dilara terpaksa kembali bangkit. Dia lupa minum obatnya. Dengan langkah tertatih, dia mencari obat di dalam.tas yang pagi tadi dia tebus di apotik, lalu mengambil air di dispenser yang terletak di sudut kamar.
" Kista di ovarium Bu Dilara suspek ganas, bu. Alangkah baiknya segera ditindak lanjuti agar tidak makin parah. " Peringati dokter yang menangani istri Fikri itu, ketika tadi pagi dia melakukan check up.
" Semoga tidak demam lagi malam ini. " Gumamnya seraya mematikan lampu utama, yang membuat kamar menjadi remang-remang pencahayaannya karena tersisa lampu tidur yang menyala.
Dilara kembali merebahkan tubuhnya, menarik selimut sebatas dada dan meringkuk seperti bayi di dalam kandungan. Perutnya berdenyut sakit. Hanya dengan meringkuk seperti ini, rasa sakitnya akan sedikit berkurang.
♡♡♡
Suara berisik benda berat saling bergesekan menganggu Fikri yang tanpa sadar tertidur di dalam mobilnya. Fikri menggeliat lalu menatap ke arah jendela mobil yang setengah terbuka dengan memicingkan matanya. Sekilas diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
" Sudah jam sembilan ?! Artinya aku sudah sejam lebih tertidur di sini. " Gumamnya lirih lalu menatap kembali ke arah pintu pagar warna coklat tua itu.
Pintu pagar yang terbuat dari besi nampak di dorong perlahan oleh perempuan berumur empat puluhan. Perempuan paruh baya itu adalah asisten rumah tangga di rumah orang tuanya, Fikri mengenali perempuan yang sedang membuang sampah itu.
" Bu Atin ! " Serunya lalu menurunkan penuh kaca mobil.
Perempuan paruh baya itu menoleh ke asal suara, menatap dengan memicingkan mata. " Pak Fikri ! " Gumamnya mengenali Fikri karena penerangan jalan cukup membantunya untuk mengenali anak majikannya itu. Asisten rumah tangga itu mendekat ke arah mobil yang ada di seberang jalan.
" Kenapa bapak tidak masuk ? " Tanyanya setelah berdiri di samping mobil Fikri.
Fikri melirik ke arah lantai dua rumah orang tuanya. Terlihat kamar yang diyakininya ditempati oleh istrinya itu sudah gelap. Artinya sang istri sudah tidur.
" Ibu Lara sudah tidur ? " Tanyanya untuk memastikan.
" Sepertinya sudah, Pak. Soalnya kamarnya sudah gelap. " Jawab Bu Atin ikut melirik ke arah kamar Dilara.
" Hhmm... Tolong dibuka pintu pagarnya, bu ! Saya mau istirahat di sini juga. " Ujar Fikri lalu menghidupkan mesin mobilnya.
Gegas wanita paruh baya itu mendorong pintu besi itu dan menunggu sang majikan memasukkan mobilnya.
Fikri memarkirkan mobilnya di pelataran rumah tanpa memasukan kendaraannya itu ke dalam garasi yang tersedia. Tubuhnya benar-benar terasa lelah, dan menuntut untuk segera diistirahatkan. Meskipun dia tertidur di dalam mobil tadi, tapi posisi tidurnya yang sambil duduk membuat tubuhnya sangat tidak nyaman.
Langkah kaki Fikri menuju kamar tamu di lantai satu terhenti. Sejenak dia mendongakan kepalanya menatap ke arah lantai dua, di mana istrinya berada.
Entah kenapa, langkahnya menuntun ke arah undakan tangga. Niat awal ingin tidur di kamar tamu, dibatalkan. Dia memilih ingin melihat sang istri terlebih dahulu. Kakinya menapaki setiap anak tangga dengan langkah pelan, seakan takut menimbulkan suara. Dia seperti sedang mengendap-endap.
Bu Atin yang menyaksikan ini hanya tersenyum kecil. " Pak Fikri seperti maling yang takut ketauan. " Kekehnya sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Fikri menekan knop pintu dan mendorongnya pelan. " Syukur tidak dikunci. " Desahnya pelan seiring tubuhnya yang masuk perlahan ke dalam kamar dengan pencahayaan yang minim itu. Perlahan Fikri mendekat dan berdiri di sisi ranjang. Tangannya terulur membelai lembut kepala sang istri. Dia sangat merindukan istri cantiknya itu.
Fikri menunduk. Mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan wajah Dilara. Ingin rasanya dia mengecup wajah itu, tapi akal sehatnya masih berjalan, dia tidak ingin mengganggu tidur istrinya. " Abang sangat merindukanmu, sayang ! " Bisik Fikri sambil menatap teduh wajah cantik sang istri.
Fikri menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Dilara. Wajah tenang sedikit pucat itu kini terlihat jelas. Deru napas Dilara yang teratur, menandakan wanita cantik itu telah pulas mengarungi mimpi.
Fikri kembali menegakkan tubuhnya dan berbalik menuju kamar mandi. Dia ingin membersihkan badannya yang terasa lengket. Dia tidak perlu khawatir tentang pakaiannya, kamar ini memang biasa ditempatinya dengan sang istri ketika ingin menginap di sini. Di dalam lemari sudah tersedia beberapa potong pakaiannya bersama Dilara.
Rumah ini biasa dijadikan tempat liburan mendadak keluarganya, kalau ingin menjauh sejenak dari keramaian kota. Setiap anggota keluarga sudah memeiliki kamar masing-masing di sini, termasuk keluarga kecil Fanya, adik Fikri.
♡♡♡
Gemericik suara air dari dalam kamar mandi mengusik tidur lelap Dilara. Wanita anggung itu mengangkat kepalanya sedikit dan menoleh ke arah kamar mandi.
" Siapa yang sedang mandi ? " Gumamnya pelan sambil mengernyitkan kening. Hidung mancungnya mengendus udara. Aroma parfum tidak asing menyeruak indra penciumannya.
" Abang ! " Desisnya mengenali aroma yang ditinggalkan oleh Fikri. " Dari kapan dia di sini ? " Imbuhnya lagi bermonolog.
" Ceklek "
Gegas Dilara kembali merebahkan kepalanya ke bantal dan menutup matanya ketika telinganya mendengar suara pintu kamar mandi dibuka. Dia pura-pura tidur.
Fikri membuka lemari pakaian dan mengambil pakaian rumah yang tersedia di sana. Setelah selesai memakai baju, laki-laki itu ikut merebahkan tubuhnya di samping sang istri.
" Abang sangat lelah, sayang. Abang butuh kamu. " Bisik Fikri meraih tubuh ramping Dilara dan membawanya ke dalam dekapan. Dihirupnya dalam-dalam aroma lembut dari tubuh sang istri. Dia sangat merindukan aroma itu.
" Andai Dilara tidak bisa memberimu anak, apa kau akan meninggalkannya, dan memilih Maria ? "
" Tidak, Mi ! Fikri tidak akan meninggalkan Lara apapun alasannya. Fikri menikahi Lara, murni karena cinta, bukan karena ingin menjadikannya mesin pencetak anak. Jika kami akan mendapatkan keturunan, Fikri anggap itu hanya bonus dalam rumah tangga kami. Fikri menyayangi Dilara dengan semua apa yang kurang dan apa yang lebih padanya. "
Sekilas percakapannya dengan kedua orang tuanya siang tadi, kembali melintas di benaknya. Fikri menarik napas berat. " Apapun yang terjadi, abang tidak ingin berpisah denganmu, sayang ! " Lirih Fikri seraya mengecup dalam-dalam pucuk kepala sang istri.
" Percayalah, abang sangat menyayangimu. " Ucapnya lagi semakin lirih.
Tanpa Fikri sadari, tetes tetes cairan bening berlomba keluar dari sudut netra istrinya. Ya, Dilara mendengar ungkapan sang suami. Entah apa yang ada dipikiran Dilara saat ini, yang jelas dia juga sangat merindukan pelukan sang suami.
lanjut thor
..