Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 12
Di atas ranjang aku masih berpikir keras, apakah Trio benar-benar perduli pada keluargaku, apakah dia akan membantu untuk bicara pada orang yang ia sebut om. Apakah Trio memang sebaik itu, saat berkata dipaksa, benarkah itu bukan sebuah alibi. Nalarku cukup menggeliat, aku mulai menduga-duga apakah sebetulnya Trio sungguhan menyukaiku? Ah, sialan. Apa hubungannya semua yang kupikirkan, terlalu naif jika aku masih berharap kebaikan Trio karena ia menyukai bahkan mencintaiku. Kau harus berpikir lebih dewasa karena ini bukan lagi menyangkut dengan perasaan.
Hening, malam ini teras kalut. Meski beban itu hanya pantas dipikirkan oleh orang dewasa, faktanya gadis baru gede sepertiku juga ikut kena imbasnya, aku sama seperti ayah dan ibu, tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, kepikiran soal semua hal yang akan dilalui cukup berat. Mataku masih menatap langit-langit kamar, lampu hias berwarna putih terang dan diitari lampu berwarna biru muda membuat aku semakin nyaman untuk tidak.melanjutkan kantuk. Jam dinding yang berdetak menambah suasana sunyi, AC yang diperkencang menciptakan sedikit bunyi. Ada apa, malam ini terasa mencekam meski aku tidak dirundung rasa takut. Aku baru SMA dan usiaku belum menginjak 20 tahun, tapi permasalah yang memebratkan pikiran sudah keterlaluan. Ia menghilangkan sebagian kebahagiaan karenanya, ketakutan dan kekhawatiran soal masa depanku yang hancur selalu menghantui. Pada intinya, aku tidak mau semua kekayaan ini lenyap tanpa jejak. Masih banyak rencana dan mimpi yang belum kugapai, lantas bagaimana cara agar semua membaik.
Waktu semakin mengantarkan pada tengah malam dan aku belum juga tertidur. Masih terjaga bersama deru mesin kendaraan yang masih lalu lalang di depan portal masuk perumahan. Kebetulan tempat tinggalku rumah ketiga setelah pembatas jalan raya sehingga secara gemuruh berisik dari pengendara masih terdengar jelas. Tidak, tidak ada gangguan yang kurasa, justru dengan kebisingan, aku merasa tidak kesepian saat tidak bisa nyenyak seperti ini. Kalau pun sedang takut, aku tidak akan mungkin meminta ibu menemani. Aku sudah besar bukan, rasanya tidak pantas mengajak ibu tidur bersama.
Selang beberapa jam, aku yang kelelahan terlalu berpikir keras tertidur jua. bagaimana pun kantuk itu akan datang jika mata sudah mulai sembab karena titikkan air mata yang terus jatuh dari sebuah penyesalan tidak berakhir. Rangkaian khayal terus bertabur, berharap kembali ke masa lampau, semasa semua kehancuran belum dimulai. menjadi dalang dari kebobrokan yang dirasa adalah kesalahan besar yang sulit dimaafkan, iya. Memaafkan diri sendiri dari masalah besar ternyata bukan hal mudah yang dapat dilakukan begitu saja.
Pagi ini terasa hambar. Tidak ada senyum ringan yang terlihat. Ayah dan ibu sangat tegang, semua menjadi sepi selain suara sendok dan piring yang bertabrakan. Aku memahami apa yang sedang terjadi, selamanya kejadian ini akan terus membuatku merasa bersalah. Meja makan juga sepi dari makanan pembuka dan penutup. Tidak banyak request yang diminta ayah seperti biasanya. Hanya ada roti tawar dan selai juga air bening, tidak ada buah berserat, susu atau jus buah. Meja menjadi terlihat lebih luas dan bersih. Ibu melihat wajahku dan tersenyum namun terbesit rasa heran mengapa seperti habis menangis.
"Kamu habis nangis?" tanya ibu.
"Jangan khawatir Bu, aku cuma tidak bisa tidur semalam."
"Ya Tuhan, tidak perlu ikut memikirkan apa pun De. Kamu belajar dan sekolah saja yang fokus." aku hanya mengangguk setuju tanpa membalas perkataan ibu lagi.
"De, saat ini, mungkin kamu akan diantar pak Syarif tapi bersama ayah," ucap ibu terdengar sangat hati-hati.
"Kenapa Bu?" aku ingin lebih tahu.
"Mobil kita akan dijual satu untuk mengganti sebagian uang kantor yang hilang untuk gaji karyawan dan beberapa ganti rugi dari beberapa data saham yang dicuri. Itu pun tidak menutup semuanya, masih kurang banyak." aku hanya menarik napas panjang. Aku harap Trio masih diberi rasa kasihan pada keluargaku untuk tidak melakukan tindakan selanjutnya.
"Ayah tidak lapor polisi, Bu?" tanyaku polos.
"Belum De, ayah marah sekali pada mereka, ayah sedang mencari orang handal dalam bidan IT untuk membobol balik nomor rekening yang tercantum dan email mereka yang sudah mengirim akses untuk membobol data pribadi kantor. Ayah masih penasaran." ujar ayah berapi-api.
"Apa biayanya tidak akan mahal, yah?" ibu seperti kurang setuju.
"Kalau sesuai cara kerjanya, tidak masalah, Bu. Asal semua saham dan aset kantor bisa kembali." aku menunduk lesu.
*****
"Hati-hati sayang." ayah mencium keningku sebelum aku keluar dari mobil dan masuk ke gerbang sekolah. Aku tidak selera untuk bersikap ramah pada semua orang sekarang.
"De," seperti biasa, di sekolah ini hanya Lia yang sering datang padaku karena kami sudah cukup dekat.
"Li, hari ini jangan ganggu aku dulu ya." pintaku.
"Ada apa?"
"Please!"
"Kamu harus kasih tau, mungkin aku bisa bantu De. Kalau tidak bisa, aku janji akan diam." mendengar pernyataannya yang memaksa. Aku lantas menceritakan kejadian yang ada di keluargaku hingga bel sekolah berbunyi dan obrolan kami terhenti karena harus masuk kelas. Namun sukurnya, Lia mengerti dan ikut berpikir untuk membantu memberi jalan keluar.
Jam istirahat tiba, Lia kembali mampir.
"De, aku baru ingat, papaku punya kenalan orang yang menguasai IT." Lia mendatangiku dan memberi kabar yang menurutku menguntungkan.
"Serius?"
"Seribu rius malah. Nanti aku minta bantu papa, dan jika ada waktu kami akan ke rumahmu."
"Thank you Li." aku sangat antusias mendengar penuturan teman sekelas, hal ini membuatku merasa akan ada setitik cahaya harapan baru yang akan membuat semuanya memilih. Semestinya sudah sejak.kemarun aku.bercerita pada Lia, kelau saja aku tahu Lia bisa membantu dengan jaringan ayahnya yang juga sangat kuat memiliki banyak relasi hebat. Aku lupa bahwa keluarga Lia juga bukan orang sembarangan, pastilah mereka punya beberapa rekan kerja yang cerdas dalam porsinya untuk memberi kekuatan atau gerbang pembatas agar usaha mereka tetap berjalan aman dan lancar.
Berita baik ini harus segera kusampaikan pada ibu. Di rumah, ibu masih melanjutkan tugasnya sebagai owner sekaligus pekerja. Katanya, meski dalam masalah hebat, seorang pekerja keras harus tetap profesional dalam memilah pekerjaan dengan masalah pribadi, karena jika dicampur aduk, maka tidak akan ada yang disebut sukses dalam melewati proses. Aku percaya bahwa ibu memang memiliki obsesi yang tinggi dalam mengemban sebuah komitmen besar yang tidak sembarang orang bisa mengalahkannya. Itulah kenapa ibu sukses dalam bisnisnya meski sudah diterpa banyak cobaan berat. Aku bangga memiliki seorang ibu yang tidak mudah patah oleh keadaan tersulit sekali pun.